Hadits Shahih Al-Bukhari No. 581 – Kitab Adzan

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 581 – Kitab Adzan ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Berbicara Saat Adzan” Hadis dari Abdulllah bin Harits ini menceritakan bahwa Ibnu Abbas berkhutbah pada hari Radghin dan memerintahkan salat di tempat tinggal. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 4 Kitab Adzan. Halaman 59-64.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ أَيُّوبَ وَعَبْدِ الْحَمِيدِ صَاحِبِ الزِّيَادِيِّ وَعَاصِمٍ الْأَحْوَلِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ خَطَبَنَا ابْنُ عَبَّاسٍ فِي يَوْمٍ رَدْغٍ فَلَمَّا بَلَغَ الْمُؤَذِّنُ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ فَأَمَرَهُ أَنْ يُنَادِيَ الصَّلَاةُ فِي الرِّحَالِ فَنَظَرَ الْقَوْمُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ فَقَالَ فَعَلَ هَذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْهُ وَإِنَّهَا عَزْمَةٌ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Musaddad] berkata, telah menceritakan kepada kami [Hammad] dari [Ayyub] dan [‘Abdul Hamid] sahabat Az Zayadi, dan [‘Ashim Al Ahwal] dari [‘Abdullah bin Al Harits] berkata, “Pada suatu hari ketika jalan penuh dengan air dan lumpur (becek) akibat hujan, [Ibnu ‘Abbas] pernah menyampaikan khuthbah kepada kami. Ketika mu’adzin sampai pada ucapan: ‘Hayya ‘Alash shalaah (Marilah mendirikan shalat) ‘ ia perintahkan mu’adzin tersebut untuk menyerukan: ‘Shalatlah di tempat tinggal masing-masing’. Lalu orang-orang saling memandang satu sama lain karena heran. Maka Abdullah bin Al Harits pun berkata, “Hal yang demikian ini pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik darinya, dan itu merupakan kewajiban Mu’akkad (yang ditekankan).”

Keterangan Hadis: Sulaiman bin Shurad berbicara saat adzan. Lalu Hasan berkata, “Tidak mengapa seseorang tertawa saat adzan atau iqamah.”

Yang dimaksud bab “berbicara saat adzan” adalah mengucapkan perkataan selain adzan pada saat mengumandangkan adzan. Imam Bukhari biasa tidak menegaskan hukum persoalan tersebut, karena hadits tersebut tidak mengindikasikannya secara tegas. Akan tetapi dari keterangan yang disebutkannya di tempat ini terdapat isyarat bahwa beliau membolehkan hal tersebut. Ibnu Mundzir telah menukil pendapat yang membolehkannya secara mutlak dari Urwah, Atha’, AI Hasan serta Qatadah, dan inilah yang menjadi pendapat Imam Ahmad.

Kemudian dinukil dari An-Nakha’i, Ibnu Sirin serta Al Auza’i mengenai pandangan yang memakruhkannya, sementara Ats-Tsauri tidak membolehkannya. Adapun Abu Hanifah serta sahabatnya berpendapat bahwa tidak melakukannya adalah lebih baik. Pandangan ini pula yang menjadi indikasi pendapat Imam Malik dan Syafi’i. Sedangkan Ishaq bin Rahawaih mengemukakan pendapat lain bahwa berbicara saat adzan adalah makruh hukumnya, kecuali bila ada hubungannya dengan shalat. Lalu pandangan Ishaq dipilih oleh Ibnu Mundzir berdasarkan makna lahiriah hadits Ibnu Abbas yang tersebut di bab ini. Sementara Ad-Dawudi membantah pendapat-pendapat terdahulu, dimana ia berkata, “Hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah tentang bolehnya berbicara saat adzan, tetapi berdasarkan pendapat sebelumnya -yang telah disebutkan- adalah sesuatu yang disyariatkan apabila termasuk bagian adzan.”

