Hadits Shahih Al-Bukhari No. 603 – Kitab Adzan

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 603 – Kitab Adzan ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Apakah Keluar Dari Masjid karena Suatu Sebab?” Hadis dari Abu Hurairah ini menceritakan bahwa Rasulullah saw pernah memiliki hajat atas sesuatu ketika shalat akan dilaksanakan dan muadzin telah selesai qamat, begitu pula shaf-shaf telah rapi tersusun. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 4 Kitab Adzan. Halaman 125-129.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ وَقَدْ أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ وَعُدِّلَتْ الصُّفُوفُ حَتَّى إِذَا قَامَ فِي مُصَلَّاهُ انْتَظَرْنَا أَنْ يُكَبِّرَ انْصَرَفَ قَالَ عَلَى مَكَانِكُمْ فَمَكَثْنَا عَلَى هَيْئَتِنَا حَتَّى خَرَجَ إِلَيْنَا يَنْطِفُ رَأْسُهُ مَاءً وَقَدْ اغْتَسَلَ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Abdul ‘Aziz bin Abdullah] berkata, telah menceritakan kepada kami [Ibrahim bin Sa’d] dari [Shalih bin Kaisan] dari [Ibnu Syihab] dari [Abu Salamah] dari [Abu Hurairah], bahwa suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar sementara iqamat sudah dikumandangkan dan shaf-shaf sudah diluruskan, hingga ketika beliau telah berdiri di tempat shalatnya dan kami menunggunya untuk segera takbir, beliau berlalu sambil berkata: “Tetaplah di tempat kalian.” Maka kami tetap berdiri di tempat semula hingga beliau kembali kepada kami dengan kela basah karena sebab mandi.”

Keterangan Hadis: Maksud judul bab “Apakah Keluar dari Masjid karena Suatu Sebab”, yakni karena sesuatu yang bersifat darurat. Seakan-akan (Imam Bukhari) mensinyalir “pengkhususan” sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dan Abu Daud serta selainnya dari jalur Abu Sya’tsa dari Abu Hurairah, bahwa beliau melihat seorang laki-laki keluar dari masjid setelah muadzdzin selesai shalat. Maka beliau berkata, “Adapun yang ini telah durhaka kepada Abu Al Qasim.” Maka, hadits di bab ini menjelaskan bahwa yang demikian itu khusus bagi mereka yang keluar bukan karena sesuatu yang darurat. Adapun orang yang memiliki kepentingan darurat, maka hukumnya sama dengan orang yang junub,[1] berhadats, mimisan, hendak buang air besar atau sepertinya. Demikian pula halnya dengan orang yang menjadi imam di masjid lain.

Baca Juga:  Ini Pendapat Ibnu Hajar Al-Asqalani Tentang Hadits Yang Membolehkan Makelar

Ath-Thabrani meriwayatkan dalam kitab Al Ausath melalui jalur Sa’id bin Al Musayyab dari Abu Hurairah RA, bahwa riwayat ini langsung dari Nabi SAW dan juga ditegaskan pengkhususan tadi. Adapun lafazhnya, (Tidaklah seseorang mendengar adzan sedang ia berada dalam -masjid,[2] kemudian ia keluar kecuali karena suatu keperluan, kemudian tidak kembali lagi melainkan ia seorang munafik).

خَرَجَ وَقَدْ أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ (beliau keluar sementara qamat untuk shalat telah dilakukan) Ada kemungkinan maksudnya adalah beliau keluar pada saat qamat sedang berlangsung, dan ada pula kemungkinan beliau SAW keluar setelah qamat selesai. Ini merupakan makna lahiriah riwayat yang ada pada bab sebelumnya, dimana qamat tersebut disertai merapikan shaf, dan merapikan shaf diiringi keluarnya beliau SAW. Namun ada kemungkinan untuk memadukan keduanya, dimana kedua kalimat tersebut menerangkan keadaan, yakni beliau keluar saat qamat dilakukan dan shaf-shaf diluruskan.

Al Karmani berkata, “Lafazh قَدْ mendekatkan kata kerja lampau (madhi) kepada kata yang menerangkan keadaan (hal). Seakan beliau SAW keluar pada kondisi dimana qamat sedang dilakukan dan shaf diluruskan. Namun kemungkinan mereka melakukan hal itu setelah mendapat izin dari beliau SAW, atau ada faktor-faktor tertentu yang berindikasi demikian.”

Saya (Ibnu Hajar) katakan, telah disebutkan sebelumnya kemungkinan lain bahwa yang demikian itu merupakan sebab ditetapkannya larangan. Maka, ia tidak ada indikasi dari hadits ini tentang penyelisihan para sahabat terhadap beliau SAW. Telah disebutkan pula penjelasan yang mengompromikan antara riwayat ini dengan hadits Abu Qatadah yang berbunyi, “Janganlah kalian berdiri hingga melihatku.”

حَتَّى إِذَا قَامَ فِي مُصَلَّاهُ (hingga ketika beliau telah berdiri di tempat shalatnya) Imam Muslim memberi tambahan dalam riwayatnya dari jalur Yunus, dari Zuhri, قَبْلَ أَنْ يُكَبِّرَ فَانْصَرَفَ (Sebelum takbir, beliau pun berbalik). Telah disebutkan pada bab “Apabila Seseorang Teringat Saat di Masjid bahwa Ia Sedang Junub” dalam kitab tentang “mandi” melalui jalur lain, dari Yunus dengan lafazh, فَلَمَّا قَامَ فِي مُصَلَّاهُ ذَكَرَ (Ketika telah berdiri di tempat shalatnya, beliau teringat). Hal ini memberi keterangan bahwa beliau SAW berbalik sebelum shalat. Keterangan ini bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Hibban, dari Abu Bakrah bahwa Nabi SAW masuk dalam shalat fajar lalu bertakbir, kemudian memberi isyarat kepada mereka.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 251 – Kitab Mandi

Imam Malik meriwayatkan juga melalui jalur Atha’ bin Yasar dengan sanad mursal, bahwa beliau SAW takbir pada salah satu shalat. Kemudian beliau mengisyaratkan dengan tangannya yang berarti “tetaplah di tempat kalian”.

