Hadits Shahih Al-Bukhari No. 491 – Kitab Waktu-waktu Shalat

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 491 – Kitab Waktu-waktu Shalat ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Waktu Shalat dan Keutamaanya” Hadis ini menjelaskan tentang waktu-waktu salat sebagaimana dipraktekkan langsung oleh Jibril as. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 3 Kitab Waktu-waktu Shalat. Halaman 322-329.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ أَخَّرَ الصَّلَاةَ يَوْمًا فَدَخَلَ عَلَيْهِ عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ فَأَخْبَرَهُ أَنَّ الْمُغِيرَةَ بْنَ شُعْبَةَ أَخَّرَ الصَّلَاةَ يَوْمًا وَهُوَ بِالْعِرَاقِ فَدَخَلَ عَلَيْهِ أَبُو مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيُّ فَقَالَ مَا هَذَا يَا مُغِيرَةُ أَلَيْسَ قَدْ عَلِمْتَ أَنَّ جِبْرِيلَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَزَلَ فَصَلَّى فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ صَلَّى فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ صَلَّى فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ صَلَّى فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ صَلَّى فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ بِهَذَا أُمِرْتُ فَقَالَ عُمَرُ لِعُرْوَةَ اعْلَمْ مَا تُحَدِّثُ أَوَأَنَّ جِبْرِيلَ هُوَ أَقَامَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقْتَ الصَّلَاةِ قَالَ عُرْوَةُ كَذَلِكَ كَانَ بَشِيرُ بْنُ أَبِي مَسْعُودٍ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِيهِ قَالَ عُرْوَةُ وَلَقَدْ حَدَّثَتْنِي عَائِشَةُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ فِي حُجْرَتِهَا قَبْلَ أَنْ تَظْهَرَ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Abdullah bin Maslamah] berkata; Aku membacakannya di hadapan [Malik] dari [Ibnu Syihab] bahwa ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz pada suatu hari mengakhirkan pelaksanaan shalat. Kemudian [‘Urwah bin Az Zubair] datang menemuinya dan mengabarkan kepadanya bahwa Al Mughirah bin Syu’bah pada suatu hari juga pernah mengakhirkan shalat, dan saat itu dia tinggal di ‘Irak. Kemudian [Abu Mas’ud Al Anshari] datang menemuinya seraya berkata, “Apa yang kamu lakukan ini wahai Al Mughirah? Bukankah kamu telah mengetahui bahwa Malaikat Jibril shallallahu ‘alaihi wasallam pernah turun kemudian melaksanakan shalat, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga ikut melaksanakan shalat? Kemudian Jibril shalat lagi dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga ikut shalat kembali? Kemudian Jibril shalat lagi dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga ikut shalat kembali? Kemudian Jibril shalat lagi dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga ikut shalat kembali? Kemudian Jibril shalat lagi dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga ikut shalat kembali? Kemudian Jibril berkata, “Inilah waktu-waktu yang diperintahkan kepadaku (agar engkau melaksanakannya).” ‘Umar lalu berkata kepada ‘Urwah, “Ketahuilah apa yang kamu ceritakan! Sesungguhnya Jibril datang untuk menjelaskan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang waktu-waktu shalat.” ‘Urwah berkata, “Begitulah adanya. bahwasanya [Basyir bin Abu Mas’ud] menceritakan dari [Bapaknya]. Urwah berkata, ” [Aisyah] menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melaksanakan shalat ‘Ashar, sementara cahaya matahari yang ada dalam kamarnya belum nampak.”

Keterangan Hadis: أَخَّرَ الصَّلَاةَ يَوْمًا (mengakhirkan shalat pada suatu hari) Dalam riwayat Imam Bukhari bab “Permulaan Penciptaan” dari jalur Al-Laits, dari lbnu Syihab telah dijelaskan tentang shalat yang dimaksud, dimana dalam riwayat tersebut disebutkan أَخَّرَ الْعَصْر شَيْئًا (mengakhirkan shalat Ashar). Ibnu Abdul Barr berkata, “Konteks riwayat tersebut menyebutkan bahwa hal itu dilakukan Umar bin Abdul Aziz pada suatu hari, dan bukan menjadi kebiasaannya, meskipun orang-orang pada waktu itu biasa melakukan demikian.” Hal ini akan dijelaskan pada bab “Menyia-nyiakan Shalat Sampai Keluar Waktunya”. Demikian juga yang disebutkan dalam naskah Ash-Shaghani.

