Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 303 – Kitab Haid ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Wanita Menggosok Badannya saat Bersuci dari Haid. Bagaimana Ia Mandi dan Mengambil Kapas yang Diberi Minyak Wangi Untuk Membersihkan Bekas Darah” hadis ini menjelaskan tentang pertanyaan seorang wanita kepada Rasulullah saw tentang tatcara mandi haid. Hadis ini memberi keterangan tentang cara mandi haid sesuai tuntunan agama. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Haid. Halaman 532-537.
حَدَّثَنَا يَحْيَى قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ مَنْصُورِ بْنِ صَفِيَّةَ عَنْ أُمِّهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ غُسْلِهَا مِنْ الْمَحِيضِ فَأَمَرَهَا كَيْفَ تَغْتَسِلُ قَالَ خُذِي فِرْصَةً مِنْ مَسْكٍ فَتَطَهَّرِي بِهَا قَالَتْ كَيْفَ أَتَطَهَّرُ قَالَ تَطَهَّرِي بِهَا قَالَتْ كَيْفَ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ تَطَهَّرِي فَاجْتَبَذْتُهَا إِلَيَّ فَقُلْتُ تَتَبَّعِي بِهَا أَثَرَ الدَّمِ
Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Yahya] berkata, telah menceritakan kepada kami [Ibnu ‘Uyainah] dari [Manshur bin Shafiyyah] dari [Ibunya] dari [‘Aisyah], “Seorang wanita bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang cara mandi dari haid. Beliau lalu memerintahkan wanita itu bagaimana cara mandi. Beliau bersabda: “Ambillah sepotong kapas yang diberi wewangian lalu bersucilah.” Wanita itu bertanya, “Bagaimana aku bersucinya? Beliau menjawab: “Bersucilah dengan kapas itu!” Wanita itu berkata lagi, “Bagaimana caranya aku bersuci?” Beliau bersabda: “Bersucilah dengan menggunakan kapas itu!” Wanita itu bertanya lagi, “Bagaimana caranya?” Maka Beliau berkata, “Subhaanallah. Bersucilah kamu!” Lalu aku manarik wanita itu kearahku, lalu aku katakan, “Kamu bersihkan sisa darahnya dengan kapas itu.”
Keterangan Hadis: Sebagian ulama mengatakan, bahwa dalam hadits ini tidak ada keterangan yang berkaitan dengan judul bab, sebab dalam hadits tidak disebutkan mengenai cara mandi dan menggosok badan. Pernyataan ini dijawab oleh Al Karmani serta ulama-ulama lain, bahwa mengikuti (mengoles) bekas darah dengan kapas berkonsekuensi adanya perbuatan menggosok badan.
Adapun yang dimaksudkan dengan cara mandi dalam judul bah ini adalah sifat mandi khsusus bagi wanita setelah haid (yakni dengan menggunakan harum-haruman). Jawaban ini cukup baik meskipun mengandung unsur mencari-cari alasan.
Adapun jawaban yang lebih baik adalah bahwa Imam Bukhari kembali menempuh kebiasaan yang dia lakukan, yaitu membuat judul bah berdasarkan kandungan sebagian jalur periwayatan hadits yang disebutkannya, meskipun maksudnya tidak disebutkan secara tekstual dalam hadits itu.
Penjelasan mengenai hal 1m, bahwa Imam Muslim telah menyebutkan hadits ini dari jalur lbnu Uyainah dari Manshur (yakni perawi yang juga dinukil oleh Imam Bukhari), lalu dalam jalur periwayatan ini setelah lafazh (Bagaimana ia mandi) disebutkan (Kemudian ia mengambil kapas…) Di sini disebutkan lafazh (kemudian) yang menunjukkan adanya selang waktu antara pemberitahuan tentang memakai harum-haruman dengan pemberitahuan tentang cara mandi.
Kemudian diriwayatkan dari jalur lain, dari Shafiyah, dari Aisyah dimana disebutkan penjelasan mengenai cara mandi yang tidak disebutkan dalam riwayat Manshur, (Maka beliau bersabda, “Hendaklah salah seorang di antara kamu mengambil air dan daun bidara lalu bersuci dengan sebaik-baiknya. Kemudian ia menyiram ke atas kepalanya lalu menggosoknya dengan kuat hingga mencapai akar-akar rambutnya. Kemudian ia menyiramkan air ke badannya, lalu mengambil kapas…). Inilah lafazh yang dimaksudkan oleh Imam Bukhari sehingga beliau menyebutkan judul bah seperti di atas, sebab lafazh ini mencakup cara mandi dan menggosok. Akan tetapi Imam Bukhari tidak langsung menukil hadits ini karena hadits ini dinukil melalui jalur Ibrahim bin Muhajir dan Shafiyyah, yang mana jalur tersebut tidak memenuhi persyaratan beliau.