(Sulaiman bin Shurad berbicara saat adzan). Riwayat ini disebutkan dengan sanad yang lengkap (maushul) oleh Abu Nu’aim (guru Imam Bukhari) dalam kitab tentang shalat. Lain riwayat yang dimaksud dinukil pula oleh Imam Bukhari dari gurunya ini di kitabnya Ath-Tharikh dengan sanad yang shahih (Bahwasanya beliau adzan di Al Askar, lalu memerintahkan pelayannya untuk mengerjakan keperluannya saat beliau sedang adzan).

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 234 – Kitab Wudhu

(Al Hasan berkata) Saya tidak menemukan riwayat ini dinukil melalui sanad maushul (bersambung). Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan selainnya dari berbagai jalur dari Al Hasan adalah tentang bolehnya berbicara tanpa dibatasi dengan “tertawa”.

Kesesuaian perkataan Al Hasan dengan judul bab dapat dilihat bahwa tertawa apabila diiringi suara, terkadang menimbulkan bunyi satu huruf atau lebih yang dapat dipahami sehingga dapat merusak shalat. Sementara mereka yang tidak membolehkan berbicara saat adzan telah menyamakannya dengan shalat. Sejumlah ulama berpendapat bahwa tertawa dengan sengaja dapat membatalkan shalat, meskipun tidak ada bunyi huruf yang dapat dipahami darinya. Dengan demikian kedudukannya sama dengan berbicara, dimana keduanya sama-sama membatalkan shalat bila dilakukan dengan sengaja.

خَطَبَنَا (beliau berkhutbah) Hal ini dijadikan dalil oleh Ibnu Al Jauzi untuk menyatakan bahwa shalat yang dimaksud dalam hadits ini adalah shalat Jum’at. Akan tetapi hal ini perlu pembuktian lebih lanjut. Hanya saja perlu diketahui bahwa keterangan tegas mengenai hal itu telah dinukil dalam riwayat Ibnu Aliyah dengan lafazh, أَنَّ الْجُمُعَة عَزْمَةٌ (Sesungguhnya Jum’at adalah suatu kewajiban).

فِي يَوْمِ رَزْغٍ (pada hari razghin) Demikian lafazh yang tersebut pada kebanyakan riwayat. Sementara dalam riwayat lbnu As-Sakan dan Al Kasymihani serta Abu Al Waqt tertulis رَدْغٍ dan menurut Al Qurthubi lafazh ini lebih masyhur. Al Qurthubi menambahkan, “Yang benar adalah dibaca رَدَغٍ karena ia adalah isim (kata benda). Adapun bila dibaca رَدْغٍ maka ia adalah masdar.” Lafazh رَدَغٍ adalah riwayat Al Qabisi.

Penulis kitab Al Muhkam berkata, “Makna kata Razghin adalah air sedikit yang ada di dalam wadah.” Ada pula yang mengatakan bahwa maknanya adalah tanah berlumpur. Sementara dalam kitab Al ‘Ain dikatakan, “Radghin adalah tanah yang becek, sedangkan razghin adalah yang lebih becek lagi.” Sedangkan dalam kitab Al Jamharah disebutkan, “Radghin dan razghin adalah tanah sedikit dan berlumpur karena hujan atau yang sepertinya.”

Catatan: Dalam riwayat ini disebutkan dengan lafazh يَوْمَ رَزْغٍ (hari Razghin), sementara dalam riwayat Al Hajbi akan disebutkan dengan lafazh, فِي يَوْمٍ ذِي رَزْغٍ (Pada hari yang terdapat razghin). Riwayat ini lebih jelas. Adapun dalam riwayat Ibnu Aliyah dikatakan, فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ (Pada hari hujan).

