Hadits Shahih Al-Bukhari No. 478-479 – Kitab Shalat

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 478-479 – Kitab Shalat ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Shalat Menghadap Tempat Tidur” dan “Orang yang Shalat Mendorong Apa yang Lewat di Hadapannya” Hadis dari Aisyah ra ini menjelaskan tentang pertanyaannya bahwa apakah kalian ingin menyamakan kami dengan anjing atau himar? Hadis berikutnya menjelaskan tentang Abu Sa’id yang mendorong seorang pemuda yang hendak lewat dihadapannya yang sedang menunaikan salat. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 3 Kitab Shalat. Halaman 285-294.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ أَعَدَلْتُمُونَا بِالْكَلْبِ وَالْحِمَارِ لَقَدْ رَأَيْتُنِي مُضْطَجِعَةً عَلَى السَّرِيرِ فَيَجِيءُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَتَوَسَّطُ السَّرِيرَ فَيُصَلِّي فَأَكْرَهُ أَنْ أُسَنِّحَهُ فَأَنْسَلُّ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْ السَّرِيرِ حَتَّى أَنْسَلَّ مِنْ لِحَافِي

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Utsman bin Abu Syaibah] berkata, telah menceritakan kepada kami [Jarir] dari [Manshur] dari [Ibrahim] dari [Al Aswad] dari [‘Aisyah] berkata, “Apakah kalian menyamakan kami dengan anjing dan keledai? Sungguh, aku pernah berbaring di atas tikar, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang dan berdiri melaksanakan shalat di tengah tikar. Aku tidak ingin mengganggu beliau, maka aku geser kakiku pelan-pekan dari tikar hingga aku keluar dari selimutku.”

حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ قَالَ حَدَّثَنَا يُونُسُ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ هِلَالٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح و حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ قَالَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ المُغِيرَةِ قَالَ حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ هِلَالٍ الْعَدَوِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ السَّمَّانُ قَالَ رَأَيْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ يُصَلِّي إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنْ النَّاسِ فَأَرَادَ شَابٌّ مِنْ بَنِي أَبِي مُعَيْطٍ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَدَفَعَ أَبُو سَعِيدٍ فِي صَدْرِهِ فَنَظَرَ الشَّابُّ فَلَمْ يَجِدْ مَسَاغًا إِلَّا بَيْنَ يَدَيْهِ فَعَادَ لِيَجْتَازَ فَدَفَعَهُ أَبُو سَعِيدٍ أَشَدَّ مِنْ الْأُولَى فَنَالَ مِنْ أَبِي سَعِيدٍ ثُمَّ دَخَلَ عَلَى مَرْوَانَ فَشَكَا إِلَيْهِ مَا لَقِيَ مِنْ أَبِي سَعِيدٍ وَدَخَلَ أَبُو سَعِيدٍ خَلْفَهُ عَلَى مَرْوَانَ فَقَالَ مَا لَكَ وَلِابْنِ أَخِيكَ يَا أَبَا سَعِيدٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنْ النَّاسِ فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Abu Ma’mar] berkata, telah menceritakan kepada kami [‘Abdul Warits] berkata, telah menceritakan kepada kami [Yunus] dari [Humaid bin Hilal] dari [Abu Shalih] bahwa [Abu Sa’id] berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami [Adam bin Abu Iyas] berkata, telah menceritakan kepada kami [Sulaiman bin Al Mughirah] berkata, telah menceritakan kepada kami [Humaid bin Hilal Al ‘Adawi] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abu Shalih as Samman] berkata, “Pada hari jum’at aku melihat [Abu Sa’id Al Khudri] shalat menghadap sesuatu yang membatasinya dari orang-orang (yang lewat). Kemudian ada seorang pemuda dari Bani Abu Mu’aith hendak lewat di depannya. Maka Abu Sa’id menghalangi orang itu dengan menahan dadanya. Pemuda itu mencari jalan tapi tidak ada kecuali di depan Abu Sa’id. Maka pemuda itu mengulangi lagi untuk lewat. Abu Sa’id kembali menghadangnya dengan lebih keras dari yang pertama. Kemudian pemuda itu pergi meninggalkan Abu Sa’id dan menemui Marwan, ia lalu mengadukan peristiwa yang terjadai antara dirinya dengan Abu Sa’id. Setelah itu Abu Sa’id ikut menemui Marwan, Marwan pun berkata, “Apa yang kau lakukan terhadap anak saudaramu ini, wahai Abu Sa’id?” Abu Sa’id menjawab, “Aku pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang membatasinya dari orang, kemudian ada seseorang yang hendak lewat dihadapannya maka hendaklah dicegah. Jika dia tidak mau maka perangilah dia, karena dia adalah setan.”

