Hadits Shahih Al-Bukhari No. 568 – Kitab Adzan

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 568 – Kitab Adzan ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Berbincang-bincang dengan Tamu atau Keluarga” Hadis ini menjelaskan historis asal usul adzan diserukan untuk shalat.  Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 4 Kitab Adzan. Halaman 2-11.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا عِمْرَانُ بْنُ مَيْسَرَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا خَالِدٌ الْحَذَّاءُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ ذَكَرُوا النَّارَ وَالنَّاقُوسَ فَذَكَرُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى فَأُمِرَ بِلَالٌ أَنْ يَشْفَعَ الْأَذَانَ وَأَنْ يُوتِرَ الْإِقَامَةَ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Imran bin Maisarah] telah menceritakan kepada kami [‘Abdul Warits] telah menceritakan kepada kami [Khalid Al Hadza’] dari [Abu Qilabah] dari [Anas bin Malik] berkata, “Orang-orang menyebut-nyebut tentang api dan lonceng (dalam mengusulkan cara memanggil shalat). Lalu ada juga di antara mereka yang mengusulkan seperti kebiasaan orang-orang Yahudi dan Nahrani. Maka Bilal diperintahkan untuk mengumandangkan adzan dengan dua kali dua kali dan iqamat dengan bilangan ganjil.”

Keterangan Hadis: Hadits Ibnu Umar yang disebutkan dalam bab ini telah menyatakan dengan jelas bahwa adzan disyariatkan setelah hijrah, karena sebelum hijrah tidak ada seruan adzan untuk shalat. Adapun sabda Nabi di akhir hadits, يَا بِلَالُ قُمْ فَنَادِ بِالصَّلَاةِ (Wahai Bilal, berdirilah dan kumandangkan adzan untuk shalat) terjadi sebelum Abdullah bin Zaid bermimpi, karena konteks hadits menunjukkan hal itu sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dari jalur Muhammad bin Ishaq; dimana dia berkata, “Muhammad bin Ibrahim At-Taimi telah mencertakan kepadaku dari Muhammad bin Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbih, dia berkata, ‘Abdullah bin Zaid bercerita kepadaku’. Kemudian dia menyebutkan hadits Ibnu Umar yang di akhirnya disebutkan, (Tatkala mereka dalam keadaan seperti itu, maka Abdullah mengusulkan adzan). Kemudian dia (Abdullah bin Zaid) menyebutkan mimpinya. Dia menyebutkan bahwa didalam mimpinya ada empat kali takbir, sekali iqamah, dan qad qaamatish-shalah dua kali. Lalu Nabi bersabda, (itu adalah mimpi yang benar, insya Allah. Bangkitlah kamu bersama Bilal dan sampaikan kepadanya, sebab ia lebih lantang suaranya daripada kamu).”

Dalam hadits ini juga diterangkan tentang kedatangan Umar yang mimpi seperti mimpi Abdullah bin Zaid. Imam Tirmidzi dalam bab permulaan adzan juga meriwayatkan hadits Abdullah bin Zaid dengan hadits Abdullah bin Umar, namun Imam Bukhari tidak meriwayatkan hadits tersebut, karena tidak sesuai dengan syaratnya. Hadits tersebut telah diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid melalui beberapa jalur. Ibnu Khuzaimah menceritakan dari Adz-Dzuhli bahwa hanya jalur inilah yang paling shahih di antara jalur-jalur yang ada.

Baca Juga:  Hadis Jibril, Pesan tentang Pondasi Islam, Iman dan Ihsan Serta Tanda-Tanda Kiamat

Hadits Abdurrazzaq dari Ma’mar, dari Zuhri, dari Sa’id bin Musayyab secara mursal –di antara mereka ada yang meriwayatkan secara maushul dari Sa’id- dari Abdullah bin Zaid telah menjadi ,yahid (matan hadits yang diriwayatkan dari seorang sahabat yang lain, baik dari segi lafazh dan maknanya atau maknanya saja) hadits tersebut. Meskipun hadits ini tergolong hadits mursal, tetapi sanad hadits mursal adalah lebih kuat.