فَلَمَّا بَلَغَ الْمُؤَذِّن حَيَّ عَلَى الصَّلَاة فَأَمَرَهُ (ketika muadzin sampai pada perkataannya “Hayya alash-shalaah”,maka beliau memerintahkannya). Demikian yang tersebut di sini, dan nampaknya ada lafazh yang tidak disebutkan (mahdzuj) dalam kalimat, dimana kalimat lengkapnya adalah, “Ketika muadzin hendak mengatakan kalimat tersebut, maka beliau memerintahkannya … ” Kesimpulan ini didukung oleh riwayat Ibnu Aliyah, إِذَا قُلْت أَشْهَد أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُول اللَّه فَلَا تَقُلْ حَيَّ عَلَى الصَّلَاة (Apabila engkau mengucapkan “Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah “,maka jangan katakan, “Hayya alash­shalaah”.)

Lalu Ibnu Khuzaimah yang kemudian diikuti oleh Ibnu Hibban menempatkan hadits ini di bawah judul, “Tidak Menyebut Hayya alash-Shalaah Pada Hari Turun Hujan”. Sepertinya Ibnu Khuzaimah melihat makna kalimat tersebut, karena jika lafazh “hayya alash­shalaah[1] dibaca sementara perintah untuk melaksanakan shalat di tempat-tempat tinggal atau rumah-rumah tentu bertentangan dengan hal itu.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 260 – Kitab Mandi

Dalam madzhab Syafi’i terdapat satu pendapat yang mengatakan bahwa muadzdzin mengucapkan kalimat tersebut setelah selesai adzan. Sementara pandangan lain dari madzhab ini mengatakan bahwa muadzdzin mengucapkannya setelah selesai mengumandangkan حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ dan حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ. Namun pendapat yang menjadi indikasi hadits adalah apa yang telah disebutkan terdahulu.

الصَّلَاة فِي الرِّحَالِ (shalatlah di tempat-tempat tinggal). Rihal adalah bentuk jamak dari kata rahl, yaitu tempat dan semua perabotan yang ada di dalamnya.

An-Nawawi berkata, “Dalam riwayat ini menjelaskan bahwa kalimat tersebut diucapkan pada saat adzan. Sementara dalam hadits Ibnu Umar yang akan disebutkan pada bab ‘Adzan Bagi Musafir’ dijelaskan bahwa kalimat tersebut diucapkan setelah adzan.” Dia berkata pula, “Kedua hal ini sama-sama boleh dilakukan sebagaimana dinyatakan secara tekstual oleh Imam Syafi’i. Akan tetapi apabila diucapkan sesudah adzan, itu jauh lebih baik supaya urutan adzan menjadi sempurna.” Dia melanjutkan, “Di antara ulama madzhab kami ada yang mengatakan bahwa kalimat tersebut hanya diucapkan setelah adzan. Namun pendapat ini lemah dan bertentangan dengan keterangan dalam hadits Ibnu Abbas.” Demikian perkataan Imam An­ Nawawi.

Perkataan Imam An-Nawawi berindikasi bahwa lafazh tersebut ditambahkan dalam adzan, baik di sela-sela kalimat adzan maupun sesudahnya, bukan sebagai pengganti lafazh حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ Sementara dalam pembahasan terdahulu telah disebutkan nukilan dari Ibnu Khuzaimah yang berbeda dengan pendapat ini. Namun keterangan yang memadukan di antara keduanya telah diriwayatkan dalam hadits lain yang dikutip oleh Abdurrazzaq dan selainnya dengan sanad shahih dari Nu’aim bin An-Nahbam, dia berkata, أَذَّنَ مُؤَذِّن النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلصُّبْحِ فِي لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ ، فَتَمَنَّيْت لَوْ قَالَ : وَمَنْ قَعَدَ فَلَا حَرَجَ . فَلَمَّا قَالَ الصَّلَاة خَيْرٌ مِنْ النَّوْم قَالَهَا (Muadzdzin Nabi SAW pernah adzan pada malam yang sangat dingin, maka aku pun berharap andai ia mengatakan, “Barangsiapa yang duduk saja (tidak datang memenuhi panggilan.­Penerj), maka tidak mengapa baginya. ” Maka ketika ia mengucapkan “Ash-shalaatu khairun minan-nauum” (Shalat lebih baik daripada tidur), beliau pun mengucapkan kalimat itu).