أَنَّ اِمْرَأَة (Bahwasanya seorang wanita) Dalam riwayat Wuhaib diberi tambahan, مِنْ الْأَنْصَار (Dari kalangan Anshar). Lalu Imam Muslim menyebutkan nama wanita itu dalam riwayat yang beliau nukil melalui jalur Abu Al Ahwash dari Ibrahim bin Muhajir, yaitu Asma’ binti Syakal.
Sedangkan dalam riwayat Ghundar dari Syu’bah, dari Ibrahim tidak disebutkan nama bapak dari wanita tersebut. Hadits ini diriwayatkan oleh Al Khathib dalam kitab Al Mubhamat melalui jalur Yahya bin Sa’id dari Syu’bah, bahwa nama wanita itu adalah Asma’ binti Yazid bin Sakan Al Anshariyah yang dijuluki sebagai Orator wanita. Lalu keterangan Al Khathib disetujui oleh Ibnu Al Jauzi dalam kitab At-Talqib, demikian pula halnya dengan Ad-Dimyathi.
lbnu Al Jauzi menambahkan bahwa keterangan yang terdapat dalam riwayat Imam Muslim merupakan kesalahan penyalinan naskah, sebab tidak ada di kalangan Anshar seseorang yang bemama Syakal. Tapi pemyataan ini merupakan penolakan tanpa dasar terhadap riwayat yang telah terbukti keakuratannya. Padahal ada kemungkinan Syakal adalah gelar dan bukan nama. Yang masyhur dalam kitab-kitab Musnad dan kitab-kitab kumpulan hadits, nama wanita tersebut dalam hadits ini adalah Asma’ binti Syakal seperti terdapat dalam riwayat Imam Muslim, atau sekedar menyebutkan nama (Asma’) tanpa menyertakan nama bapaknya seperti yang tercantum dalam kitab Sunan Abu Dawud.
Demikian pula yang terdapat dalam kitab Mustakhraj oleh Abu Nu’aim melalui jalur yang sama seperti dinukil oleh Al Khathib. Lalu Imam AnNawawi menukil kedua versi tersebut dalam kitab Syarah Muslim tanpa menjelaskan mana diantara keduanya yang lebih tepat, wallahu a ‘lam.
فَأَمَرَهَا كَيْف تَغْتَسِل قَالَ : خُذِي (Maka Rasulullah SAW menerangkan kepadanya bagaimana ia mandi. Lalu beliau SAW bersabda, “Ambillah…’) Al Karmani berkata, “Perkataan beliau, ‘Ambillah… ‘ merupakan penjelasan kalimat sebelumnya, yaitu ‘Maka Rasulullah SAW menerangkan kepadanya … ‘ Jika ditanyakan, “Bagaimana mungkin lafazh terse but merupakan penjelasan cara mandi sedangkan hakikat mandi adalah menyiramkan air ke seluruh tubuh, bukan dengan mengambil kapas atau yang sepertinya.’ Maka jawabannya adalah; sesungguhnya substansi pertanyaan yang diajukan bukan minta penjelasan mengenai mandi, sebab hal ini sudah diketahui oleh semua orang. Akan tetapi pertanyaan tersebut dimaksudkan untuk mengetahui perkara yang lebih dari itu. Jawaban seperti ini telah dikemukakan oleh Ar-Rafi’i (dalam kitab Syarah Musnad) dan Abu Jamrah.”
فِرْصَةً مِنْ مَسْكٍ (Kapas yang telah diberi minyak wangi) An-Nawawi berkata, “Tujuan menggunakan harum-haruman adalah untuk menghilangkan bau tak sedap, menurut pendapat yang benar. Lalu ada pula yang mengatakan untuk memberi kesuburan sehingga lebih cepat menerima kehamilan, pendapat ini diriwayatkan oleh Al Mawardi.”
Imam An-Nawawi menambahkan, “Berdasarkan pendapat pertama, apabila tidak didapatkan minyak kesturi, maka diganti dengan harumharuman yang lain. Sedangkan berdasarkan pendapat kedua, apabila tidak didapatkan minyak kesturi maka diganti dengan menggunakan zat-zat lain yang dapat menyuburkan rahim.” Kemudian Imam An-Nawawi melemahkan pendapat kedua seraya mengatakan apabila pendapat ini benar, niscaya khusus berlaku bagi wanita yang bersuami. Dengan tidak disebutkannya pengkhususan pada hadits di atas merupakan bantahan bagi pendapat kedua ini.
Yang benar dalam masalah ini adalah perbuatan tersebut hukumnya mustahab (disukai) bagi setiap wanita yang bersuci dari haid atau nifas, namun makruh ditinggalkan jika seseorang mampu melakukannya. Apabila tidak didapatkan minyak kesturi maka cukup menggunakan harum-haruman lain. Jika tidak, maka menggunakan zat-zat pembersih seperti tanah. Namun apabila tidak didapatkan pula, maka air sudah mencukupi.
