Hadits Shahih Al-Bukhari No. 480 – Kitab Shalat

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 480 – Kitab Shalat ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Dosa Orang yang Lewat di Hadapan Orang yang Sedang Shalat” Hadis ini menjelaskan tentang ancaman bagi orang yang lewat dihadapan orang yang sedang salat Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 3 Kitab Shalat. Halaman 294-300.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي النَّضْرِ مَوْلَى عُمَرَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ أَنَّ زَيْدَ بْنَ خَالِدٍ أَرْسَلَهُ إِلَى أَبِي جُهَيْمٍ يَسْأَلُهُ مَاذَا سَمِعَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَارِّ بَيْنَ يَدَيْ الْمُصَلِّي فَقَالَ أَبُو جُهَيْمٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيْ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ قَالَ أَبُو النَّضْرِ لَا أَدْرِي أَقَالَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا أَوْ شَهْرًا أَوْ سَنَةً

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Abdullah bin Yusuf] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Malik] dari [Abu An Nadlr] mantan budak ‘Umar bin ‘Abaidullah dari [Busr bin Sa’id] bahwa Zaid bin Khalid mengutusnya kepada Abu Juhaim untuk menanyakan apa yang didengarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang orang yang lewat di depan orang yang sedang shalat. [Abu Juhaim] lalu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sekiranya orang yang lewat di depan orang yang mengerjakan shalat mengetahui apa akibat yang akan ia tanggung, niscaya ia berdiri selama empat puluh lebih baik baginya dari pada dia lewat di depan orang yang sedang shalat.” Abu An Nadlr berkata, “Aku tidak tahu yang dimaksud dengan jumlah ’empat puluh itu’, apakah empat puluh hari, atau bulan, atau tahun.”

Keterangan Hadis (Bab dosa seseorang yang lewat di hadapan orang yang shalat) Dalam bab ini Imam Bukhari menyebutkan hadits Busr bin Sa’id, bahwa Zaid bin Khalid -yakni Al Juhani Ash-Shahabi- mengutusnya kepada Abu Juhaim -yakni Ibnu Al Harits bin Ash-Shamah Al Anshari- dimana haditsnya telah disebutkan pada bab “Tayamum Saat Tidak Bepergian”.

Demikianlah hadits ini diriwayatkan oleh Malik dalam kitab Al Muwaththa’ tanpa ada perbedaan bahwa yang diutus adalah Zaid, dan orang yang dituju adalah Abu Juhaim. Dalam hal ini dia didukung oleh Sufyan Ats-Tsauri dari Abu Nadhr, seperti tercantum dalam riwayat Imam Muslim dan Ibnu Majah serta selain keduanya. Akan tetapi Ibnu Uyainah menyalahi keduanya dari Abu An-Nadhr, dia berkata, “Diriwayatkan dari Busr bin Sa’id, dia berkata, ‘Aku diutus oleh Abu Juhaim kepada Zaid bin Khalid untuk bertanya kepadanya’. Lalu beliau menyebutkan hadits di atas.”

Ibnu Abdi) Barr berkata, “Demikianlah diriwayatkan oleh Ibnu Uyainah dengan terbalik.” Hadits itu dikutip oleh Ibnu Abi Khaitsamah, dari bapaknya, dari Ibnu Uyainah. Kemudian lbnu Abi Khaitsamah berkata, “Riwayat ini ditanyakan kepada Yahya bin Ma’in, maka dia berkata, ‘Ini merupakan suatu kesalahan, karena yang benar adalah “Aku diutus oleh Zaid kepada Abu Juhaim” seperti yang dinukil oleh Imam Malik’.” Namun perkataan Yahya bin Ma’in ditanggapi oleh lbnu Al Qaththan, “Kesalahan Ibnu Uyainah tidak dapat dipastikan, karena ada kemungkinan Abu Juhaim mengutus Busr kepada Zaid, lalu Zaid mengutusnya kembali kepada Abu Juhaim untuk memastikan riwayat yang ada pada kedua belah pihak.”

Saya (Ibnu Hajar) katakan, alasan yang dikemukakan para imam dalam melemahkan suatu riwayat adalah berdasarkan dugaan. Apabila mereka mengatakan si fulan melakukan kesalahan dalam persoalan ini, maka kesalahannya belum dapat dipastikan. Bahkan kesalahan tersebut hanyalah kemungkinan yang paling kuat, sehingga boleh dijadikan pedoman. Kalau bukan karena hal ini, niscaya mereka tidak akan mempersyaratkan dalam definisi hadits shahih bahwa harus terhindar dari syadz, yakni riwayat orang yang tsiqah (terpercaya) menyalahi riwayat orang yang lebih tsiqah.