Kedua versi ini mungkin dipadukan dengan mengatakan bahwa perkataannya “beliau takbir” dipaharni dengan makna “hendak takbir”, atau bisa juga dipahami bahwa dua riwayat ini mengungkap dua kejadian yang berbeda. Hal ini diungkapkan oleh Al Qadhi Iyadh dan Al Qurthubi sebagai suatu kemungkinan, sementara An-Nawawi berkata babwa ia merupakan pandangan yang lebih kuat. Adapun Ibnu Hibban langsung memastikan kebenarannya, sebagaimana kebiasaan beliau. Jika hal ini terbukti orisinil, maka harus dijadikan pegangan. Sedangkan bila tidak, maka riwayat yang terdapat dal.am Shahih Bukhari harus lebih dikedepankan.

Sementara pernyataan Ibnu Baththal yang mengatakan bahwa Imam Syafi’i berhujjah dengan hadits Atha’ untuk menyatakan bolehnya makmum melakukan takbir sebelum imam takbir, dimana sikap ini menyalahi dasar pemikirannya sendiri, karena ia berhujjah dengan hadits mursal. Pernyataan ini dapat dijawab dengan mengatakan bahwa Imam Syafi’i tidak berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak, tetapi dia berhujjah dengan sebagian hadits mursal yang dikuatkan oleh riwayat lain. Dernikian halnya di tempat ini, karena riwayat yang beliau jadikan sebagai hujjah didukung oleh riwayat Abu Bakrah yang telah kami sebutkan.

عَلَى هَيْئَتِنَا (sebagaimana keadaan kamu) Yakni mereka melakukan perintah beliau SAW yang terdapat dalam sabdanya, “Tetaplah di tempat-tempat kalian”, maka mereka pun tetap pada posisi ketika ditinggalkan oleh Nabi SAW, yakni keadaan mereka yang sedang bcrdiri dalam shaf-shaf yang rapi.

وَقَدْ اغْتَسَلَ (beliau telah mandi) Ad-Daruquthni memberi tambahan melalui jalur lain dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, إِنِّي كُنْت جُنُبًا فَنَسِيت أَنْ أَغْتَسِلَ (Sesungguhnya aku berjunub lalu aku lupa mandi).

Pelajaran yang dapat diambil: Dalam hadits ini terdapat sejumlah pelajaran yang dapat kita petik selain yang telah disebutkan dalam kitab tentang mandi, di antaranya:

1. Lupa bukanlah hal yang mustahil bagi para nabi dalam masalah ibadah dengan maksud untuk menetapkan syariat.

2. Air musta ‘mal (yang telah dipakai) hukumnya suci.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 345-346 – Kitab Shalat

3. Bolehnya ada pemisah antara qamat dan shalat, karena sabda beliau SAW “maka beliau shalat” secara lahiriah tidak ada pengulangan qamat. Namun nampaknya hal ini berkaitan dengan kondisi darurat serta tidak ada kekhawatiran waktu shalat akan habis. Imam Malik berpendapat, apabila jarak antara qamat dengan takbiratul ihram (takbir pembuka shalat) lama, maka qamat hams diulang. Tapi hal ini berlaku pada saat tidak ada udzur (halangan syar’i).

4. Tidak ada malu dalam urusan agama. Adapun mereka yang pemalu, maka hendaknya mengemukakan udzur (alas an) yang menimbulkan kesan lain, seperti memegang hidungnya untuk menunjukkan bahwa ia sedang mimisan.

5. Makmum boleh menunggu kedatangan imam dalam keadaan berdiri pada saat darurat. Namun hal ini tidak masuk cakupan perbuatan yang dilarang dalam hadits Abu Qatadah.

6. Bagi orang bermimpi melakukan hubungan intim di masjid lalu ingin keluar, maka hendaknya bertayamum seperti yang telah disebutkan dalam kitab “Mandi”.

7. Bolehnya berbicara antara qamat dan shalat, dan hal ini akan dibahas pada bab tersendiri.

8. Orang yang junub boleh mengakhirkan mandi dari waktu terjadinya hadats.

Catatan: Dalam sebagian naskah di tempat ini disebutkan, “Dikatakan kepada Abdullah -yakni Imam Bukhari- apabila yang demikian terjadi pada salah seorang di antara kami, apakah ia berbuat seperti itu?” Beliau berkata, “Benar.” Dikatakan, “Apakah mereka menunggu imam dalam keadaan berdiri atau duduk?” Beliau berkata, “Apabila sebelum takbir, maka tidak mengapa mereka duduk. Sedangkan apabila setelah takbir, maka hendaknya mereka menunggu sambil berdiri.” Dalam sebagian naskah yang lain, hal ini disebutkan pada bagian akhir bab sesudahnya.


[1] Maksudnya, sama hukumnya dengan orang yang berada didalam masjid lalu teringat bahwa ia dalam keadaan junub, berhadats dan sebagainya, maka ia boleh keluar.

[2] Dalam salah satu naskah disebutkan, “masjidku”

M Resky S