Hadits Shahih Al-Bukhari No. 562 – Kitab Waktu-waktu Shalat

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 562 – Kitab Waktu-waktu Shalat ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Orang yang Lupa Shalat Hendaknya Melaksanakannya Ketika Ingat dan Tidak Mengulang Kecuali Shalat Itu” Hadis ini menjelaskan bahwa jika lupa mengerjakan salat, maka hendaklah dikerjakan pada saat mengingatnya. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 3 Kitab Waktu-waktu Shalat. Halaman 459-464.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ وَمُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالَا حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ { وَأَقِمْ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي } قَالَ مُوسَى قَالَ هَمَّامٌ سَمِعْتُهُ يَقُولُ بَعْدُ وَأَقِمْ الصَّلَاةَ للذِّكْرَى قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ وَقَالَ حَبَّانُ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ حَدَّثَنَا أَنَسٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Abu Nu’aim] dan [Musa bin Isma’il] keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami [Hammam] dari [Qatadah] dari [Anas bin Malik] dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Barangsiapa lupa suatu shalat, maka hendaklah dia melaksanakannya ketika dia ingat. Karena tidak ada tebusannya kecuali itu. Allah berfirman: ‘(Dan tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku) ‘ (Qs. Thaahaa: 14). Musa berkata, Hammam berkata, “Setelah itu aku mendengar beliau mengucapkan: ‘(Dan tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku) ‘ Abu ‘Abdullah berkata; [Habban] berkata, telah menceritakan kepada kami [Hammam] telah menceritakan kepada kami [Qatadah] telah menceritakan kepada kami [Anas bin Malik] dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seperti itu.”

Keterangan Hadis: Ali bin Al Manayyar berkata, “Imam Bukhari telah menjelaskan secara tegas hukum ini, meskipun masalahnya masih diperselisihkan. Hal itu karena dalilnya yang kuat dan sesuai dengan qiyas (analogi). Sebab shalat yang wajib bagi kita adalah lima waktu tidak lebih, maka barangsiapa yang mengqadha’ shalat yang terlewatkan, sempurnalah jumlah shalat yang diperintahkan. Di samping itu, lahiriah perintah syara’ yang termaktub dalam kalimat فَلْيُصَلِّهَا (hendaknya ia shalat {yang ditinggalkan}) tidak menyebutkan tambahan lain.”

Dia juga mengatakan, bahwa pengecualian dalam kalimat لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ (tidak ada tebusan kecuali itu) menunjukkan tidak ada kewajiban selain mengulanginya.

Imam Malik berpendapat, “Orang yang ingat setelah melaksanakan shalat, bahwa ia belum melakukan shalat sebelumnya, maka ia harus melaksanakan shalat yang diingat, lalu melaksanakan shalat berikutnya untuk menjaga tertib shalat (apabila seseorang selesai melaksanakan shalat Ashar, lalu ingat bahwa ia belum shalat Zhuhur, maka ia harus melaksanakan shalat Zhuhur terlebih dahulu, kemudian shalat Ashar -ed.).

Kemungkinan juga, Imam Bukhari mengisyaratkan dengan perkataan, (Dia tidak mengulang kecuali shalat itu) akan kelemahan sebagian jalur Abu Qatadah yang diriwayatkan Imam Muslim tentang kisah “Tidur sehingga tidak melaksanakan Shalat” dimana dia mengatakan, (apabila keesokan harinya, hendaknya ia melaksanakan shalat pada waktunya). Sebagian orang menganggap bahwa lahiriah teks di atas mengharuskan mengulangi shalat yang diqadha’ sebanyak dua kali, yaitu ketika mengingatnya dan ketika datang waktu yang sama pada keesokan harinya. Namun maksud teks lafazh di atas tidak seperti ini, karena kemungkinan maksud kalimat, فَلْيُصَلِّهَا (hendaknya ia shalat {shalat yang ditinggalkan}) adalah pada waktunya, yakni shalat yang hadir pada waktu itu, bukan berarti dia harus mengulangi shalat yang ditinggalkan kemarin pada waktu berikutnya.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 84 – Kitab Ilmu

Riwayat Abu Daud, dari hadits Imran bin Hushain dalam kisah ini menyebutkan, (barangsiapa di antara kalian mendapatkan shalat Subuh pada keesokan harinya, maka hendaknya ia mengqadha’ shalat yang sama {Subuh yang ditinggalkan} pada waktu itu juga).

