Hadits Shahih Al-Bukhari No. 583-585 – Kitab Adzan

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 583-585 – Kitab Adzan ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Adzan Setelah Fajar” Hadis-hadis ini menjelaskan bahwa Rasulullah saw biasa salat dua rakaat ringan antara adzan dan iqamat Shubuh. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 4 Kitab Adzan. Halaman 70-76.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ أَخْبَرَتْنِي حَفْصَةُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا اعْتَكَفَ الْمُؤَذِّنُ لِلصُّبْحِ وَبَدَا الصُّبْحُ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تُقَامَ الصَّلَاةُ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Abdullah bin Yusuf] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Malik] dari [Nafi’] dari [‘Abdullah bin ‘Umar] berkata, [Hafshah] mengabarkan kepadaku, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika mu’adzin telah selesai mengumandangkan adzan Shubuh, beliau melaksanakan shalat dua rakaat ringan sebelum mendirikan shalat Shubuh.”

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ قَالَ حَدَّثَنَا شَيْبَانُ عَنْ يَحْيَى عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَائِشَةَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَالْإِقَامَةِ مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Abu Nu’aim] berkata, telah menceritakan kepada kami [Syaiban] dari [Yahya] dari [Abu Salamah] dari [‘Aisyah], bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan shalat sunnat dua rakaat ringan antara adzan dan iqamat dalam shalat Shubuh.”

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ بِلَالًا يُنَادِي بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُنَادِيَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Abdullah bin Yusuf] telah mengabarkan kepada kami [Malik] dari [‘Abdullah bin Dinar] dari [‘Abdullah bin ‘Umar], bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan saat masih malam. Maka makan dan minumlah sampai ada seruan adzan oleh Ibnu Ummi Maktum.”

Keterangan Hadis: (Bab adzan setelah fajar) Az-Zain bin Al Manayyar berkata, Imam Bukhari mendahulukan bab ‘Adzan sesudah fajar’ dari pada bab ‘Adzan sebelum fajar’. Hal itu telah menyalahi urutan adzan dalam praktiknya, karena dalam syariat, adzan hanya dikumandangkan setelah waktu shalat masuk. Maka Imam Bukhari mendahulukan bab yang menjadi pokok permasalahan daripada persoalan yang jarang terjadi.” Sementara Ibnu Baththal menanggapi judul bab ini dengan mengatakan bahwa di antara para imam tidak ada perselisihan dalam masalah tersebut, tapi yang menjadi objek perbedaan pendapat adalah masalah bolehnya adzan sebelum fajar.

Menurut saya bahwa maksud Imam Bukhari menyebutkan kedua bab ini adalah untuk menjelaskan bahwa adzan sebelum fajar memiliki maksud tersendiri yang berbeda dengan adzan setelah fajar. Di samping itu, adzan sebelum fajar tidak mencukupi adzan setelah fajar, dan adzan Ibnu Ummi Maktum tidak dilakukan sebelum fajar. Wallahu a’lam.

كَانَ إِذَا اِعْتَكَفَ الْمُؤَذِّنُ لِلصُّبْحِ (Biasanya apabila muadzdzin i’tikaf untuk shalat Subuh) Demikian yang tercantum pada mayoritas perawi dari Imam Bukhari, padahal pada lafazh ini terdapat permasalahan yang dipertanyakan oleh sejumlah ulama. Sebagian mereka mencoba memberi penjelasan seperti yang akan disebutkan.

