Hadits Shahih Al-Bukhari No. 295 – Kitab Haid

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 295 – Kitab Haid ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Istihadhah” hadis ini menjelaskan tentang pertanyaan Fathimah binti Abi Hubaisy bahwa dia senantiasa tidak suci, apakah boleh dia meninggalkan salat? Rasulullah saw menjawab “sesungguhnya itu adalah penyakit”. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Haid. Halaman 518-521.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ قَالَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي لَا أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ الصَّلَاةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا ذَلِكِ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِالْحَيْضَةِ فَإِذَا أَقْبَلَتْ الْحَيْضَةُ فَاتْرُكِي الصَّلَاةَ فَإِذَا ذَهَبَ قَدْرُهَا فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّي

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Abdullah bin Yusuf] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Malik] dari [Hisyam bin ‘Urwah] dari [Bapaknya] dari [‘Aisyah], bahwa ia berkata, “Fatimah binti Abu Hubaisy berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, aku dalam keadaan tidak suci. Apakah aku boleh meninggalkan shalat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu menjawab: “Sesungguhnya itu adalah darah penyakit dan bukan darah haid. Jika haid kamu datang maka tingalkanlah shalat, dan jika telah berlalu masa-masa haid, maka bersihkanlah darah darimu lalu shalatlah.”

Keterangan Hadis: (Istihadhah). Pada pembahasan terdahulu telah diterangkan, bahwa yang dimaksud dengan istihadhah adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita selain waktu haid.

إِنِّي لَاأَطْهُرُ (Sesungguhnya aku senantiasa tidak suci). Pada bab “Mencuci darah” -dari riwayat Abu Mu’awiyah dari Hisyam- berkenaandengan hadits ini disebutkan sebab yang menjadikannya senantiasa dalam kondisi demikian, yaitu perkataannya إِنِّي أُسْتَحَاض (Sesungguhnya aku mengalami istihadhah ). Seakan-akan menurut anggapan Fatimah, suci­nya seseorang dari haid tidaklah diketahui melainkan dengan berhentinya darah. Maka dia menamakan kondisi dimana darah terus keluar sebagai keadaan seseorang yang dianggap tidak suci. Sementara itu dia me­ngetahui sebelumnya bahwa wanita haid tidak boleh shalat, maka timbul dugaan bahwa hukum tersebut berkaitan dengan keluamya darah. Oleh karena itu beliau ingin memperjelas dengan mengatakan, “Apakah aku harus meninggalkan shalat.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 233– Kitab Wudhu

فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّم وَصَلِّي (Cucilah darah darimu lalu shalatlah) Yakni shalatlah sesudah engkau mandi, sebagaimana akan dijelaskan pada bab “Apabila haid sebanyak tiga kali dalam sebulan,” yang mana haditsnya dinukil melalui riwayat Abu Usamah dari Hisyam bin Urwah. Di bagian akhir disebutkan, “kemudian hendaklah engkau mandi lalu shalat”. Tapi dalam riwayat ini tidak disebutkan tentang mencuci darah.

Perbedaan ini bersumber dari perawi-perawi yang menukil hadits tersebut dari Hisyam, dimana di antara mereka ada yang menyebutkan tentang mencuci darah, dan di antara mereka ada pula yang tidak menyebutkan nya. Padahal mereka semua adalah perawi-perawi tsiqah (terpercaya) dan hadits-hadits yang mereka riwayatkan tercantum dalam kitab Shahih Bukhari maupun Shahih Muslim. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa masing-masing dari kedua kelompok tersebut telah meringkas hadits dan cukup menyebutkan salah satu dari dua hal yang dianggap perlu.

Dalam hal ini ada perbedaan lain seperti yang telah kami isyaratkan pada bab “mencuci darah ”. Riwayat yang dimaksud berasal dari Abu Mu’awiyah dalam hadits yang sama seperti di bab ini, namun pada bagian akhir terdapat tambahan lafazh ثُمَّ تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاة (Dan hendaknya kamu berwudhu setiap kali hendak shalat).