Al Khaththabi berkata, “Saya tidak mendapatkan seorang pun yang mengatakan ‘wajib’ berdasarkan lahiriah hadits di atas. Namun nampaknya masalah tersebut harus dipahami sebagai istihbab (disukai) agar mencakup keutamaan waktu dalam qadha‘ .”

Tidak ada seorang pun dari kalangan salaf yang mengatakan ‘istihbab · dalam masalah tersebut, bahkan mereka menganggapnya sebagai kesalahan dari perawinya. Hal itu diriwayatkan oleh Tirmidzi dan lainnya dari Imam Bukhari. Pendapat tersebut dikuatkan oleh riwayat Nasa’i dari hadits Imran bin Hushain, (mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami tidak mengqadha’nya pada keesokan harinya di waktu yang sama? ” maka Rasulullah menjawab, “Allah tidak melarang kalian dari praktik riba, dan Dia mengambilnya (riba) dari kalian.”).

مَنْ نَسِيَ صَلَاة فَلْيُصَلِّ (barangsiapa lupa akan suatu shalat. Maka hendaknya ia shalat) demikian yang termaktub dalam kebanyakan riwayat, yaitu tanpa menyebutkan obyeknya. Adapun Muslim meriwayatkan dari Haddab bin Khalid, dari Hammam dengan lafazh, فَلْيُصَلِّهَا (hendaknya ia shalat {yang ditinggalkan}) dengan menyebutkan obyeknya, sehingga apa yang dimaksud lebih jelas. Imam Muslim juga menambahkan dari riwayat Sa’id, dari Qatadah, أَوْ نَامَ عَنْهَا (atau tidur sehingga tidak melaksanakan shalat).

Teks dalil tersebut telah dijadikan dalil oleh orang yang berpendapat bahwa orang yang sengaja tidak boleh mengqadha’ shalat (yang ditinggalkan), karena tidak adanya syarat mengharuskan tidak adanya yang disyaratkan. Maka orang yang tidak lupa, dia tidak boleh melakukan shalat qadha’. Namun orang yang berpegang kepada pemahaman teks tersebut berpendapat, bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat harus mengqadhanya. Hal ini mengandung peringatan dengan sesuatu yang rendah terhadap sesuatu yang tinggi. Sebab jika orang yang lupa diharuskan mengqadha’ -padahal dia tidak mendapat dosa- maka kewajiban untuk mengqadha’ bagi orang yang sengaja meninggalkan adalah lebih utama.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 572 – Kitab Adzan

Beberapa orang menganggap bahwa kewajiban mengqadha’ bagi orang yang sengaja meninggalkannya diambil dari sabda Nabi SAW (barangsiapa lupa), sebab lupa dapat diartikan meninggalkan, baik karena bingung atau tidak. Di antara yang memperkuat hal itu adalah firman Allah dalam surah Al Hasyr ayat 19 yang berbunyi, نَسُوا اللَّه فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسهمْ (orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Dia menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri). Demikian dengan firman Allah dalam surah At-Taubah ayat 67 yang berbunyi, نَسُوا اللَّه فَنَسِيَهُمْ (mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka).

Hal itu diperkuat dengan sabda Nabi SAW, (tidak ada tebusan), yakni orang yang tidur dan lupa tidak berdosa.

Saya (Ibnu Hajar) katakan, bahwa pembahasan dan penelitian seperti itu sangat lemah, sebab riwayat yang menyebutkan orang yang tidur adalah tetap dan kuat. Di samping itu, kafarat (tebusan) yang disebutkan terkadang sebagai akibat dari kesalahan dan terkadang karena kesengajaan.

Adapun orang yang berkata bahwa orang yang sengaja meninggalkan tidak wajib mengqadha’, tidak memaksudkan bahwa kondisi orang tersebut lebih ringan daripada orang yang lupa. Tetapi dia mengatakan. bahwa jika orang yang sengaja meninggalkan shalat disyariatkan untuk mengqadha’ nya, maka kedudukannya menjadi sama dengan orang yang lupa. Padahal orang yang lupa, tidaklah berdosa, berbeda dengan orang yang sengaja meninggalkannya. Maka orang yang sengaja, adalah lebih buruk keadaannya daripada yang lupa. Lalu, bagaimana keduanya bisa sama?