Adapun hadits ini, sebagaimana yang terdapat dalam kitab Al Muwaththa dari semua perawinya disebutkan dengan lafazh, كَانَ إِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّن مِنْ الْأَذَان لِصَلَاةِ الصُّبْح (Biasanya apabila muadzdzin telah berdiam (selesai) dari adzan untuk shalat Subuh). Demikian pula yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Iainnya, dan inilah yang benar. Dalam riwayat Ibnu Syibawaih diadakan revisi, sama seperti pada riwayat Al Firabri. Sementara dalam riwayat Al Hamdani dikatakan, كَانَ إِذَا أَذَّنَ (Biasanya apabila adzan), sebagai ganti lafazh, اِعْتَكَفَ (I’tikaf). Riwayat Al Hamdani ini lebih sesuai dengan riwayat yang benar. Dalam riwayat An-Nasafi dari Imam Bukhari disebutkan dengan lafadz كَانَ إِذَا اِعْتَكَفَ وَأَذَّنَ الْمُؤَذِّن (Biasanya apabila beliau SAW i’tikaf dan muadzdzin mengumandangkan adzan). Artinya perbuatan beliau SAW tersebut hanya dilakukannya saat i’tikaf, padahal sebenarnya tidak demikian. Nampaknya ini hanyalah usaha revisi dari An-Nasafi.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 511-513 – Kitab Waktu-waktu Shalat

Sejumlah pakar telah menyatakan bahwa kesalahan dalam riwayat ini berasal dari Abdullah bin Yusuf (guru Imam Bukhari). Sebagian lagi seperti Ibnu Baththal memberi penjelasan bahwa makna “Apabila muadzdzin i’tikaf’ adalah senantiasa mengawasi dan melihat terbitnya fajar, agar ia dapat menyerukan adzan tepat saat fajar terbit. Mereka mengatakan, “Makna dasar i’tikaf adalah menetap di suatu tempat. “Akan tetapi pandangan ini dikritik, karena konsekuensinya Nabi SAW tidak melakukan shalat dua rakaat tersebut kecuali apabila muadzdzin melakukan demikian berdasarkan makna syarat yang terdapat pada kalimat tersebut, dan tentu saja hal ini tidak dapat dibenarkan karena telah terbukti bahwa beliau SAW melakukan shalat dua rakaat fajar terus-menerus tanpa mengaitkannya dengan sikap muadzdzin.

Untuk itu, pendapat yang benar dalam masalah ini bahwa lafazh, اِعْتَكَفَ (I’tikaf) merupakan perubahan dari lafazh سَكَتَ (berdiam). Hadits ini telah diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari dalam bab “Shalat Dua Rakaat Setelah Zhuhur” melalui Ayyub, dari Nafi’ dengan lafazh, كَانَ إِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّن وَطَلَعَ الْفَجْر (Biasanya apabila muadzdzin telah adzan dan fajar telah terbit).

بَيْنَ النِّدَاءِ وَالْإِقَامَةِ (Antara adzan dan qamat). Ibnu Al Manayyar berkata, “Hadits Aisyah lebih jauh untuk dijadikan dalil bagi persoalan ini dibanding hadits Hafshah, karena kalimat ‘di antara adzan dan iqamah’ tidaklah berkonsekuensi bahwa adzan dilakukan setelah fajar.” Kemudian beliau menjawab persoalan itu yang secara ringkasnya, “Bahwa yang dimaksud oleh Aisyah dengan dua rakaat adalah shalat dua rakaat fajar, dan shalat ini tidak dilakukan kecuali setelah fajar terbit. Jika beliau SAW melakukannya setelah fajar, maka sebagai konsekuensinya adzan juga dilakukan setelah fajar.” Tapi pernyataan ini di samping terkesan dipaksakan, juga tidak tertutup kemungkinan untuk dikritik.

Di sini Imam Bukhari kembali melakukan kebiasaannya yang mensinyalir lafazh yang dinukil pada sebagian jalur periwayatan hadits yang dia jadikan sebagai dalil. Penjelasan mengenai hal ini kita temukan pada riwayat yang beliau sebutkan setelah dua bab melalui jalur lain dari Aisyah dengan lafazh, (Biasanya apabila muadzdzin telah diam (selesai adzan) beliau SAW berdiri dan shalat dua rakaat yang ringan sebelum shalat Subuh, setelah fajar menyingsing).