Keterangan Hadis: Di sini Imam Bukhari menyebutkan hadits Al Aswad dari Aisyah tentang shalat Nabi SAW yang menghadap ke tengah tempat tidur, sementara Aisyah berada di atasnya. Namun Al Ismaili mengkritik dengan mengatakan bahwa hadits itu menunjukkan shalat di atas tempat tidur bukan shalat menghadap kepadanya. Kemudian (Al Ismaili) mengisyaratkan bahwa riwayat Masruq dari Aisyah mendukung maksud Imam Bukhari, sebab dalam riwayat tersebut terdapat lafazh, “Dan beliau shalat sementara tempat tidur berada di antara beliau dan kiblat”, sebagaimana yang akan dijelaskan. Maka, sudah sepantasnya Imam Bukhari menyebutkan riwayat tersebut dalam bab ini.

Kritik dari Al Ismaili dijawab oleh Al Karmani dengan apa yang menjadi landasan kritik itu sendiri, yaitu huruf-huruf jar[1] saling menggantikan fungsi dalam kalimat. Maka makna perkataannya dalam judul bab “‘Menghadap Tempat Tidur”, yakni “di atas tempat tidur”. Lalu Al Karmani mengklaim telah ditemukannya dalam sebagian riwayat dengan lafazh “Di atas tempat tidur”.

Saya (Ibnu Hajar) katakan, pada dasamya jawaban yang diberikan oleh Al Karmani tidak perlu, sebab perkataan Aisyah, “Mengambil posisi pertengahan tempat tidur” mencakup posisi di atas tempat tidur ataupun di tempat yang lebih rendah darinya. Dalam riwayat Masruq dijelaskan, bahwa yang dimaksud adalah makna kedua.

Baca Juga:  Mengetahui Status Hadis Larangan Perempuan yang Sedang Haid Membaca al-Quran

أَعَدَلْتُمُونَا (apakah kalian menyamakan kami) Pertanyaan yang berindikasi pengingkaran ini berasal dari Aisyah. Ucapan ini beliau katakan kepada orang yang berkata di hadapannya bahwa, “Shalat terputus oleh anjing, himar dan wanita”, sebagaimana akan disebutkan dari riwayat Masruq setelah lima bab. Lalu di tempat itu pula kami akan menyebutkan pembahasan matan (materi) hadits ini, insya Allah.

lbnu Umar mendorong ketika sedang tahiyat, dan di Ka’bah. Dia berkata, ‘”Apabila (orang yang lewat) menolak kecuali harus diperangi, maka perangilah.”

(Ibnu Umar mendorong ketika tahiyat) yakni dia mendorong orang yang lewat di hadapannya pada saat dia duduk tasyahud (tahiyat). Perbuatan Ibnu Umar ini disebutkan beserta sanadnya oleh Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrazzaq. Dalam kedua riwayat dijelaskan bahwa orang yang lewat tersebut adalah Amr bin Dinar.

(dan di Ka’bah) Ibnu Qurqul berkata, “Dalam sebagian riwayat disebutkan, ‘Dan pada satu rakaat ‘, dan ini lebih serasi dari segi makna”. Saya (Ibnu Hajar) katakan, lafazh yang diriwayatkan oleh mayoritas perawi juga dapat diberi penjelasan yang sesuai. Adapun disebutkannya Ka’bah secara khusus agar tidak ada yang berkhayal atau memperbolehkan seseorang untuk lewat di depan orang yang shalat di Makkah, dengan alasan bahwa tempat tersebut merupakan tempat orang-­orang saling berdesakan.

Atsar lbnu Umar di atas telah disebutkan beserta sanadnya dengan mencantumkan lafazh “Ka’bah” oleh Abu Nu.aim (Syaikh Imam Bukhari), dalam karyanya yang berjudul kitab Shalat melalui jalur Shalih bin Kaisan. Dia berkata, “Aku melihat Ibnu Umar shalat di Ka’bah, tidaklah beliau membiarkan seorang pun lewat di hadapannya melainkan didorongnya.”