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 598 – Kitab Adzan

Dalam bab tersebut telah kami sebutkan perkataan mereka yang menyatakan bahwa lafazh ini adalah perkataan sebagian perawi yang tersisip dalam lafazh hadits (mudarraj). Demikian pula telah kami sebutkan perkataan mereka yang menyatakan bahwa lafazh itu hanya berakhir pada Urwah. Sementara Abu Mu’awiyah tidaklah menyendiri dalam meriwayatkan lafazh ini.

Telah dinukil pula oleh An-Nasa’i melalui riwayat Hammad bin Zaid dari Hisyam, seraya beliau (An-Nasa’i) mengklaim bahwa Hammad telah menyendiri dalam meriwayatkan tambahan riwayat ini. Begitu pula Imam Muslim telah memberi isyarat ke arah itu. Namun sebenamya tidaklah demikian, karena lafazh tersebut telah diriwayatkan juga oleh Ad-Darimi melalui jalur Hammad bin Salamah dan As-Sarraj dari Y ahya bin Sulaim dari Hisyam.

Dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa wanita yang mampu membedakan antara darah haid dengan darah istihadhah harus ber­pedoman pada waktu kapan mulai dan kapan berakhimya haid. Apabila masa haid telah berakhir, maka wanita tersebut harus mandi dengan niat bersuci dari haid.

Kemudian hukum darah istihadhah tersebut disamakan dengan hukum hadats, maka wanita tersebut diharuskan berwudhu setiap kali hendak shalat. Akan tetapi satu kali wudhu hanya untuk satu kali shalat fardhu tidak boleh lebih, berdasarkan makna lahiriah lafazh ثُمَّ تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاة (Kemudian hendaklah engkau berwudhu setiap shalat).

Demikian pandangan jumhur ulama. Sedangkan menurut pendapat madzhab Hanafi, bahwa wudhu tersebut berkaitan dengan waktu shalat. Atas dasar ini diperkenankan bagi wanita melakukan shalat fardhu pada waktu tersebut atau melakukan shalat fardhu lainnya yang telah lewat selama waktu shalat tersebut (dimana ia berwudhu) belum berakhir.

Berdasarkan pendapat mereka, maka yang dimaksud sabdanya وَتَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاة (Dan hendaklah engkau berwudhu setiap kali shalat) yakni setiapwaktu shalat. Artinya dalam hal ini ada lafazh yang tidak disebutkan secara tekstual dan untuk membuktikannya perlu pada dalil tersendiri.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 86-87 – Kitab Ilmu

Dalam pandangan madzhab Maliki disukai bagi wanita tersebut untuk berwudhu setiap kali shalat tapi tidak menjadi suatu kewajiban kecuali bila ada hadats yang lain. Sementara Imam Ahmad dan Ishaq berkata, “Apabila ia mandi untuk setiap kali shalat fardhu, maka hal itu lebih hati-hati.”

Hadits ini juga menjelaskan bahwa seorang wanita boleh memintafatwa dan berbicara secara langsung dengan laki-laki dalam masalah yang menyangkut kewanitaan. Di samping itu, laki-laki boleh mendengarkan suara wanita karena suatu keperluan dan manfaat-manfaat yang lain.

Dari hadits ini Ar-Razi Al Hanafi mengeluarkan suatu hukum, bahwa sedikitnya waktu haid adalah tiga hari dan maksimal sepuluh hari. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW, قَدْر الْأَيَّام الَّتِي كُنْت تَحِيضِينَ فِيهَا(Selama hari-hari dimana engkau biasa haid). Sebab dalam kalimat ini beliau SAW menggunakan lafazh الْأَيَّام (hari-hari), dimana lafazh ini hanya dipergunakan untuk bilangan tiga hingga sepuluh.

Adapun jika di bawah tiga hari, maka dikatakan يَوْمَانِ (dua hari) dan يَوْم (satu hari). Sedangkan di atas jumlah sepuluh, maka diungkapkan dengan lafazh أَحَدَ عَشَرَ يَوْمًا Namun argumentasi yang dikemukakan ini masih dipertanyakan.

M Resky S