Hadits Shahih Al-Bukhari No. 526-529 – Kitab Waktu-waktu Shalat

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 526-529 – Kitab Waktu-waktu Shalat ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Waktu Maghrib” Hadis-hadis ini menjelaskan tentang waktu-waktu salat yang dipraktekkan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 3 Kitab Waktu-waktu Shalat. Halaman 391-396.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مِهْرَانَ قَالَ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ قَالَ حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو النَّجَاشِيِّ صُهَيْبٌ مَوْلَى رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ سَمِعْتُ رَافِعَ بْنَ خَدِيجٍ يَقُولُ كُنَّا نُصَلِّي الْمَغْرِبَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَنْصَرِفُ أَحَدُنَا وَإِنَّهُ لَيُبْصِرُ مَوَاقِعَ نَبْلِهِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Mihran] berkata, telah menceritakan kepada kami [Al Walid] berkata, telah menceritakan kepada kami [Al Awza’i] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abu An Najasyi Shuhaib] mantan budak Rafi’ bin Khadij, ia berkata, “Aku pernah mendengar [Rafi’ bin Khadij] berkata, “Kami pernah shalat Maghrib bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika salah seorang dari kami berlalu pergi, maka ia masih dapat melihat tempat sandal kami.”

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ قَدِمَ الْحَجَّاجُ فَسَأَلْنَا جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ فَقَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الظُّهْرَ بِالْهَاجِرَةِ وَالْعَصْرَ وَالشَّمْسُ نَقِيَّةٌ وَالْمَغْرِبَ إِذَا وَجَبَتْ وَالْعِشَاءَ أَحْيَانًا وَأَحْيَانًا إِذَا رَآهُمْ اجْتَمَعُوا عَجَّلَ وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَوْا أَخَّرَ وَالصُّبْحَ كَانُوا أَوْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّيهَا بِغَلَسٍ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Basysyar] berkata, telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Ja’far] berkata, telah menceritakan kepada kami [Syu’bah] dari [Sa’ad bin Ibrahim] dari [Muhammad bin ‘Amru bin Al Hasan bin ‘Ali] berkata, “Al Hajjaj pernah menunda pelaksanaan shalat, maka kami bertanya kepada [Jabir bin ‘Abdullah]. Maka dia menjawab, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan shalat Zhuhur ketika matahari telah condong, shalat ‘Ashar saat matahari masih terasa panas sinarnya, shalat Maghrib ketika matahari telah terbenam, dan shalat ‘Isya terkadang beliau mengikuti kedaan jama’ah; jika beliau lihat sudah berkumpul maka beliau segerakan, dan jika mereka belum berkumpul maka beliau akhirkan. Sementara untuk shalat Subuh, mereka atau beliau melaksanakannya saat pagi masih gelap.”

حَدَّثَنَا الْمَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ عَنْ سَلَمَةَ قَالَ كُنَّا نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَغْرِبَ إِذَا تَوَارَتْ بِالْحِجَابِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Al Makki bin Ibrahim] berkata, telah menceritakan kepada kami [Yazid bin Abu ‘Ubaid] dari [Salamah] berkata, “Kami pernah shalat Maghrib bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika matahari sudah tenggelam tidak terlihat.”

حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ زَيْدٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْعًا جَمِيعًا وَثَمَانِيًا جَمِيعًا

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Adam] berkata, telah menceritakan kepada kami [Syu’bah] berkata, [‘Amru bin Dinar] berkata, Aku pernah mendengar [Jabir bin Zaid] dari [‘Abdullah bin ‘Abbas] berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melaksanakan shalat tujuh rakaat dengan jama’ dan delapan rakaat dengan jama’.”

Baca Juga:  Mengenal Hadis Qudsi; Karakteristik dan Ciri-cirinya

Keterangan hadis: Atsar dari perkataan Atha’ tersebut menunjukkan bahwa batas waktu Maghrib adalah sampai lsya’. Hal itu j ika waktu tersebut mudhayyaq, maka terpisah dengan waktu Isya’. Tapi jika berpisah maka tidak akan dijamak, sebagaimana Subuh dan Zhuhur. Untuk itu, bab ini diakhiri dengan hadits lbnu Abbas yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW menjamak (mengumpulkan) shalat Zhuhur dan Ashar di salah satu waktu keduanya. Begitu juga dengan Shalat Maghrib dan lsya’, beliau menjamak di salah satu waktu keduanya.

Adapun hadits-hadits yang diriwayatkan dalam bab ini tidak satu pun yang menunjukkan bahwa waktu tersebut adalah mudhayyaq, karena hadits tersebut hanya menunjukkan untuk menyegerakan melaksanakan shalat pada awal waktunya. Itulah yang biasa dilakukan Rasulullah SAW dalam semua shalat kecuali telah disebutkan dalam riwayat bahwa Rasulullah melakukan yang lainnya, seperti menunggu panas reda untuk melaksanakan shalat Zhuhur pada hari yang sangat panas, atau mengakhirkan shalat Isya’ apabila beliau melihat para sahabat agak lambat sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Jabir RA.