(apabila dia enggan atau menolak), yakni orang yang lewat.

(kecuali dia harus memeranginya) yakni oleh orang yang sedang shalat, demikian lafazh yang terdapat dalam kebanyakan riwayat, yakni dalam bentuk kata kerja lampau dan berfungsi sebagai penekanan (mubalaghah). Dalam riwayat Al Kasymihani dikatakan, (Kecuali engkau harus memeranginya), dalam bentuk kata kerja kedua (mukhatabah). Sedangkan lafazh, (perangilah ia), dalam bentuk kata perintah.

Kalimat terakhir ini adalah juga perkataan Ibnu Umar, yang telah diriwayatkan beserta sanadnya oleh Abdurrazzaq. Adapun lafazh yang bersumber dari Ibnu Umar adalah, (Janganlah engkau membiarkan seseorang lewat di hadapanmu sedang engkau melalukan shalat. Apabila ia enggan kecuali harus diperangi, maka hendaklah ia memeranginya). Riwayat ini sesuai dengan konteks yang dinukil Al Kasymihani.

Saya (Ibnu Hajar) katakan, riwayat yang bersifat mutlak (tanpa batasan) di sini hams dipahami dalam konteks riwayat muqayyad (terbatas). Karena seseorang yang shalat tanpa menghadap sutrah telah mengurangi dari yang seharusnya, terlebih apabila ia shalat di tempat lewatnya manusia. Abdurrazzaq meriwayatkan dari Ma’mar perbedaan antara orang yang shalat menghadap sutrah dan orang yang tidak menghadap kepadanya. Lalu dalam kitab Ar-Raudhah disebutkan pernyataan yang mengikuti sumber aslinya, “Apabila seseorang shalat tidak menghadap sutrah atau menghadap sutrah namun jaraknya cukup jauh, maka dalam hal ini tidak boleh mendorong orang yang lewat di hadapannya karena kelalaiannya. Pada saat demikian, lewat di hadapannya tidak haram,[2] akan tetapi tidak lewat adalah lebih utama.”

فَأَرَادَ شَابّ مِنْ بَنِي أَبِي مُعَيْط (maka seorang pemuda dari Bani Abi Mu’aith) Dalam kitab shalat oleh Abu Nu’aim disebutkan, bahwa pemuda yang dimaksud adalah Al Walid bin Uqbah bin Abi Mu’aith. Beliau mengutip riwayat ini dari Abdullah bin Amir Al Aslami dari Zaid bin Aslam, dia berkata, “Ketika Abu Sa’id shalat di masjid, datanglah Al Walid bin Uqbah bin Abi Mu’aith dan bermaksud lewat di hadapan Abu Sa’id. Maka, beliau mendorong pemuda tadi. Namun pemuda itu enggan kecuali lewat di hadapan Abu Sa’id, maka dia pun mendorongnya.”

Sehubungan dengan penafsiran yang terdapat dalam kitab Shahih, yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Al Walid, maka penafsiran ini masih perlu dianalisa kembali, karena dalam riwayat ini dikatakan bahwa pemuda tersebut masuk menemui Marwan. Al Ismaili menambahkan, “Marwan saat itu adalah pemimpin Madinah.” Sementara Marwan menjadi pemimpin Madinah hanya pada masa pemerintahan Mu’awiyah, dan Al Walid saat itu tidak berada di Madinah. Karena ketika Utsman terbunuh, dia pindah ke Al Jazirah lalu tinggal di sana hingga meninggal pada masa pemerintahan Mu’awiyah. Dia tidak pernah turut serta dalam peperangan yang terjadi antara Ali dan lawan-lawannya.

Di samping itu, pada masa terjadinya kisah di atas Al Walid bukan lagi seorang pemuda, bahkan usianya telah mencapai lima puluhan tahun. Oleh sebab itu, kemungkinan lafazh riwayat ini adalah “Maka datanglah putra Al Walid bin Uqbah”. Dengan demikian, riwayat tersebut cukup mempunyai landasan.