Dalam riwayat Abdurrazzaq dari Ma’mar, dari lbnu Syihab disebutkan أَخَّرَ الصَّلَاةَ مَرَّة (pernah mengakhirkan shalat) yaitu shalat Ashar. Dalam riwayat Thabrani dari jalur Abu Bakar bin Hazm, bahwa Urwah bercerita kepada Umar bin Abdul Aziz -penguasa Madinah pada zaman Al Walid bin Abdul Malik- dimana pada waktu itu Bani Umayyah biasa mengakhirkan shalat. lbnu Abdil Barr berkata, “Maksudnya, Umar bin Abdul Aziz mengakhirkan shalat sampai keluar waktu yang mustahab ( disukai), bukan mengakhirkannya sampai terbenam matahari. Pendapat ini dikuatkan oleh riwayat Imam Laits yang telah disebutkan.”

Baca Juga:  Apa Sih Takhrij Hadits Itu? Ini Pengertian dan Penjelasannya

Adapun riwayat Thabrani dari jalur Yazid bin Abu Habib, dari Usamah bin Zaid Al-Laitsi dari lbnu Syihab dalam hadits ini, dia berkata, (seorang muadzin menyeru untuk shalat Ashar, lalu Umar bin Abdul Aziz berada di waktu sore sebelum melaksanakan shalat) harus dipahami bahwa Umar bin Abdul Aziz mendekatkan (mengakhirkan) waktu sore dan bukan telah masuk waktu sore. Selanjutnya Umar bin Abdul Aziz tidak lagi melakukan hal itu, sebagaimana yang diriwayatkan Al Auza’i dari Ashim bin Raja’ bin Haiwah dari bapaknya, bahwa Umar bin Abdul Aziz -yakni pada masa pemerintahannya- melaksanakan shalat Zhuhur pada jam de Japan dan shalat Ashar pada jam sepuluh ketika masuk waktunya.

أَنَّ الْمُغِيرَة بْن شُعْبَة أَخَّرَ الصَّلَاةَ يَوْمًا (Bahwa Mughirah bin Syu’bah pada suatu hari mengakhirkan shalat) Abdurrazzaq dalam riwayatnya dari lbnu Juraij, dari lbnu Syihab menyebutkan bahwa shalat tersebut adalah shalat Ashar. Sebagaimana disebutkan (Mughirah bin Syi’bah mengakhirkan shalat Ashar hingga sore)

وَهُوَ بِالْعِرَاقِ (Ketika itu ia berada di negeri Irak) Dalam kitab Al Muwaththa‘ riwayat Al Qa’nabi dan lainnya dari Malik disebutkan, “Dia di Kufah”, dan Kufah termasuk wilayah Irak. Maka ungkapan dengan kata “Kufah” adalah lebih khusus daripada ungkapan dengan menggunakan kata “Irak”. Perlu diketahui bahwa Mughirah pada waktu itu menjabat sebagai amir (Gubernur) Kufah sebelum Muawiyah bin Abu Sufyan. Yang dimaksud Abu Mas’ud dalam riwayat tersebut adalah Uqbah bin Amru Al Badri.

مَا هَذَا (Apa ini) artinya apa maksud pengakhiran ini.

قَدْ عَلِمْت (Kamu telah mengetahui) Al Qadhi lyad berkata, “Secara lahiriah menunjukkan bahwa Mughirah mengetahui hal itu. Bisa juga bahwa hal itu melalui perkiraan Abu Mas’ud, karena ia mengetahui bahwa ia bertemu dengan Mughirah.”