Atsar Atha’ tersebut telah diriwayatkan oleh Abdurrazzaq secara bersambung dalam Mushannaf-nya dari Ibnu Juraij. Sedangkan ulama masih berbeda pendapat tentang orang yang sakit, apakah ia boleh menjamak shalat atau tidak seperti musafir ( orang yang sedang dalam perjalanan), dimana dalam hal ini terdapat unsur kasih sayang dan belas kasihan? Imam Ahmad dan Ishaq membolehkannya secara mutlak. Pendapat ini juga dipilih oleh sebagian pengikut madzhab Syafi’i, dan Malik telah membolehkan dengan syaratnya. Namun yang masyhur dari Syafi’ i dan pengikutnya adalah tidak membolehkan orang yang sakit untuk menjamak shalat. Dalam masalah ini, saya tidak mendapatkan penukilan dari salah seorang sahabat.

وَإِنَّهُ لَيُبْصِرُ مَوَاقِعَ نَبْلِهِ (sedangkan dia masih dapat melihat tempat (sasaran) anak panahnya) Imam Ahmad telah meriwayatkan dari jalur Ali bin Bilal, dari Anas , mereka berkata, “Kami shalat Maghrib bersama Nabi SAW, kemudian kami pulang dan melempar panah sampai kami kembali ke rumah kami, dan tempat sasaran anak panah yang kami lemparkan tidaklah samar (masih nampak) bagi kami.” Sanad hadits ini adalah hasan (baik).

Al Hajjaj adalah Ibnu Yusuf Ats-Tsaqafi.

Al Karmani mendakwakan bahwa lafazh “Al Hajjaj” di atas adalah “Al Hujjaj”, yang berarti para jama’ah haji. Pendapat ini jelas salah. karena dalam riwayat Abu awanah dari jalur Abu Abu an-Nadhr. dari Syu’bah disebutkan, (kami bertanya kepada Jabir bin Abdullah pada masa Hajjaj, dimana dia mengakhirkan shalat dari waktunya). Sedangkan dalam riwayat Imam Muslim dari jalur Mu’adz, dari Syu’bah dikatakan, (Hajjaj telah mengakhirkan shalat).

Kedatangan Hajjaj ke Madinah untuk menjadi penguasa sebagai utusan Abdul Malik bin Marwan pada tahun 74 H, yaitu setelah terbunuhnya lbnu Zubair. Maka, Abdul Malik menyuruhnya mengatur dan menangani urusan Haramain (Masjidil Haram dan Masjid Nabawi). Setelah itu, ia dipindahkan ke di lrak.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 159 – Kitab Wudhu

بِالْهَاجِرَةِ (ketika matahari condong) Secara lahiriah lafazh ini bertentangan dengan hadits ibrad (menunda pelaksanaan shalat Zhuhur sampai panas matahari reda), karena redaksi hadits yang mengatakan bahwa Nabi biasa melakukannya menunjukkan bahwa hal itu senantiasa beliau Jakukan, menurut lbnu Daqiq Al ‘Id. Namun kedua hadits ini dapat dikompromikan dengan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Al Hajirah adalah waktu setelah condongnya matahari secara mutlak, karena perintah ibrad (menunggu panas reda) dibatasi dengan keadaan yang sangat panas. Ketika mendapatkan syarat-syarat untuk menunda pelaksanaan shalat Zhuhur (ibrad), maka kita dapat melakukan hal itu. Jika tidak, maka kita diperintahkan untuk segera melaksanakan shalat. Maksudnya bahwa Rasulullah senantiasa shalat zhuhur ketika matahari condong, kecuali jika beliau perlu untuk menundanya sampai panas matahari reda. Namun pendapat ini dikritik, bahwa jika demikian yang dimaksud, maka beliau akan memisahkannya seperti memisahkan dalam shalat Isya’. Wallahu a’lam.

نَقِيَّة artinya bersih, tidak bercampur dengan warna kuning dan tidak berubah.

إِذَا وَجَبَتْ yakni غَابَتْ (terbenam atau hilang) karena asal kata وُجُوب berarti سُّقُوط (jatuh). Maksudnya, jatuhnya (hilangnya) bulatan matahari.

Dalam riwayat Abu Daud dari Muslim bin Ibrahim disebutkan, وَالْمَغْرِب إِذَا غَرَبَتْ الشَّمْس (dan waktu Maghrib adalah ketika matahari terbenam). Dalam riwayat Abu Awanah melalui jalur Abu An-Nadhr, dari Syu’bah dikatakan, وَالْمَغْرِب حِين تَجِب الشَّمْس (dan Maghrib ketika matahari hilang atau terbenam). Hal ini menunjukkan bahwa hilangnya bulatan matahari menandakan masuknya waktu Maghrib, tentunya tidak ada sesuatu yang menghalangi penglihatan tersebut. Wallahu A’lam.

