Hadits Shahih Al-Bukhari No. 337 – Kitab Shalat

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 337 – Kitab Shalat ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Bagaimana Shalat Difardhukan Pada Saat Isra?” hadis ini menjelaskan awal-awal salat mulai difardhukan kepada kaum Muslimin yaitu hanya dua rakaat dua rakaat saja. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 3 Kitab Shalat. Halaman 18-21.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ فَرَضَ اللَّهُ الصَّلَاةَ حِينَ فَرَضَهَا رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ فِي الْحَضَرِ وَالسَّفَرِ فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ وَزِيدَ فِي صَلَاةِ الْحَضَرِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Abdullah bin Yusuf] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Malik] dari [Shalih bin Kaisan] dari [‘Urwah bin Az Zubair] dari [‘Aisyah] Ibu kaum Mu’minin, ia berkata, “Allah telah mewajibkan shalat, dan awal diwajibkannya adalah dua rakaat dua rakaat, baik saat mukim atau saat dalam perjalanan. Kemudian ditetapkanlah ketentuan tersebut untuk shalat safar (dalam perjalanan), dan ditambahkan lagi untuk shalat di saat mukim.”

Keterangan Hadis: عَنْ عَائِشَة قَالَتْ : فَرَضَ اللَّه الصَّلَاة حِين فَرَضَهَا رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ (dari Aisyah ummul mukminin, dia berkata, “Allah mewajibkan shalat, dan pada saat difardhukan terdiri dari dua rakaat-dua rakaat). Pengulangan kata “dua rakaat” adalah untuk menerangkan bahwa dua rakaat tersebut mencakup seluruh shalat. lbnu Ishaq menambahkan, “Shalih bin Kaisan menceritakan kepadaku melalui jalur di atas, ‘Kecuali shalat Maghrib, karena sejak awal ditetapkan tiga rakaat’ .” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad melalui jalur periwayatannya. Sementara Imam Bukhari menyebutkan dalam kitab ”Hijrah” melalui jalur Ma’mar dari Zuhri dari Urwah dari Aisyah, dia berkata,

فُرِضَتْ الصَّلَاة رَكْعَتَيْنِ ، ثُمَّ هَاجَرَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفُرِضَتْ أَرْبَعًا (Shalat diwajibkan sebanyak dua rakaat, kemudian Nabi SAW melakukan hijrah lalu diwajibkan menjadi empat rakaat). Riwayat ini memberi keterangan bahwa maksud riwayat terdahulu, “sedangkan shalat .saat mukim ditambah” adalah terjadi di Madinah.

Makna lahiriah riwayat ini dijadikan landasan pendapat ulama madzhab Hanafi, bahwa qashar (meringkas shalat) saat bepergian adalah suatu keharusan bukan sekedar rukhshah (keringanan). Sementara ulama­ulama yang menyalahi pandangan mereka berargumentasi dengan firman Allah SWT, “Tidak ada dosa bagi kamu untuk mengqashar (meringkas) shalat. “(Qs. An-Nisaa’ (4): 101) Sebab tidak adanya dosa dalam kalimat “tidak ada dosa” tidak menunjukkan suatu keharusan, sementara meringkas mesti dilakukan terhadap sesuatu yang lebih panjang darinya. Dalil lain yang menyatakan bahwa qashar (meringkas shalat) saat bepergian hanyalah suatu keringanan adalah sabda Nabi SAW, صَدَقَة تَصَدَّقَ اللَّه بِهَا عَلَيْكُمْ (Sedekah yang diberikan Allah kepada kalian).

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 66 – Kitab Ilmu

Dalam hadits ini para ulama mengatakan, bahwa lafazh hadits tersebut adalah perkataan Aisyah bukan langsung dari Nabi SAW (marfu’). Di samping itu, Aisyah tidak menyaksikan masa di mana shalat difardhukan. Jawaban ini dikemukakan oleh Al Khaththabi serta ulama­ulama lainnya. Akan tetapi jawaban ini perlu ditinjau kembali. Pertama, bahwa masalah di atas adalah masalah yang tidak menerima pendapat (manusia) di dalamnya, maka status hukumnya adalah marfu’ (sampai kepada Nabi SAW). Kedua, jika diterima bahwa Aisyah tidak menyaksikan zaman difardhukannya shalat, maka riwayat tersebut masuk kategori “mursal sahabat” yang dapat dijadikan landasan hukum. Karena, ada kemungkinan Aisyah mendapat keterangan itu dari Nabi SAW ataupun dari sahabat lain yang menyaksikan peristiwa itu.

Adapun pendapat Imam Al Haramain yang mengatakan, “Jika hadits ini benar niscaya telah dinukil secara mutawatir” juga tidak luput dari kritikan, sebab penukilan secara mutawatir dalam masalah ini bukan suatu keharusan.

Selanjutnya mereka juga berkata, “Hadits Aisyah ini bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas, فُرِضَتْ الصَّلَاة فِي الْحَضَر أَرْبَعًا وَفِي السَّفَر رَكْعَتَيْنِShalat difardhukan .mat mukim empat rakaat dan saat bepergian dua rakaat.” (HR. Muslim) Tapi pendapat ini dapat dijawab dengan mengatakan bahwa antara riwayat Aisyah dengan riwayat lbnu Abbas masih mungkin untuk dipadukan sebagaimana yang akan dijelaskan, sehingga kedua riwayat tersebut tidak bertentangan.