Masih berkaitan dengan riwayat dalam bab ini, Abdurrazzaq menukil melalui jalur Daud bin Qais, dari Zaid bin Aslam, dari Abdurrahman bin Abi Sa’id, dari bapaknya, dimana dikatakan, “Tiba-tiba datang seorang pemuda”, tanpa menyebutkan namanya. Dari Ma’mar dari Zaid bin Aslam disebutkan, “Maka pergilah orang yang memiliki kekerabatan dengan Marwan”. Melalui jalur Abu Al Alla’ dari Abu Sa’id dikatakan, “Seorang laki-laki lewat di hadapannya dari anak Marwan”. Sementara dalam riwayat An-Nasa’i melalui jalur lain, “Maka lewatlah seorang putra Marwan”, dimana namanya disebutkan oleh Abdurrazzaq melalui riwayat Sulaiman bin Musa, yaitu “Daud bin Marwan”. Adapun lafazhnya, yaitu “Daud bin Marwan hendak lewat di hadapan Abu Sa’ id sedangkan Marwan saat itu adalah pemimpin di Madinah”, lalu beliau menyebutkan hadits selengkapnya. Keterangan inilah yang dipastikan kebenarannya oleh lbnu Al Jauzi dalam menjelaskan nama orang-orang yang tidak disebutkan dalam kitab Shahih Bukhari. Dia menyatakan orang yang dimaksud dalam hadits ini adalah Daud bin Marwan.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 532-534 – Kitab Waktu-waktu Shalat

Akan tetapi pendapat ini perlu dikaji lebih mendalam, karena dalam riwayat mengenai hal itu dikatakan bahwa pemuda yang dimaksud berasal dari anak Abu Mu’aith, sementara Marwan bukan anak Abu Mu’aith. Bahkan Abu Mu’aith adalah putra paman bapaknya Marwan, (sepupunya Marwan) karena namanya adalah Abu Mu’aith bin Abi Marwan bin Umayyah. Sedangkan nama bapaknya Marwan adalah Al Hakam bin Abi Al Ash bin Umayyah. lbunya Daud ataupun ibunya Marwan serta ibunya Al Hakam bukanlah anak Abu Mu’ aith, maka ada kemungkinan Daud dinasabkan kepada Abu Mu’aith dari sisi susuan atau karena keberadaan kakeknya dari pihak ibunya (Utsman bin Affan) adalah saudara laki-laki Al Walid bin Uqbah bin Abi Mu’aith. Maka, Daud dinisbatkan kepadanya dalam arti majaz (kiasan) meski sangat jauh.

Adapun pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah bahwa kejadian seperti ini terjadi berulang kali dengan Abu Sa’id dan bukan hanya dengan satu orang saja. Dalam kitab Mushannaf Ibnu Abi Syaibah melalui jalur lain dari Abu Sa’id sehubungan dengan kisah ini dikatakan, “Maka Abdurrahman bin Al Harits bin Hisyam hendak lewat di hadapannya.” (Al Hadits). Sementara Abdurrahman berasal dari suku Al Makhzumi, tidak ada hubungan nasab antara dia dengan Abu Mu’aith. Wallahu a ‘lam.

فَنَالَ مِنْ أَبِي سَعِيدٍ (dia mencela Abu Sa’id) yakni ia mencela kehormatan Abu Sa’id dengan cemoohan.

مَالِك وَلِابْنِ أَخِيك (ada apa antara engkau dengan putra saudaramu) Marwan menyebutkan persaudaraan antara keduanya dalam tinjauan iman. Hal ini mendukung bahwa yang dimaksud bukan Al Walid, sebab bapaknya Al Walid terbunuh dalam keadaan kafir.

Ar-Rafi’i berdalil dengan kisah ini tentang disyariatkannya mendorong seseorang yang lewat di hadapan orang yang shalat, meskipun tidak ada jalan lain yang dilaluinya selain di hadapan orang yang sedang shalat, berbeda dengan pandangan Imam Al Haramain. Sementara lbnu Raf’ah memiliki pembahasan tersendiri mengenai hal ini yang nanti akan kami isyaratkan pada hadits sesudahnya, insya Allah.

فَلْيَدْفَعْهُ (hendaklah ia mendorongnya) Dalam riwayat Imam Muslim, disebutkan “Hendaklah ia mendorong di bagian dadanya”. Al Qurthubi berkata, “Yakni dengan isyarat dan cara yang lembut.”

فَلْيُقَاتِلْهُ (hendaklah ia memeranginya) yakni mendorong pada kali berikutnya lebih keras dari sebelumnya. Al Qurthubi mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa orang yang shalat tidak harus memerangi seseorang yang lewat di hadapannya dengan menggunakan senjata, karena perbuatan itu menyalahi kaidah untuk melakukan shalat dengan khusyuk.”