Catatan: Ibnu Mandah berkata, “Hadits Abdullah bin Dinar telah disepakati ke-shahih-annya, dan diriwayatkan oleh sejumlah pakar hadits dari murid-murid Abdullah dari beliau. Lalu diriwayatkan pula dari Abdullah oleh Syu’bah namun terdapat hal yang diperselisihan; telah diriwayatkan oleh Yazid bin Harun dari Syu’bah dengan lafazb yang menunjukkan keraguan, yakni (Sesungguhnya Bilal…) dan seterusnya sebagaimana riwayat yang masyhur, ataukah (Sesungguhnya Ibnu Ummi Maktum adzan di waktu malam, maka makan dan minumlah kalian hingga Bilal adzan).

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 261 – Kitab Mandi

Ibnu Mandah juga mengatakan bahwa Syu’bah menukil hadits ini melalui jalur yang lain, dari Khubaib bin Abdurrahman dari bibinya (Unaisah) dengan lafazh yang menunjukkan keraguan. Demikian pula Imam Ahmad meriwayatkan dari Ghundar, dari Syu’bah. Sementara dalam riwayat Abu Daud Ath-Thayalisi dari Syu’bah dengan tegas menyebutkan versi yang pertama. Namun pada riwayat Abu Al Walid dari Syu’bah justru menetapkan versi yang kedua. Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Al Mundzir serta Ibnu Hibban melalui beberapa jalur dari Syu’bab. Begitu pula Ath-Thahawi dan Thabrani meriwayatkannya melalui jalur Manshur bin Zadzan dari Khubaib bin Abdurrahman.

Sementara Ibnu Abdul Barr serta sejumlah imam hadits menyatakan bahwa riwayat dari Syu’bah tergolong hadits maqlub (terbalik), adapun yang benar adalah hadits yang disebutkan pada bab ini. Saya pun dahulu cenderung menerima pendapat ini. hingga akhirnya saya melihat hadits yang dimaksud dalam shahih Ibnu Khuzaimah melalui dua jalur periwayatan yang lain dari Aisyah, dimana pada sebagian lafazhnya terdapat keterangan yang menutup kemungkinan adanya kekeliruan seperti yang dikatakan. Keterangan yang dimaksud adalah perkataannya, (Apabila Amr adzan dimana ia seorang yang buta, maka janganlah kalian terpedaya. Sedangkan apabila Bilal adzan, maka jangan ada seorang pun yang makan). Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad.

Kemudian dinukil pula dari Aisyah bahwa beliau mengingkari hadits Ibnu Umar seraya mengatakan, “Sesungguhnya hadits ini keliru.” Tanggapan Aisyah ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi melalui jalur Ad-Darawardi, dari Hisyam, dari bapaknya, dari Aisyah, dimana Al Baihaqi menyebutkan hadits seraya menambahkan, “Aisyah berkata, ‘Bilal bisa melihat fajar’.” Dia berkata pula, “Aisyah biasa mengatakan, ‘Ibnu Umar telah keliru’.” Demikian nukilan dari Al Baihaqi.

Selanjutnya Ibnu Khuzaimah dan Adh-Dhab’i mencoba memadukan kedua hadits yang ringkas, “Ada kemungkinan adzan dipergilirkan antara Bilal dan Ibnu Ummi Maktum, maka Nabi SAW memberitahukan bahwa adzan pertama dari keduanya tidaklah mengharamkan seseorang yang akan berpuasa untuk makan, dan tidak pula merupakan pertanda masuknya waktu shalat, berbeda dengan adzan yang kedua.” Pandangan ini diterima oleh Ibnu Hibban lalu beliau mengukuhkannya scbagai pendapat yang paling tepat, bukan sekedar suatu kemungkinan. Oleh karena itu, Adh-Dhiya’ serta ulama-­ulama lainnya mengingkari pandangan ini.