بَيْنَ يَدَيْ الْمُصَلِّي (di hadapan orang shalat) yakni di depannya dalam jarak yang dekat. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan batasnya. Sebagian mengatakan, apabila lewat antara orang yang shalat dengan tempat sujudnya. Ada pula yang mengatakan dalam jarak tiga hasta. Sebagian lagi mengatakan jaraknya adalah dari orang yang shalat hingga sejauh lemparan batu.

Baca Juga:  Tingkatan Hadits Berdasarkan Kualitas Haditsnya (Bagian 2)

مَاذَا عَلَيْهِ (apa baginya) Al Kasymihani menambahkan, مِنْ الْإِثْمِ (dari dosa) Akan tetapi tambahan ini tidak ditemukan pada seorang perawi pun selain dia, dan had its yang terdapat dalam kitab Al Muwaththa‘ juga tanpa tambahan itu. Ibnu Abdil Barr berkata, “Tidak ada perbedaan lafazh mengenai hal ini dalam riwayat Imam Malik. Demikian pula dalam riwayat para penulis kitab hadits yang enam dan para pengarang kitab-kitab Musnad ataupun Mustakhraj, yaitu tanpa tambahan tadi. Saya belum menemukannya dalam riwayat manapun secara mutlak. Akan tetapi dalam kitab Mushannaf lbnu Abi Syaibah disebutkan, “Yakni dari dosa”. Dari sini maka ada kemungkinan bahwa dalam naskah asli Imam Bukhari lafazh itu disebutkan dalam catatan kakinya, lalu Al Kasymihani menyangka sebagai lafazh yang terdapat dalam sumber aslinya. Sebab beliau bukan ahli ilmu, bukan pula penghafal hadits tapi sekedar perawi. Kemudian Al Muhib Ath-Thabari dalam kitab Al Ahkam menisbatkan lafazh tersebut kepada Imam Bukhari tanpa penjelasan. Oleh sebab itu, perbuatannya patut dicela demikian pula dengan perbuatan penulis kitab Al Umdah karena sikapnya yang menimbulkan kesalahpahaman bahwa lafazh tersebut terdapat dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim.

Sementara itu, Ibnu Shalah dalam kitab Musykil Al Wasith mengingkari mereka yang mengatakan bahwa lafazh tersebut terdapat dalam hadits. Dia berkata, “Lafazh ‘dosa’ tidak terdapat dalam hadits secara tekstual.” Ketika hadits ini disebutkan oleh An-Nawawi dalam Syarah Al Muhadzdzab tanpa tambahan tadi, dia berkata, “Dalam sebuah riwayat yang kami nukil dalam kitab Al Arba’in oleh Abdul Qadir Al Harawi terdapat lafazh, مَاذَا عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ (Apa dosa baginya).”

لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ (niscaya berdiri empat puluh) Yakni orang yang lewat bila mengetahui besarnya dosa yang didapatkannya akibat lewat di hadapan orang yang shalat, niscaya ia akan lebih memilih untuk berdiri selama waktu yang disebutkan agar tidak mendapatkan dosa.

Al Karmani berkata, “Kalimat pelengkap bagi kata syarat لَوْ (kalau) tidak disebutkan secara tekstual, adapun makna seharusnya adalah, ‘Kalau ia mengetahui apa baginya, niscaya ia akan berdiri selama empat puluh. Jika ia berdiri selama empat puluh, niscaya hal itu lebih baik baginya ‘. Akan tetapi kebenaran apa yang dikatakannya tidaklah pasti.” Beliau juga berkata, “Kata yang dihitung sengaja tidak disebutkan untuk tujuan membesarkan urusan dan mengagungkannya.” Saya (lbnu Hajar) katakan, mengenai makna lahiriah konteks hadits tersebut, bahwa kata yang dihitung telah disebutkan dengan pasti, namun perawi mengalami keraguan mengenai hal itu.”

Selanjutnya Al Karmani mengemukakan dua hikmah disebutkannya secara khusus angka “empat puluh”; salah satunya bahwa em pat adalah asal dari semua angka, dan ketika hendak dijadikan jumlah yang banyak maka dikalikan sepuluh. Kedua, karena kesempurnaan fase perjalanan hidup manusia pada angka empat puluh; seperti setetes mani (nuthfah), segumpal darah (mudhghah) dan daging (alaqah), demikian pula dengan masa stabil. Namun, mungkin pula ada hikmah selain itu.

Dalam riwayat Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dari hadits Abu Hurairah dikatakan, “Niscaya berdiri seratus tahun lebih baik baginya daripada langkah yang diayunkannya.” Riwayat ini memberi isyarat bahwa penyebutan angka empat puluh adalah untuk mengagungkan persoalan, bukan untuk menentukan angka secara khusus.