Dalam kitab Al Ausath, karangan Imam Thabrani diterangkan bahwa Abu Bakar juga mengusulkan adzan untuk memberitahukan masuknya waktu shalat. Dalam kitab Al Wasith, karangan Imam Gbazali, diterangkan bahwa yang berpendapat untuk mengumandang­kan adzan adalah belasan orang.

Menurut Al Jaili dalam kitab Syarh At-Tanbih adalah empat belas orang. Tapi Ibnu Shalah dan Imam Nawawi mengingkari ha] itu. Al Maghlathai menukil dalam sebagian kitab ulama fikih bahwa jumlah mereka adalah tujuh orang. Semua itu tidak akurat, kecuali apa yang dinukil dari Abdullah bin Zaid.

Adapun kisah Umar pada sebagian jalurnya dalam Musnad Al Harits bin Abu Usamah yang diriwayatkan dengan sanad yang lemah dikatakan, “Yang pertama kali mengumandangkan adzan adalah Jibril, yaitu di langit bumi. Kemudian Umar dan Bilal mendengarnya, tapi Umar lebih dahulu daripada Bilal. Lalu Umar mengabarkan hal itu kepada Nabi SAW. Kemudian Bilal datang, dan Nabi SAW berkata kepadanya, ‘Umar lebih dahulu mengabarkan tentang adzan daripada kamu.”

ذَكَرُوا النَّار وَالنَّاقُوس فَذَكَرُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى (mereka menyebutkan api dan lonceng, maka mereka menyebutkan orang-orang Yahudi dan Nasrani) demikian yang disebutkan Abdul Warits secara singkat. Adapun riwayat Abdul Wahab pada bab berikutnya lebih jelas, dimana dikatakan, لَمَّا كَثُرَ النَّاس ذَكَرُوا أَنْ يَعْلَمُوا وَقْت الصَّلَاة بِشَيْءٍ يَعْرِفُونَهُ ، فَذَكَرُوا أَنْ يُورُوا نَارًا أَوْ يَضْرِبُوا نَاقُوسًا (Ketika orang-orang sudah banyak (masuk Islam), maka mereka memperbincangkan untuk dapat mengetahui waktu shalat dengan sesuatu (tanda) yang telah mereka kenal, lalu mereka menyebutkan agar menyalakan api atau memukul lonceng).

Baca Juga:  Jangan Terlalu Tekstual! Mari Pahami Maksud Hadits "Ketidaksuksesan Kepemimpinan Seorang Perempuan"

Lebih jelas lagi, riwayat Ruh bin Atha’ dari Khalid, dengan lafazh, فَقَالُوا لَوْ اِتَّخَذْنَا نَاقُوسًا . فَقَالَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاكَ لِلنَّصَارَى . فَقَالُوا : لَوْ اِتَّخَذْنَا بُوقًا ، فَقَالَ : ذَاكَ لِلْيَهُودِ . فَقَالُوا : لَوْ رَفَعْنَا نَارًا ، فَقَالَ : ذَاكَ لِلْمَجُوسِ (Mereka berkata, “Seandainya kita menggunakan lonceng.” Rasulullah SAW berkata, “itu milik orang Nasrani.” Mereka berkata, “Jika kita gunakan terompet.” Nabi berkata, “Itu milik orang Yahudi.” Mereka berkata, “Jika kita mengangkat api.” Nabi berkata, “Itu milik orang Majusi.”) untuk itu dalam riwayat Abdul Warits, hadits tersebut disebutkan secara ringkas, dimana dikatakan, “Mereka menyebutkan api, lonceng dan terompet, maka mereka menyebutkan pula orang­-orang Yahudi, Nasrani dan Majusi.” Dalam hal ini api adalah milik orang Majusi, lonceng milik orang Nasrani dan terompet milik orang Yahudi. Namun dalam hadits Ibnu Umar disebutkan bahwa terompet adalah milik orang Yahudi. Al Kannani mengatakan, bahwa kemungkinan terompet dan api adalah milik orang Yahudi sebagai upaya untuk mengompromikan antara hadits Anas dan Ibnu Umar. Tetapi riwayat Rauh tidak butuh kemungkinan ini.