Pendapat lain mengatakan sesnngguhnya adzan tidak dipergilirkan antara keduanya, namun kedua hadits itu menggambarkan dua keadaan yang berbeda, dimana sejak awal pensyariatan adzan Bilal telah melakukan adzan sendirian, dan dia tidak mengumandangkan adzan melainkan setelah terbit fajar. Di bawah konteks ini dapat dipahami riwayat Urwah dari seorang wanita Bani Najjar, dimana ia berkata, (Dahulu Bilal duduk di rumahku dan ia merupakan rumah paling tinggi di Madinah. Apabila melihat fajar, dia pergi dengan tergesa-gesa lalu adzan). Riwayat ini disebutkan oleh Abu Daud dengan sanad hasan. Demikian pula riwayat Humaid dari Anas, (Sesungguhnya seseorang bertanya tentang waktu

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 254-256 – Kitab Mandi

shalat, maka Rasulullah SAW memerintahkan Bilal adzan ketika fajar terbit). Hadits ini diriwayatkan oleh An-Nasa’i dan sanadnya shahih. Kemudian datanglah Ibnu Umrni Maktum dimana ia mengumandangkan adzan pada waktu malam, sementara Bilal tetap sebagaimana keadaannya yang pertama. Setelah itu, Ibnu Ummi Maktum ditempatkan pada adzan kedua mengingat kondisi fisiknya yang agak lemah, dan ditunjuk seseorang yang mendampinginya untuk memperhatikan masuknya fajar. Selanjutnya Bilal ditunjuk untuk adzan di waktu malam. Adapun penyebab hal itu adalah riwayat yang mengatakan bahwa terkadang beliau (Bilal) salah dalam menentukan masuknya waktu fajar, dimana ia adzan sebelum fajar terbit. Pada suatu ketika dia melakukan kesalahan, maka Nabi SAW memerintahkannya untuk adzan kembali, seraya bersabda, “Sungguh sang hamba tertidur,” yakni dia dikalahkan oleh rasa kantuk sehingga tidak mampu melihat dengan jelas masuknya fajar. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan lainnya melalui Hammad bin Salmnah, dari Ayyub, dari Nafi’ dari Ibnu Umar, dari Nabi SAW, dan sanadnya (para perawi) tergolong tsiqah (terpercaya) dan huffazh (pakar di bidang hadits).

Akan tetapi para Imam ahli hadits, seperti Ali bin Al Madini, Ahmad bin Hambal, Imam Bukhari, Adz-Dzuhli, Abu Hatim, Abu Daud, At-Tirmidzi, Al Atsrmn serta Ad-Daruquthni telah sepakat menyatakan bahwa Hammad telah keliru ketika menisbatkan hadits tersebut langsung kepada Rasulullah SAW. Sesungguhnya yang benar riwayat tersebut mauquf (hanya smnpai) pada Umar bin Khaththab RA, dan peristiwa itu terjadi pada Umar bersmna muadzdzinnya. Di samping itu, perawi yang menisbatkan riwayat ini langsung kepada Rasulullah SAW hanyalah Hammad. Meskipun demikian, beliau (Hammad) telah didukung oleh riwayat lain yang dinukil oleh Al Baihaqi melalui jalur Sa’id bin Zarbi, dimana dia meriwayatkan dari Ayyub dengan jalur maushul (bersambung), namun sanadnya lemal1. Abdurrazzaq juga meriwayatkan dari Ma’mar dari Ayyub, akan tetapi sanadnya mu’dhal (tidak disebutkan dua perawi berturut-turut) dimana beliau menghapus Nafi’ dan Ibnu Umar dari sanad. Abdurrazzaq kernudian meriwayatkan melalui jalur lain dari Nafi’ yang dikutip oleh Ad-Daruquthni dan selainnya, hanya saja terjadi perbedaan tentang apakah ia marfu‘ atau mauquf. Kemudian beliau menukil pula riwayat lain dengan jalur mursal yang disebutkan dengan sanad lengkap (maushul) oleh Yunus dari Sa’id dengan mencantumkan Anas.

Jalur-jalur periwayatan hadits ini saling menguatkan satu sama lain sehingga memiliki dasar yang cukup kuat. Oleh sebab itu – wallahu a’lam– ditetapkan bahwa Bilal melakukan adzan pertama. Kemudian kami akan menyebutkan perbedaan mereka dalam menetapkan waktu yang dimaksud pada perkataan, “Adzan di waktu malam” dalam bab berikut ini.

M Resky S