Mungkin dapat dikatakan, bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat tetap mendapatkan dosa meskipun dia telah mengqadha’ nya. Lain halnya dengan orang yang lupa, dia tidak berdosa secara mutlak. Untuk itu kewajiban mengqadha’ bagi orang yang sengaja meninggalkannya adalah berdasarkan perintah yang pertama. Sebab ia telah diperintahkan untuk shalat dan menjadi tanggungannya, sehingga menjadi utang baginya. Sedangkan utang tidak menjadi gugur kecuali dibayar, maka ia berdosa dengan melewatkan shalat dari waktu yang ditentukan dan gugurlah tuntutan untuk menunaikannya. Barangsiapa berbuka (tidak puasa) di bulan Ramadhan dengan sengaja, maka ia wajib mengqadha’ nya, tapi dia tetap mendapatkan dosa karena sengaja tidak berpuasa.

قَالَ هَمَّامٌ سَمِعْته (Hammam berkata, “Saya mendengarnya.”) yakni mendengar Qatadah.

يَقُول بَعْدُ (mengatakan setelah itu), yakni pada kesempatan yang lain. Maksudnya Hammam mendengar dari Qatadah dengan lafazh لِلذِّكْرَى (dengan dua huruf lam dan ra’ yang berharakat fathah), dan pada kesempatan yang lain Qatadah mengatakan dengan lafazh لِلذِّكْرَى ( dengan satu huruf Lam dan huruf Ra’ yang berharakat kasrah) dan inilah bacaan yang masyhur.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 40 - Kitab Iman

Namun dalam menyebutkan ayat Al Qur’an masih diperselisihkan, apakah ia berasal dari perkataan Qatadah atau dari sabda Nabi. Dalam riwayat Muslim dari Haddab, Qatadah berkata, وَأَقِمْ الصَّلَاة لِذِكْرِي (dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku).

Dalam riwayat Muslim dari jalur Mutsanna dari Qatadah disebutkan bahwa Rasulullah bersabda, إِذَا رَقَدَ أَحَدكُمْ عَنْ الصَّلَاة أَوْ غَفَلَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا فَإِنَّ اللَّه يَقُول ( أَقِمْ الصَّلَاة لِذِكْرِي ) (Jika salah seorang kamu ketiduran atau kelupaan, maka hendaklah ia shalat jika ingat, sebab Allah berfirman, “Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. “).

Jelaslah bahwa semuanya berasal dari sabda Nabi SAW. Hadits ini juga dapat dijadikan landasan dalil bahwa syariat umat sebelum kita juga merupakan syariat kita, sebab ayat itu ditujukan kepada Nabi Musa AS.

Namun untuk menentukan maksud kalimat لِذِكْرِي (untuk mengingat-Ku) masih diperselisihkan. Di sini ada beberapa pendapat, di antaranya:

a. Agar kamu mengingat-Ku dalam shalat.

b. Agar Aku mengingatmu dengan pujian.

c. Agar Aku mengingatmu jika kamu mengingatnya ( shalat). Pendapat ini menguatkan bacaan orang yang membaca لِذِكْرِي

d. Jangan mengingat selain-Ku.

e. Sebagai rasa syukur untuk mengingat-Ku.

f. Maksud kalimat ذِكْرِي adalah mengingat urusan-Ku.

g. Jika kamu ingat shalat, maka kamu telah mengingat-Ku, sebab shalat adalah ibadah kepada Allah. Kapan saja orang ingat shalat, maka ia telah mengingat yang disembah. Sepertinya yang dimaksud adalah mengingat shalat.

h. At-Turbisyti mengatakan, bahwa yang lebih baik adalah mengartikannya sesuai dengan ayat Al Qur’an dan hadits. Seakan-­akan artinya adalah dirikanlah shalat untuk mengingat shalat itu, karena mengingat shalat berarti mengingat Allah SWT. Dalam hal ini yang dimaksud adalah penisbatan kepada shalat, yakni mengingat shalat-Ku. Maka, disebutkannya kata ganti (dhamir) di sini sebagai kata ganti shalat adalah menunjukkan kemuliaan shalat itu sendiri.

Habban adalah Ibnu Hilal. Komentar ini dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa Qatadah benar-benar telah mendengar hadits tersebut dari Anas. Hal itu ditegaskan dengan perkataannya bahwa Anas telah menceritakan kepadanya (Qatadah). Abu Awanah telah menyebutkan secara maushul (bersambung) dalam kitab Shahih-nya dari Ammar bin Raja’, dari Habban bin Hilal, dimana Hammam telah mendengar hadits tersebut dari Qatadah sebanyak dua kali seperti dalam riwayat Musa.

M Resky S