Lalu Ath-Thahawi cenderung mengatakan bahwa pembatasan dengan angka seratus disebutkan setelah pembatasan angka empat puluh, sebagai tambahan dalam membesarkan urusan orang yang lewat. Kedua angka tersebut tidak terjadi bersamaan, sebab seratus lebih besar daripada empat puluh. Sementara di sini adalah konteks zajr (larangan) dan takhwiif (memberi rasa takut), maka tidak sesuai apabila penyebutan angka empat puluh mendahului penyebutan angka seratus. Bahkan, yang sesuai adalah sebaliknya.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 118 – Kitab Ilmu

Adapun waktu yang dimaksud dengan empat puluh apabila ia adalah tahun, maka telah tercantum dalam riwayat tadi. Adapun apabila yang dimaksud adalah kurun waktu yang lebih pendek daripada tahun maka tentu lebih tidak ada persoalan lagi. lbnu Al Qaththan, menyebutkan dalam Musnad Al Bazzar melalui jalur Ibnu Uyainah, “Niscaya berdiri empat puluh musim semi.” Hadits ini dinukil oleh Ahmad bin Abdah Adh-Dhabbi dari lbnu Uyainah. Lalu lbnu Al Qaththan menjadikan riwayat yang tidak mengandung unsur keraguan -seperti dinukil dari lbnu Uyainah- dan riwayat yang mengandung keraguan -seperti dinukil dari perawi lainnya- sebagai bukti bahwa peristiwa ini terjadi bukan hanya sekali. Akan tetapi Imam Ahmad, lbnu Abi Syaibah, Sa’id bin Manshur dan selain mereka meriwayatkan dari para ahli hadits, dari Ibnu Uyainah, dari Abu Nadhr disertai adanya lafazh yang menunjukkan keraguan pula, lalu ditambahkan padanya, أَوْ سَاعَة (Atau jam). Merupakan hal yang mustahil apabila sikap ragu dan tegas terjadi pada seorang perawi dalam satu keadaan, kecuali bila dikatakan, “Barangkali pada satu kesempatan dia mengingatnya, maka ia pun menyebutkannya”. Namun, perkataan ini tetap tidak luput dari kelemahan.

قَالَ أَبُو النَّضْرِ (Abu An-Nadhr berkata) Imam An-Nawawi berkata, “Di sini terdapat dalil tentang haramnya lewat di hadapan orang yang shalat karena sesungguhnya makna hadits adalah larangan tegas dan ancaman pedih bagi pelakunya.” Sebagai konsekuensinya, maka perbuatan ini digolongkan sebagai dosa besar.

Dalam hadits ini terdapat kebolehan bagi seseorang untuk mengambil ilmu dari teman, serta memperjelas dari teman seangkatan riwayat yang mereka dengar bersama-sama. Begitu pula diperbolehkan berpedoman dengan khabar ahad (berita yang dinukil oleh seorang perawi -penerj.), karena di sini Zaid merasa cukup dengan berita yang dibawa oleh utusan yang dikirimnya. Di samping itu, dalam hadits ini terdapat ·keterangan bolehnya menggunakan lafazh “kalau” atau “seandainya” dalam konteks ancaman. Ini tidak masuk dalam spesifikasi larangan mengucapkan kata “kalau” atau “seandainya”, karena larangan mengucapkan kata-kata seperti itu hanya berlaku pada saat ia menjadi penghalang seseorang untuk mendapatkan apa yang sesungguhnya dapat ia peroleh sebagaimana akan dijelaskan dalam kitab tentang “Qadar”, dimana Imam Bukhari menyebutkan kembali hadits ini. Insya Allah.

Catatan Penting: Pertama, lbnu Baththal mengambil kesimpulan hukum dari perkataan “Kalau ia mengetahui” bahwa dosa hanya didapatkan oleh orang yang mengetahuinya dan melanggar larangan tersebut. Tapi sikap beliau yang berdalil dengan lafazh ini untuk menetapkan hukum tersebut tidak tepat, karena hukum tersebut telah diketahui berdasarkan dalil-dalil yang lain.

Kedua, berdasarkan makna lahiriah hadits, bahwa ancaman yang disebutkan adalah khusus bagi mereka yang lewat dan tidak mencakup mereka yang berdiri secara sengaja di depan orang shalat, demikian pula dengan duduk atau berbaring. Akan tetapi apabila sebab yang mendasari larangan adalah mengganggu orang shalat, maka perbuatan-perbuatan tadi memiliki makna yang sama seperti halnya lewat.