أَنَّ جِبْرِيلَ نَزَلَ (sesungguhnya Jibril Turun) Ibnu lshaq dalam kitab tentang Al Maghazi (peperangan) menjelaskan bahwa hal itu terjadi pada waktu Subuh, pada malam lsra’ ketika diwajibkan shalat. Dari Ibnu Juraij, Nati’ bin Jubair dan lainnya berkata, “Ketika Nabi SAW berada di waktu Subuh pada malam dia diisra ‘kan, maka tidak ada yang mengejutkannya kecuali Jibril turun pada waktu matahari condong. Pada waktu itu (pertama) dinamakan waktu zhuhur, maka Nabi menyuruh para shabatnya untuk menyerukan shalat ‘Ash-shalatu Jami’ah‘ (shalat berjama’ah)’. Lalu mereka berkumpul, maka Jibril shalat bersama Nabi dan kemudian Nabi shalat bersama para sahabat.” Lalu dia menyebutkan hadits ini. Hal ini merupakan bantahan bagi mereka yang berpendapat bahwa penjelasan tentang waktu shalat adalah setelah hijrah, padahal yang benar adalah sebelum hijrah melalui penjelasan Malaikat Jibril AS yang kemudian dijelaskan oleh Rasulullah SAW.

نَزَلَ فَصَلَّى ، فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (la turun lalu shalat, maka Rasulullah juga shalat) Al Qadhi Iyad berkata, “Secara lahiriah, Nabi shalat setelah Jibril. Tapi dalam riwayat lain diterangkan bahwa Jibril mengimami Nabi. Maka, perkataan صَلَّى فَصَلَّى (Jibril shalat lalu Nabi shalat) dimaksudkan bahwa setiap gerakan Jibril, telah diikuti oleh Nabi, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Nawawi.

Hadits ini dijadikan dasar bolehnya shalat bermakmum dengan orang yang bermakmum kepada orang lain, dan juga bolehnya shalat fardhu bermakmum dengan orang yang shalat sunah, berdasarkan bahwa malaikat tidak dibebani seperti apa yang dibebankan kepada manusia. Pendapat ini dikemukakan oleh lbnu Arabi dan lainnya. Al Qadhi lyadh berpendapat bahwa mungkin shalat itu belum diwajibkan atas Nabi pada waktu itu. Namun hal ini telah dijelaskan sebelumnya, bahwa shalat terse but adalah pada pagi hari malam Isra’. Al Qadhi Iyadh menjawab bahwa kemungkinan kewajiban shalat itu berkaitan erat dengan upaya untuk menjelaskannya, maka kewajiban itu hanya terwujud setelah shalat terse but. Dia juga mengatakan, “Kami tidak dapat menerima bahwa Jibril melakukan shalat sunah pada waktu itu, tapi Jibril telah melakukan shalat wajib, karena dia ditugaskan untuk menyampaikannya. Dengan demikian, maka shalat tersebut adalah shalat wajib yang dilaksanakan di belakang shalat wajib.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 175-176 – Kitab Wudhu

Ibnu Manayyar berkata, “Hal ini berkaitan dengan pendapat yang membolehkan seseorang melakukan shalat fardhu tertentu di belakang orang yang melakukan shalat fardhu yang lain. Pendapat ini dapat diterima jika seseorang shalat fardhu di belakang orang yang shalat qadha’, dan bukan orang yang shalat Zhuhur di belakang orang yang shalat Ashar.”

بِهَذَا أُمِرْت (Dengan ini aku diperintahkan) Artinya, seperti inilah engkau diperintahkan untuk shalat setiap hari dan malam.

كَذَلِكَ كَانَ بَشِير (demikianlah Basyir) Basyir adalah seorang tabiin yang dikenal di kalangan sahabat, karena dia dilahirkan pada zaman Nabi dan melihat Beliau. Al Karmani berkata, “Ketahuilah bahwa hadits dengan jalan seperti ini tidak bersambung sanadnya, sebab Abu Mas’ud tidak berkata, ‘Saya menyaksikan Rasulullah’ juga tidak berkata, ‘Rasulullah bersabda .. .”.”

Saya (Ibnu Ha jar) katakan, riwayat ini tidak disebut munqathi ‘, tetapi dinamakan mursal shahabi, karena ia tidak mengetahui kisahnya. Mungkin ia mendengar dari Nabi SAW atau had its itu sampai kepadanya melalui kabar orang yang dilihat atau didengarnya. Riwayat Laits yang dicantumkan pengarang bisa menghilangkan kerancuan. Lafazhnya, “Urwah berkata; saya mendengar Basyir bin Abu Mas’ud berkata; saya mendengar ayahku berkata; saya mendengar Rasul bersabda … ” Lalu ia menyebutkan hadits tersebut.