فَأُمِرَ بِلَال (Bilal diperintahkan) demikian kebanyakan riwayat menyebutkan dengan lafazh umira (bentuk pasif). Namun ulama hadits dan usul fikih berbeda pendapat tentang perlunya menggunakan bentuk aktif yaitu, amara. Tapi menurut mnhaqqiq ulama hadits dan ushul fikih berpendapat perlunya hal itu, karena secara lahiriah yang dimaksud dengan amir adalah orang yang mempunyai perintah syara’ yang harus diikuti, tentunya dalam hal ini ada]ah Rasulullah SAW. Pendapat tersebut dikuatkan dengan kaidah bahwa ketetapan masalah ibadah adalah berdasarkan wahyu (tauqifi). Untuk itu kaidah ini menguatkan perlunya membaca lafazh tersebut dengan bentuk marfu’, yaitu amara. Dalam riwayat Rauh bin Atha’ yang telah disebutkan menggunakan lafazh, فَأَمَرَ بِلَالًا (maka beliau memerintahkan Bilal) yaitu dengan menjadikan Bilal sebagai objek dan Rasulullah sebagai subjek (yang memerintah). Labih jelas dari itu adalah riwayat An-Nasa’i dan lainnya dari Qutaibah, dari Abdul Wahab dengan lafazh, أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِلَالًا (Sesungguhnya Nabi SAW menyuruh Bilal). Imam Nasa’i telah menyebutkan secara tegas dengan lafazh marfu’ (amara).

Baca Juga:  Kajian Singkat Bagaimana Memahami Hadits Kullu Bid'atin Dholalah

Saya (Ibnu Hajar) katakan bahwa dia tidak sendiri dalam hal ini, karena Abu Awanah juga meriwayatkan dari jalur Marwan Al Marwazi dari Qutaibah dan Yahya bin Ma’in, dimana keduanya meriwayatkan dari Abdul Wahab. Begitu juga dengan jalur Yahya dalam riwayat Daruquthni, dimana Abdul Wahab tidak sendiri dalam periwayatannya. Al Baladzuri juga telah meriwayatkannya dari jalur Ibnu Syihab Al Hannath, dari Abu Qilabah.

Adapun mengenai siapa yang memerintahkan untuk mengumandangkan adzan setelah musyawarah adalah jelas, yaitu Nabi SAW bukan yang lainnya, sebagaimana lbnu Mundzir dan lbnu Hibban telah menjadikannya sebagai dalil. Bahkan, adanya perintah tersebut telah dijadikan dalil oleh mereka yang mewajibkan adzan. Tapi pendapat ini dikritik, karena perintah yang ada adalah tentang sifat atau cara adzan dan bukan tentang (kewajiban) adzan itu sendiri. Pendapat ini mendapat tanggapan bahwa apabila ada suatu masalah yang hanya diterangkan tentang cara atau sifatnya, maka pada dasarnya masalah tersebut telah diperintahkan. Demikian menurut Ibnu Daqiq Al ‘Id.

Mereka yang berpendapat bahwa hukum adzan adalah wajib secara mutlak, adalah Al Auza’i, Daud dan Ibnu Mundzir. Itulah lahiriah perkataan Malik dalam kitabnya Al Muwaththa ‘. Ada juga yang berpendapat wajib dalam shalat Jum’at saja, dan ada juga yang mengatakan fardhu kifayah. Adapun menurut jumhur ulama adalah sunah muakkad (sangat dianjurkan). Mengenai sumber perbedaannya telah disebutkan. Namun pendapat yang salah adalah mereka yang mengatakan tidak wajibnya adzan menurut ijma’ (kesepakatan ulama) sebagaimana yang kami kemukakan, wallahu a’lam.

M Resky S