Sementara sejumlah ulama Syafi’i menyatakan bolehnya orang yang shalat untuk benar-benar memerangi seseorang yang lewat di hadapannya. Namun pendapat ini dikatakan tidak tepat oleh Ibnu Al Arabi dalam kitabnya Al Qabs. Ia berkata, “Yang dimaksud dengan memerangi adalah mencegah dan mendorongnya.” Lalu Al Baji mengeluarkan pernyataan yang cukup aneh, beliau berkata, “Ada kemungkinan yang dimaksud dengan memerangi adalah melaknat atau membentak.” Perkataan Al Baji ini dikritik, karena hal itu mengharuskan seseorang untuk berbicara saat shalat, dan itu dapat merusak shalat, berbeda dengan melakukan perbuatan ringan. Akan tetapi mungkin yang dimaksud adalah melaknatnya dengan tindakan, bukan pembicaraan. Namun perbuatan sahabat menyalahi pendapat ini, sementara beliau lebih tahu apa yang dimaksud oleh hadits. Al Ismaili meriwayatkan dengan lafazh, “Apabila dia (orang yang lewat) enggan, maka hendaklah ia (orang yang shalat) meletakkan tangan di dadanya (orang yang lewat) lalu mendorongnya.” Kalimat ini sangat tegas menyatakan perbuatan mendorong dengan tangan.

Kemudian Al Baihaqi menukil dari As-Syafi’i, bahwa yang dimaksud dengan “memerangi” adalah mendorong lebih keras daripada yang sebelumnya. Dalam keterangan terdahulu dari Ibnu Umar disebutkan, bahwa “memerangi” hanya disyariatkan ketika tidak ada cara lain untuk mencegah orang yang lewat kecuali dengan mendorongnya. Pendapat serupa telah dinyatakan oleh para sahabat kami, dimana mereka berkata, “Hendaklah ia menolaknya dengan cara paling lembut, apabila enggan maka menggunakan cara yang lebih keras lagi meski harus berakhir dengan membunuhnya. Apabila terbunuh, maka orang yang shalat tidak bertanggung jawab sedikitpun, karena syariat telah membolehkannya untuk memerangi orang itu. Sementara perbuatan ‘memerangi’ yang dinaungi syariat tidak mengharuskan adanya tanggung jawab (ganti rugi).” Al Qadhi lyadh dan ulama selain beliau menukil bahwa dalam madzhab mereka terdapat perbedaan pendapat mengenai kewajiban diyat (denda karena membunuh -penerj.) dalam masalah ini.

Ibnu Baththal serta ulama lainnya telah menukil kesepakatan bahwa orang yang shalat tidak wajib beranjak dari tempatnya untuk mencegah orang yang lewat di hadapannya dan banyak melakukan gerakan dalam rangka mencegahnya, sebab hal ini lebih membahayakan shalat daripada membahayakan orang yang ada di hadapannya.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 321 – Kitab Haid

Mayoritas (jumhur) ulama mengatakan, bahwa apabila seseorang lewat tanpa dicegah oleh orang yang shalat, maka ia tidak boleh untuk memerintahkan orang itu kembali, karena dengan demikian perbuatan melewati orang yang shalat akan terulang. Tetapi Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan selainnya, bahwa orang yang shalat berhak memerintahkan orang yang telah lewat untuk kembali. Tapi mungkin pendapat ini dipahami, apabila orang yang shalat telah mencegah dan mendorongnya, namun orang itu tetap lewat di hadapannya.

Imam An-Nawawi berkata, “Aku tidak mengetahui seorang pun di antara ahli fikih yang mewajibkan perbuatan ini, bahkan para ulama madzhab kami menegaskan bahwa perbuatan ini hukumnya sunah.” Akan tetapi, ulama ahli zhahir telah menyatakan bahwa perbuatan itu adalah wahib hukumnya. Seakan-akan Imam An-Nawawi belum meneliti pandangan mereka mengenai hal ini, atau beliau tidak menganggap penyelisihan yang mereka lakukan.

فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ (karena sesungguhnya ia adalah syetan). Yakni perbuatannya adalah perbuatan syetan, karena ia enggan untuk dicegah dan lebih memilih mengganggu konsentrasi orang yang shalat. Menggunakan lafazh syetan bagi orang yang membangkang adalah diperbolehkan, dan hal ini sangat banyak kita ditemukan. Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an, “Syetan-syetan manusia dan jin.” (Qs. Al An’aam: 112) lbnu Baththal berkata, “Hadits ini menerangkan bolehnya menjuluki “syetan” bagi siapa yang membuat fitnah dalam agama. Karena, status hukum adalah berdasarkan makna yang dikandung bukan pada nama-nama (lafazh), sebab mustahil seseorang berubah menjadi syetan hanya karena lewat di hadapan orang yang shalat.” Perkataan lbnu Baththal ini berdasarkan bahwa hakikat lafazh syetan digunakan untuk syetan. Adapun digunakannya lafazh syetan untuk manusia adalah dalam bentuk majaz (kiasan), namun masalah ini perlu dibahas lebih lanjut.

Ada pula kemungkinan maknanya adalah, “Hanya saja yang mendorongnya untuk melakukan hal itu adalah syetan.” Dalam riwayat Al Ismaili disebutkan, (Sesungguhnya syetan bersamanya). Imam Muslim juga menukil riwayat yang serupa dari hadits lbnu Umar dengan lafazh, (Sesungguhnya bersamanya pengiring).

lbnu Abi Jamrah menarik kesimpulan dari ungkapan, (Sesungguhnya ia adalah syetan) bahwa yang dimaksud dengan perkataannya, “Hendaklah ia memeranginya” adalah mencegah dengan cara yang lembut dan bukan benar-benar memerangi. Dia berkata, “Karena memerangi syetan hanya dilakukan dengan memohon perlindungan dan dihindarkan darinya dengan mengucapkan basmalah atau yang sepertinya. Di samping itu, perbuatan dalam shalat diperbolehkan apabila dalam batas yang ringan. Seandainya orang yang shalat benar-benar memerangi seseorang yang lewat di hadapannya, maka akan lebih berdampak buruk bagi shalatnya daripada lewatnya orang di hadapannya.” Beliau menambahkan, “Apakah perbuatan ‘memerangi’ di sini karena kekurangan yang terjadi pada shalat karena dilewati, ataukah untuk menghindarkan dosa dari orang yang lewat? Kemungkinan terkuat adalah yang kedua.”

Tapi ulama yang lain berkata, “Bahkan kemungkinan yang lebih tepat adalah yang kedua, sebab memusatkan konsentrasi dalam shalat lebih utama bagi orang yang shalat daripada harus menghindarkan orang lain dari dosa.” Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud (Bahwa lewat di hadapan orang yang shalat telah memutuskan setengah shalat). Abu Nu’aim meriwayatkan dan umar, (Kalau orang yang shalat mengetahui apa yang kurang dari shalatnya akibat ada orang lewat di hadapannya, niscaya ia tidak akan shalat kecuali menghadap sesuatu yang menghalanginya dari manusia). Kedua riwayat ini mengindikasikan bahwa perbuatan “memerangi” bertujuan menghindarkan kekurangan yang berhubungan dengan shalat orang yang melakukannya, dan bukan berkaitan dengan orang yang lewat secara khusus. Kedua riwayat itu meskipun mauqzif(tidak sampai kepada Nabi SAW) namun termasuk kategori marfu’ (sampai kepada Nabi SAW), karena sepertinya keduanya tidak berdasarkan pendapat (ijtihad).


[1] Huruf jar adalah huruf yang mengkasrah kata sesudahnya dalam bahasa Arab. Seperti min, ilaa, alaa, an dan sebagainya, penerj.

[2] Perkataan ini kurang tepat, karena secara lahiriah hadits-hadits mengenai hal ini berindikasi haramnya lewat di depan orang yang shalat meski tanpa menghadap sutrah, dan disyariatkan baginya mendorong orang yang lewat di hadapannya. Kecuali apabila seseorang tidak mendapatkan celah kecuali harus lewat di hadapan orang shalat tanpa sutrah tadi. Apabila seseorang lewat dari jarak yang jauh dengan orang yang shalat tanpa menghadap sutrah, maka orang yang lewat tidak mendapat dosa. Karena ia lewat pada jarak yang jauh secara kebiasaan tidaklah dinamakan lewat di hadapan orang shalat. sebagaimana halnya dengan orang yang lewat di balik sutrah.

M Resky S