Al Qurthubi berkata, “Perkataan Urwah bahwa Jibril turun, tidak bisa dijadikan alasan yang tepat terhadap pendapat Umar bin Abdul Aziz, sebab Jibril tidak menentukan waktu shalat untuknya. Keraguan ini berawal dari anggapan bahwa Jibril telah mengingatkan waktu-waktu yang telah diketahui secara terperinci. Tapi anggapan dan keraguan ini terlalu jauh, karena Umar bin Abdul Aziz telah mengingkari Urwah dengan mengatakan, ‘Ketahui wahai Urwah, apa yang kamu ceritakan’. Secara lahiriah pengingkaran ini mengindiksikan bahwa ia tidak mengetahui kalau Jibril mengimami Nabi SAW.”

Saya (Ibnu Hajar) katakan, bahwa ketidaktahuan Umar bin Abdul Aziz tentang perbuatan Jibril mengimami Nabi SAW bukan berarti tidak mengetahui waktu-waktu shalat yang disebutkan secara mendetail, berdasarkan amalan yang dilakukan secara terus-menerus. Tetapi dia tidak mengetahui bahwa hal tersebut benar-benar telah dijelaskan oleh Jibril AS, maka dia menanyakan akan kebenaran berita tersebut. Seakan­-akan dia tidak melihat adanya perbedaan keutamaan antara bagian satu waktu tertentu. Demikian yang dapat dipahami dari amalan Mughirah dan sahabat lainnya, dan saya belum menemukan riwayat tentang jawaban Mughirah terhadap Abu Mas’ud. Tapi nampaknya ia merujuk kepada pendapat tersebut, wallahu a ‘lam.

Abdurrazzaq menambahkan dalam Mushannaf-nya yang diriwayat­kan dari Zuhri dalam kisah ini, dia berkata, “Umar bin Abdul Aziz senantiasa mengetahui shalat dengan tanda sampai dia meninggal dunia.” Abu syaikh meriwayatkan dalam kitab tentang “Al Mawaqit” dari jalur Walid, dari Auza’i, dari Zuhri, dia berkata, “Umar bin Abdul Aziz senantiasa belajar waktu shalat sampai meninggal dunia.” Sedangkan dari jalur Ismail bin Hakam disebutkan, “Umar bin Abdul Aziz menjadikan waktu-waktu itu habis bersamaan dengan terbenamnya matahari.” Dia menambahkan dari jalur lbnu Ishaq dari Zuhri, “Tidaklah dia (Umar bin Abdul Aziz) mengakhirkan shalat sampai meninggal dunia.” Semua riwayat tersebut menjelaskan bahwa Umar bin Abdul Aziz lebih banyak berhati-hati dalam masalah waktu shalat setelah diberitahu tentang hadits Urwah yang disebutkan di atas.

Catatan: Dalam kisah ini telah diriwayatkan dari jalur lain, dari Zuhri mengenai penjelasan Abu Mas’ud tentang waktu-waktu tersebut, yang sekaligus menghilangkan kerancuan dan menjelaskan maksud Urwah berdalil dengannya dalam masalah ini. Abu Daud dan lainnya meriwayatkan hadits ini dengan sanadnya, dan di-shahih-kan oleh lbnu Khuzaimah dan lainnya dari jalur lbnu Wahab, serta Thabrani dari jalur Yazid bin Abu Habib. Keduanya dari Usamah bin Zaid dari Zuhri, dengan tambahan di akhirnya, “Abu Mas’ud berkata, ‘Aku melihat Rasulullah SAW shalat Zhuhur ketika matahari tergelincir atau condong ke barat’.” Lalu dia menyebutkan hadits.

Pelajaran yang dapat diambil:

1. Masuknya ulama kepada para umara.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 278-280 – Kitab Mandi

2. Pengingkaran ulama terhadap umara yang menyalahi Sunnah.

3. Meneliti sesuatu yang dianggap asing (aneh) oleh pendengar.

4. Kembali kepada Sunnah ketika terjadi perselisihan.

5. Keutamaan Umar bin Abdul Aziz.

6. Keutamaan segera melaksanakan shalat pada waktu yang utama.

7. Diterimanya khabar ahad (had its yang diriwayatkan secara menyendiri).

8. Ibnu Baththal dan lainnya menjadikan hadits tersebut sebagai dasar bahwa dalil atau hujjah itu berdasarkan hadits muttashil (sanadnya bersambung) dan bukan munqathi’ (sanadnya terputus), karena Urwah menjawab pertanyaan Umar bin Abdul Aziz yang diajukan kepadanya ketika menyebutkan hadits mursal dengan menyebutkan orang yang meriwayatkan kepadanya. Oleh karena itu, ia kembali kepadanya. Sepertinya Umar bin Abdul Aziz berkata kepadanya. “Perhatikan dan cermati apa yang akan kamu katakan, mungkin apa yang akan kamu katakan itu berasal dari orang yang tidak kuat.” Kemudian seakan-akan Urwah mengatakan kepadanya, ”Bahkan apa yang akan aku katakan itu telah aku dengar dari orang yang telah mendengar sahabat Rasulullah, dan sahabat itu mendengar dari beliau SAW.”

9. Al Qadhi Iyadh berdalil dengan riwayat tersebut untuk membolehkan berdalil dengan hadits mursal yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya, seperti apa yang dilakukan oleh Urwah ketika mengatakan argumentasinya kepada Umar bin Abdul Aziz, dia berkata, “Umar kembali dari pendapatnya (meninggalkan) karena telah meneliti kebenarannya, bukan karena dia tidak menerima hadits mursal.”

10. Ibnu Baththal berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil akan lemahnya hadits yang menyebutkan bahwa Jibril telah mengimami Nabi SAW dalam dua hari, dengan dua waktu yang berbeda untuk setiap shalat.” Ibnu Baththal berkata, “Seandainya itu benar, maka Urwah tidak akan mengingkari shalat Umar bin Abdul Aziz di akhir waktunya berdasarkan shalat Jibril. Meskipun Jibril shalat pada hari kedua di akhir waktu, dan berkata, ‘Waktu adalah diantara dua (waktu) ini’ .”

Pendapat ini dapat dijawab, bahwa kemungkinan shalatnya Umar bin Abdul Aziz keluar dari waktu ikhtiyar, yaitu bayang-bayang suatu benda dua kali panjangnya; dan bukan keluar dari waktu jawaz, yaitu terbenamnya matahari. Dengan demikian, jelaslah pengingkaran yang dilakukan Urwah, dan hal itu tidak mengharuskan lemahnya hadits. Atau juga Urwah mengingkari apa yang menyalahi kebiasaan Nabi SAW, yaitu shalat di awal waktunya, atau melihat bahwa shalat setelah waktu itu diperbolehkan. Dengan demikian, tidak mengharuskan lemahnya hadits tersebut.

Sa’id bin Manshur meriwayatkan dari jalur Thalq bin Habib secara mursal, dia berkata, “Sesungguhnya seseorang melaksanakan suatu shalat dan shalat yang sudah lewat waktunya. Adapun melaksanakan shalat yang telah keluar dari waktunya itu lebih baik baginya dari keluarga dan hartanya.” Dia juga meriwayatkan dari lbnu Umar dari perkataannya, hal itu menguatkan argumentasi Urwah dengan hadits Aisyah, (Nabi SAW shalat Ashar waktu matahari menyinari kamarnya), yaitu shalat yang diingkari karenanya. Dengan demikian, nampaklah korelasi penyebutan hadits Aisyah setelah hadits Abu Mas’ud, karena hadits Aisyah menjelaskan kebiasaan Nabi melaksanakan shalat Ashar pada awal waktunya, sedangkan hadits Abu Mas’ud menjelaskan bahwa waktu-waktu shalat itu berdasarkan penjelasan Jibril AS.

قَالَ عُرْوَةُ وَلَقَدْ حَدَّثَتْنِي عَائِشَةُ (Urwah berkata, “Sesungguhnya Aisyah bercerita kepadaku.“) Al Karmani berkata, “Perkataan di atas bisa jadi perkataan Ibnu Syihab atau komentar dari Imam Bukhari.” Saya (Ibnu Hajar) katakan, bahwa kemungkinan kedua (komentar Bukhari) adalah jauh dari realita, sebagaimana akan dijelaskan dalam bab “Waktu Ashar”. Di sana Imam Bukhari menjelaskan hadits di atas diriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari Urwah, dari Aisyah. Maka, perkataan diatas adalah perkataan Urwah dan bukan komentar Imam Bukhari.

M Resky S