فَقَالَ فَعَلَ هَذَا (Beliau berkata, “Hal ini dilakukan…”) Sepertinya Ibnu Abbas memahami adanya pengingkaran terhadap perintahnya dengan melihat sikap mereka yang saling berpandangan. Sementara dalam riwayat Al Hajbi dikatakan, “Seakan-akan mereka mengingkari hal itu.” Dalam riwayat Ibnu Aliyah, “Seakan-akan manusia mengingkari perbuatan yang demikian.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 575 – Kitab Adzan

مَنْ هُوَ خَيْر مِنْهُ (siapa yang lebih baik darinya). Dalam riwayat Al Kasymihani disebutkan, مِنْهُمْ (daripada mereka), sedangkan dalam riwayat Al Hajbi tertulis, مِنِّي (daripada aku).

Maksud riwayat dengan lafazh, “Lebih baik dari pada aku” adalah Nabi SAW. Adapun maksud riwayat dengan lafazh, “Lebih baik darinya” adalah orang yang lebih baik daripada muadzdzin saat itu. Yakni perbuatan demikian telah dilakukan oleh muadzdzin Rasulullah, sementara ia lebih baik daripada muadzdzin ini. Sedangkan riwayat Al Kasymihani, yakni dengan lafazh, “Lebih baik daripada mereka” sedikit sulit dijelaskan. Mungkin yang melakukan adzan adalah sekelompok orang (dengan catatan hal ini dapat dibuktikan) atau yang dimaksud adalah jenis para muadzdzin, atau yang beliau maksudkan adalah lebih baik dari pada orang-orang yang melakukan pengingkaran.

وَإِنَّهَا dan sesungguhnya ia) Yakni shalat Jum’at, seperti dijelaskan terdahulu.

عَزْمَة (kewajiban) Yakni lawan dari pada rukhshah (dispensasi). Kemudian Ibnu Aliyah menambahkan, وَإِنِّي كَرِهْت أَنْ أُخْرِجَكُمْ فَتَمْشُونَ فِي الطِّين (Sesungguhnya aku tidak suka untuk mengeluarkan kalian, sehingga kalian berjalan di atas tanah yang becek). Dalam riwayat Al Hajbi dari Ashim disebutkan, (Sesungguhnya aku tidak suka untuk menjadikan kalian berdosa). Lalu dalam riwayat Jarir dari Ashim yang disebutkan oleh Ibnu Khuzaimah, أُخْرِجَ النَّاس وَأُكَلِّفَهُمْ أَنْ يَحْمِلُوا الْخَبَثَ مِنْ طُرُقِهِمْ إِلَى مَسْجِدِكُمْ (Untuk mengeluarkan manusia dan membebani mereka membawa kotoran dari Jalanan mereka ke masjid kalian). Pembahasan yang berkaitan dengan gugurnya kewajiban shalat Jum’at karena turun hujan akan diterangkan pada k:itab tentang “Shalat Jum’at”, insya Allah. Adapun kesesuaian hadits ini dengan judul bab telah diingkari oleh Ad-Dawudi, dimana dia berkata, “Tidak ada dalil dalam hadits .ini untuk membolehkan berbicara saat mengumandangkan adzan, bahkan kalimat tersebut termasuk bagian adzan pada kondisi demikian.” Tapi perkataan Ad-Dawudi ditanggapi dengan mengatakan, “Meskipun diperkenankan untuk diucapkan pada kondisi seperti itu, namun kalimat tersebut tetap bukan termasuk bagian adzan yang dikenal. Apabila kalimat itu boleh ditambahkan pada adzan karena diperlukan, maka hal ini menunjukkan bolehnya muadzdzin untuk berbicara di sela-sela adzan apabila dibutuhkan.”


[1] Pada salah satu naskah disebutkan sesudah kalimat ini, “Maknanya marilah menuju shalat.”

M Resky S