Kemudian mereka menjebak ulama madzhab Hanafi dengan kaidah yang ada pada madzhab ini, dimana mereka berpandangan apabila pendapat seorang sahabat menyalahi riwayatnya, maka yang mesti dijadikan patokan adalah pendapatnya dan bukan riwayatnya. Namun ternyata para ulama madzhab ini telah menyalahi kaidah mereka sehubungan dengan permasalahan di atas, karena telah dinukil bahwa Aisyah RA biasa melakukan shalat tanpa qashar dalam bepergian (safar). Hal ini menunjukkan (atas dasar kaidah madzhab hanafi, -penerj) apa yang diriwayatkan dari beliau (Aisyah) tidak akurat. Namun perkataan ini dapat pula dijawab dengan menyatakan bahwa Urwah -sebagai penukil riwayat tersebut dari Aisyah- telah ditanya sebab Aisyah tidak mengqashar shalat waktu bepergian, dimana Urwah berkata, “Sesungguhnya beliau (Aisyah) melakukan takwil sebagaimana takwil Utsman.” Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara pendapat dan riwayat yang dinukilnya, karena riwayatnya shahih sementara pendapat­nya berdasarkan takwil yang dilakukannya.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 22-23 - Kitab Iman

Pendapat lebih kuat bagiku -untuk mengompromikan semua riwayat yang ada- sesungguhnya shalat difardhukan pada saat Isra’ dan Mi’raj sebanyak dua rakaat dua rakaat, kecuali shalat Maghrib. Kemudian jumlah rakaat tersebut ditambah setelah hijrah kecuali shalat Subuh, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al Baihaqi melalui jalur Sya’bi, dari Masruq, dari Aisyah. Dia berkata, “Shalat dalam keadaan mukim dan safar difardhukan dua rakaat dua rakaat. Ketika Rasulullah datang ke Madinah dan keadaan telah stabil ditambahkan pada shalat mukim dua rakaat dua rakaat. Adapun shalat Subuh dibiarkan sebagaimana adanya karena panjangnya bacaan, demikian pula dengan shalat Maghrib karena ia merupakan witir shalat siang.

Kemudian setelah kewajiban empat rakaat telah tetap, maka diberi keringanan untuk shalat safar ketika turunnya ayat yang telah disebutkan, yaitu firman Allah SWT, “Tidak ada dosa bagi kamu untuk mengqashar (meringkas) shalat.” (Qs. An-Nisaa'(4): 101)

Kesimpulan ini dikuatkan oleh keterangan lbnu Atsir dalam kitab Syarh Musnad, bahwasanya syariat mengqashar (meringkas) shalat terjadi pada tahun keempat hijrah. Keterangan lbnu Atsir ini sendiri didasarkan pada perkataan ulama selain beliau yang menyatakan, bahwa ayat tentang shalat Khauf turun pada tahun tersebut.

Pendapat lain mengatakan bahwa shalat qashar ditetapkan pada bulan Rabi’ul Akhir tahun kedua hijrah, seperti disebutkan oleh Ad-Daulabi. Lalu disebutkan o\eh As-Suhaili dengan lafazh, “Setelah hijrah setahun atau sekitar itu, dan ada pula yang mengatakan empat puluh hari setelah hijrah.”

Baca Juga:  Memahami Hadits tentang Memanah Berkuda dan Berenang di Zaman Sekarang

Atas dasar ini, riwayat Aisyah “Maka shalat saat bcpergian ditetapkan scbagaimana adanya” maksudnya adalah kembali kepada keadaan semula, bukan berarti shalat safar terus-menerus dua rakaat sejak difardhukan, sehingga lafazh tersebut tidak berkonsekuensi bahwa shalat qashar merupakan suatu keharusan (wajib). Adapun pembahasan hadits lbnu Abbas, “Dan shalat Khauf satu rakaat“, akan diterangkan pada pembahasan shalat Khauf.

Pelajaran yang dapat diambil

Segolongan ulama berpendapat bahwa shalat fardhu tidak ada sebelum Isra ‘, selain perintah untuk shalat malam tanpa ada batasan tertentu. Sementara Al Harbi berpendapat bahwa -sebelum Isra’ – shalat difardhukan dua rakaat di pagi hari dan dua rakaat di sore hari.

Imam Syafi’ i menyebutkan keterangan dari sebagian ulama bahwa dahulu shalat malam hukumnya fardhu, kemudian di-nasakh (dihapus hukumnya) berdasarkan firman Allah SWT, ”Shalatlah sebagaimana yang mudah bagi kamu. ” Dari sini maka fardhu hanyalah melakukan shalat pada sebagian malam. Kemudian fardhu ini pun dinasakh (dihapus hukumnya) dengan shalat lima waktu. Akan tetapi pandangan ini tidak disetujui oleh Muhammad bin Nashr Al Marwazi. Dia berkata, “Firman Allah SWT, ‘Shalatlah sebagaimana yang mudah bagi kamu ‘, turun di Madinah berdasarkan firman-Nya dalam ayat yang sama, ‘Dan sebagian berperang di jalan Allah’. Sementara perang terjadi di Madinah dan bukan di Makkah, sedangkan Isra’ terjadi di Makkah jauh sebelumnya.” Namun landasan argumentasi yang dikemukakannya kurang jelas, sebab firman Allah SWT dalam ayat tersebut, “Dia mengetahui akan ada. “(Qs. Al Muzzammil(73): 20) sangat tegas menyatakan kejadian yang akan datang. Seakan-akan Allah SWT telah memberi karunia kepada mereka dengan mendahulukan keringanan sebelum ada kesulitan yang telah diketahui-Nya akan terjadi terhadap mereka.

M Resky S