Ketiga, secara lahiriah larangan tersebut berlaku bagi setiap orang yang shalat. Namun cakupan umum ini dibatasi oleh sebagian ulama Maliki, yaitu khusus bagi imam dan orang yang shalat sendirian, sebab shalat makmum tidak terpengaruh oleh orang yang lewat di hadapannya, karena sutrahnya (pembatas) adalah sutrah imamnya. Akan tetapi alasan yang mereka kemukakan kurang mendukung, sebab sutrah hanya akan mengangkat dosa dari orang yang shalat dan tidak demikian bagi orang yang lewat. Maka, dalam hal ini sama saja antara imam, makmum maupun orang yang shalat sendirian.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 183 – Kitab Wudhu

Keempat, Ibnu Daqiq Al Id menyebutkan bahwa sebagian ulama madzhab Maliki menjelaskan secara rinci dalam empat bagian tentang keadaan orang yang lewat di hadapan orang yang shalat ditinjau dari segi dosa:

1. Orang yang lewat berdosa tapi orang yang shalat tidak berdosa.

2. Kebalikan dari pertama (orang yang lewat tidak berdosa dan orang yang shalat berdosa)

3. Keduanya sama-sama berdosa.

4. Keduanya sama-sama tidak berdosa.

Gambaran pertama, adalah seseorang shalat dengan menghadap sutrah dan bukan di tempat yang biasa dilalui orang, sementara orang yang lewat masih menemukan jalan selain harus lewat di hadapan orang yang shalat, maka dalam kondisi demikian orang yang lewat berdosa dan orang yang shalat tidak mendapat dosa.

Gambaran kedua, adalah seseorang shalat di tempat yang biasa dilalui orang tanpa menghadap ke sutrah atau berdiri dalam jarak yang jauh dari sutrah, sementara orang yang akan lewat tidak menemukan jalan lain, maka dalam kondisi demikian orang yang shalat mendapat dosa sedangkan orang yang lewat tidak berdosa.

Gambaran ketiga sama seperti kondisi kedua, akan tetapi orang yang lewat masih menemukan jalan lain, maka dalam kondisi demikian keduanya sama-sama berdosa.

Gambaran keempat sama seperti kondisi pertama, hanya saja orang yang lewat tidak menemukan jalan lain, sehingga keduanya sama-sama tidak berdosa.

Makna lahiriah hadits mengindikasikan larangan untuk lewat secara mutlak, meskipun tidak menemukan jalan lain, bahkan seharusnya dia berdiri hingga orang yang shalat menyelesaikan shalatnya. Pandangan ini didukung oleh kisah Abu Sa’id Al Khudri terdahulu, “Maka pemuda itu melihat sejenak namun tidak menemukan jalan lain.” Pada pembahasan terdahulu telah diisyaratkan perkataan Imam Al Haramain, “Sesungguhnya dalam kondisi demikian, tidak disyariatkan bagi orang shalat untuk mendorong orang yang lewat di hadapannya.” Pendapat ini disetujui oleh Imam Al Ghazali, namun dibantah oleh Ar-Rafi’i. Sementara Ibnu Rafah memberi tanggapan yang pada kesimpulannya pemuda tersebut diperlakukan demikian oleh Abu Sa’id karena kelalaiannya yang sengaja datang terlambat hingga manusia telah banyak dan berdesak-desakan.

Perkataan yang dikemukakan oleh Ibnu Rafah cukup berdasar, akan tetapi tetap tidak dapat menolak pandangan mereka yang menjadikan hadits itu sebagai dalil mendorong orang yang lewat saat shalat, sebab Abu Sa’id tidak beralasan seperti itu. Ditambah lagi, pandangan tadi dibangun atas dasar kejadian tersebut berlangsung sebelum shalat Jum’at atau saat dilangsungkan shalat Jum’at. Padahal tidak tertutup kemungkinan peristiwa itu terjadi setelah shalat Jum’at, sehingga apa yang dikatakan bahwa pemuda tersebut lalai hingga terlambat datang nampaknya kurang berdasar. Bahkan kondisi manusia yang berdesak-desakan setelah shalat Jum’at lebih sering terjadi. Wallahu a’lam.

Kelima, disebutkan dalam riwayat Abu Al Abbas As-Saraj melalui jalur Adh-Dhahhak bin Utsman, dari Abu An-Nadhr, “Seandainya orang yang lewat di hadapan orang shalat dan orang yang shalat itu sendiri mengetahui … ” Sebagian ulama memahami riwayat ini dalam konteks bahwa orang yang shalat tidak mencegah orang yang lewat di hadapannya, atau ia shalat di jalanan umum. Namun ada pula kemungkinan lafazh dalam hadits tersebut dibaca “mushalla” sehingga maknanya “lewat di tempat shalat”, yakni antara orang yang shalat dengan sutrah-nya. Nampaknya kemungkinan ini lebih tepat. Wallahu a’lam.

M Resky S