وَالْعِشَاء أَحْيَانًا وَأَحْيَانًا sedangkan riwayat Imam Muslim disebutkan أَحْيَانًا يُؤَخِّرهَا وَأَحْيَانًا يُعَجِّل ، كَانَ إِذَا رَآهُمْ قَدْ اِجْتَمَعُوا إِلَخْ (terkadang beliau mengakhirkan dan terkadang menyegerakannya ketika melihat mereka telah berkumpul … ). Sedangkan riwayat Imam Bukhari dari Muslim dari Ibrahim, dari Syu’bah إِذَا كَثُرَ النَّاس عَجَّلَ ، وَإِذَا قَلُّوا أَخَّرَ (jika orang-orang sudah banyak,maka beliau segera melaksanakan dan jika masih sedikit maka beliau mengakhirkannya).

Al Abyan adalah bentuk jamak (plural) dari Hiin yang berarti masa. baik sedikit maupun banyak, sebagaimana pendapat yang masyhur. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa hiin berarti enam bulan atau empat tahun, namun hadits dalam bab ini telah menguatkan pendapat yang masyhur. Hal itu akan dijelaskan dalam bah tentang “hukum waktu Isya’.

Ibnu Daqiq Al Id berkata, “Jika ada pertentangan di antara dua orang, dimana salah satunya menyegerakan shalat pada awal waktunya secara sendirian sementara yang satunya mengakhirkan shalat secara berjamaah, maka mana di antara keduanya yang lebih utama? Menurut saya, mengakhirkan shalat secara berjamaah adalah lebih utama. Hadits dalam bab ini telah menunjukkan hal itu, berdasarkan kalimat hadits, (apabila beliau melihat mereka (sahabat) lambat, maka beliau mengakhirkan shalat). Beliau mengakhirkan untuk berjamaah, padahal kondisi untuk segera melaksanakan shalat sangat memungkinkan.”

Baca Juga:  HaditsShahih Al-Bukhari No. 271-272 – Kitab Mandi

Saya (Ibnu Hajar) katakan, bahwa riwayat Muslim bin Ibrahim (yang telah disebutkan) telah menunjukkan lebih khusus dari itu, yaitu menunggu sampai mereka banyak (berkumpul) untuk melaksanakan shalat secara berjamaah. Ini lebih utama daripada segera melaksanakan­nya (dengan sedikit jamaah), tentunya hal itu jika mengakhirkannya tidak menimbulkan keburukan dan menyulitkan para jamaah yang hadir. Wallahu a ‘lam.

كَانُوا أَوْ كَانَ (mereka atau beliau) Al Karrnani mengatakan bahwa keraguan tersebut berasal dari perawi, dari Jabir. Tapi kedua makna tersebut saling mengharuskan yang lain. Jika yang dimaksud adalah Nabi SAW, maka para sahabat bersama beliau; dan jika yang dimaksud adalah para sahabat, maka Nabi SAW menjadi imam mereka. Yakni, Rasulullah senantiasa menyegerakan shalat. Tidak seperti shalat Isya’, dimana beliau terkadang menyegerakan dan terkadang mengakhirkannya.

Yang dimaksud dengan ghalas adalah kegelapan di akhir malam.

Ibnu Manayyar mengatakan bahwa keraguan tersebut berasal dari perawi, apakah dia mengatakan, “Nabi atau sahabat”. Untuk itu secara lengkap kalimat tersebut adalah (adapun Subuh, mereka shalat -atau Nabi SAW- shalat pada waktu hari masih gelap). Dalam kalimat (mereka shalat) tidak berarti Nabi SAW tidak bersama mereka, dan tidak juga kalimat أَوْ كَانَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah berarti Nabi sendirian, tapi yang dimaksud dengan kalimat (mereka shalat) bahwa Nabi SAW bersama mereka (sahabat). Demikian juga dengan kalimat كَانَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّيهَا (Nabi SAW shalat) yakni bersama sahabatnya. Wallahu a ‘lam.

إِذَا تَوَارَتْ بِالْحِجَابِ maksudnya matahari telah tertutup. Al Khaththabi mengatakan bahwa tidak disebutkannya lafazh الشَّمْس (matahari) adalah berdasarkan pemahaman para pendengar, seperti firman Allah dalam surah Shaad ayat 32 yang berbunyi, حَتَّى تَوَارَتْ بِالْحِجَابِ (sampai kuda itu hilang dari pandangan).

Dalam riwayat Imam Muslim dari jalur Hatim bin Ismail bin Yazid, dari Abu Ubaid dengan lafazh, إِذَا غَرَبَتْ الشَّمْس وَتَوَارَتْ بِالْحِجَابِ matahari telah terbenam dan hilang dari pandangan). Hal itu menunjukkan bahwa disebutkannya matan hadits secara ringkas adalah berasal dari Syaikh Imam Bukhari. Hal itu telah ditegaskan oleh Al Ismaili. Selain itu, Abd bin Humaid telah meriwayatkan dari Shafwan bin Isa, dan Abu Awanah serta Al Ismaili dari jalur Shafwan, dari Yazid bin Abu Ubaid dengan lafazh (Beliau shalat Maghrib pada waktu matahari terbenam ketika hilang dari pandangan). Adapun riwayat yang menggunakan lafazh تَوَارَتْ lebih jelas dalam menerangkan maksudnya.

M Resky S