سُبْحَان اللَّه (Maha suci Allah). Dalam riwayat berikut ini terdapat tambahan, اِسْتَحْيَا وَأَعْرَضَ (Beliau SAW malu dan berpaling). Dalam riwayat Al Isma’ili disebutkan, فَلَمَّا رَأَيْته اِسْتَحْيَا عَلَّمْتهَا (Ketika aku melihat Rasulullah SAW merasa malu, maka aku pun memberitahukan kepada wanita tersebut apa yang dimaksud oleh Nabi SAW). Lalu dalam riwayat Ad-Darimi terdapat keterangan, وَهُوَ يَسْمَع فَلَا يُنْكِر (Beliau SAW mendengarkan dan tidak mengingkarinya).
أَثَر الدَّم (Bekas darah). Imam An-Nawawi berkata, “Menurut para ulama yang dimaksud adalah kemaluan.” Sedangkan Al Muhamili berkata, “Disukai bagi wanita untuk memberi minyak wangi pada setiap tempat yang terkena darah di badannya.” Lalu Imam An-Nawawi menambahkan, “Aku tidak mengetahui ada ulama lain berpendapat demikian, namun makna lahiriah hadits di atas merupakan hujjah baginya.” Aku (Ibnu Hajar) berkata, “Keterangan lebih tegas yang mendukung pendapat Al Muhamili adalah apa yang disebutkan dalam riwayat Al Isma’ili, yaitu تَتَبَّعِي بِهَا مَوَاضِع الدَّم (lkutilah dengannya bagian-bagian yang terkena darah).”
Hadits ini mengandung sejumlah faidah, di antaranya bertasbih (menyucikan Allah) saat menyaksikan perkara yang menakjubkan. Faidah lain adalah, disukainya mengucapkan kata-kata kinayah (kiasan) mengenai perkara yang risih atau tidak selayaknya untuk diucapkan.
Demikian juga dibolehkan bagi wanita bertanya kepada ulama tentang keadaan dirinya. Berkenaan dengan ini, Aisyah RA berkomentar tentang wanita Anshar, لَمْ يَمْنَعهُنَّ الْحَيَاء أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّين (Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memperdalam memahami agama) seperti dinukil oleh Imam Muslim pada pembahasan tentang ilmu.
Faidah selanjutnya, menggunakan isyarat untuk menunjukkan halhal yang tidak layak diucapkan dan mengulang jawaban untuk memberi pemahaman bagi yang bertanya. Beliau SAW mengulangi jawabannya yang pertama meskipun wanita itu tidak memahaminya, karena jawaban tersebut dapat diambil atau dipahami dari sikap beliau SAW yang memalingkan mukanya saat bersabda “Bersihkanlah”, yakni tempat yang tidak layak untuk diucapkan secara terus terang di depan wanita. Maka, beliau SAW cukup dengan mengekspresikannya tanpa menjelaskan dengan kata-kata. Pada saat itulah Aisyah RA memahami maksud Nabi SAW, maka Aisyah memberi pemahaman kepada wanita yang bertanya itu.
Kemudian dalam kitab Al J’tisham, Imam Bukhari menyebutkan hadits ini di bawah bah yang berjudul الْأَحْكَام الَّتِي تُعْرَفُ بِالدَّلَائِلِ (hukum-hukum yang diketahui dengan dalil-dalil atau petunjukpetunjuk).”
Dalam hadits ini terdapat pula keterangan, bahwa seseorang boleh menafsirkan perkataan ahli ilmu di hadapannya langsung bagi orang yang kurang memahaminya, jika orang yang menerangkan itu mengetahui bahwa perbuatannya itu disenangi oleh orang alim tersebut. Di samping itu, diperbolehkan mengambil ilmu dari orang yang utama meski di hadapannya ada orang yang lebih utama.
Kandungan yang lain adalah keterangan sahnya suatu hadits yang dikemukakan langsung di hadapan perawinya jika ia menyetujui meskipun ia tidak mengiyakannya dengan kata-kata, dan tidak disyaratkan dalam penukilan hadits memahami semua yang didengamya.
Hadits ini merupakan anjuran bersikap lembut bagi penuntut ilmu dan merupakan udzur (alasan) bagi yang tidak paham. Di samping itu, hadits ini menerangkan bahwa menjadi kemestian bagi seseorang untuk menutup aib dirinya, meskipun hal itu adalah perkara yang lumrah, yaitu memerintahkan wanita memakai harum-haruman untuk menghilangkan bau yang tidak sedap. Hadits ini juga menerangkan mulianya akhlak Nabi SAW, keagungan rasa santun dan rasa malu beliau. Semoga Allah SWT menambahkan kemuliaan baginya.
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 663-664 – Kitab Adzan - 30/08/2020
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 662 – Kitab Adzan - 30/08/2020
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 661 – Kitab Adzan - 30/08/2020