Hadits Shahih Al-Bukhari No. 625 – Kitab Adzan

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 625 – Kitab Adzan ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Batasan Orang yang Sakit Untuk Menghadiri Shalat Jamaah” Hadis  dari Aisyah ini menceritakan bahwa Ketika sakit Nabi saw semakin parah dan berat, beliau minta izin kepada para isterinya untuk dirawat di rumahku. Lalu beliau pun diizinkan. Beliau kemudian keluar dengan dipapah oleh dua orang laki-laki sementara kedua kakinya berjalan di tanah. Kedua laki-laki itu adalah ‘Abbas dan seorang lagi.” ‘Ubaidullah berkata, “Apa yang dikisahkan oleh Aisyah itu kemudian aku ceritakan kepada [‘Abdullah bin ‘Abbas], maka dia pun berkata kepadaku, “Tahukah kamu, siapakah lelaki lain yang tidak disebutkan namanya oleh ‘Aisyah itu? ‘ Aku jawab, “Tidak.” Ibnu Abbas berkata, “Dia adalah ‘Ali bin Abu Thalib.” Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 4 Kitab Adzan. Halaman 214-231.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى قَالَ أَخْبَرَنَا هِشَامُ بْنُ يُوسُفَ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ لَمَّا ثَقُلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاشْتَدَّ وَجَعُهُ اسْتَأْذَنَ أَزْوَاجَهُ أَنْ يُمَرَّضَ فِي بَيْتِي فَأَذِنَّ لَهُ فَخَرَجَ بَيْنَ رَجُلَيْنِ تَخُطُّ رِجْلَاهُ الْأَرْضَ وَكَانَ بَيْنَ الْعَبَّاسِ وَرَجُلٍ آخَرَ قَالَ عُبَيْدُ اللَّهِ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِابْنِ عَبَّاسٍ مَا قَالَتْ عَائِشَةُ فَقَالَ لِي وَهَلْ تَدْرِي مَنْ الرَّجُلُ الَّذِي لَمْ تُسَمِّ عَائِشَةُ قُلْتُ لَا قَالَ هُوَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Ibrahim bin Musa] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Hisyam] dari [Ma’mar] dari [Az Zuhri] berkata, telah mengabarkan kepadaku [Ubaidullah bin ‘Abdullah] berkata, [‘Aisyah] berkata, “Ketika sakit Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam semakin parah dan berat, beliau minta izin kepada para isterinya untuk dirawat di rumahku. Lalu beliau pun diizinkan. Beliau kemudian keluar dengan dipapah oleh dua orang laki-laki sementara keduan kakinya berjalan di tanah. Kedua laki-laki itu adalah ‘Abbas dan seorang lagi.” ‘Ubaidullah berkata, “Apa yang dikisahkan oleh Aisyah itu kemudian aku ceritakan kepada [‘Abdullah bin ‘Abbas], maka dia pun berkata kepadaku, “Tahukah kamu, siapakah lelaki lain yang tidak disebutkan namanya oleh ‘Aisyah itu? ‘ Aku jawab, “Tidak.” Ibnu Abbas berkata, “Dia adalah ‘Ali bin Abu Thalib.”

Keterangan Hadis: لَمَّا ثَقُلَ عَلَى النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (ketika semakin berat bagi Nabi SAW) Yakni sakit beliau SAW semakin parah. Dikatakan “sakitnya telah berat” apabila anggota badan seseorang semakin sulit digerakkan.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 187-188 – Kitab Wudhu

فَأَذِنَّ لَهُ (mereka pun mengizinkannya), yakni istri-istri beliau SAW. Hal ini dijadikan dalil bahwa menggilir malam di antara istri-­istri termasuk kewajiban bagi beliau SAW, sebagaimana yang akan dibahas pada tempatnya, insya Allah.

Hadits Zuhri ini telah disebutkan dalam bab, “Mandi dan Wudhu dari Mikhdhab”, dimana keterangannya lebih lengkap daripada yang tersebut di tempat ini. Kemudian akan disebutkan dalam riwayat Ibnu Abi Aisyah dari Ubaidillah (guru Imam Bukhari) dengan lafazh yang lebih lengkap daripada lafazh yang dinukil oleh Zuhri.

قَالَ هُوَ عَلِيّ بْن أَبِي طَالِب (beliau berkata, “Ia adalah Ali bin Abi Thalib.”) Al Ismaili menambahkan dalam riwayatnya dari Abdurrazzaq, dari Ma’mar, “Akan tetapi Aisyah tidak menyenangi kebaikan untuknya.” Dalam riwayat Ibnu Ishaq dalam kitab Al Maghazi dari Az-Zuhri, disebutkan “Akan tetapi Aisyah tidak mampu untuk menyebutkannya dengan suatu kebaikan.” Lalu Al Karmani tidak berhenti pada tambahan ini, bahkan mengungkapkan hal tersebut dengan kalimat yang tidak enak didengar. Riwayat ini merupakan bantahan bagi mereka yang berlebihan dengan mengatakan, “Tidak pantas kita berprasangka seperti itu terhadap Aisyah.” Bantahan ini juga untuk mereka yang mengatakan bahwa Aisyah sengaja tidak menyebutkan laki-laki yang kedua, karma laki-laki yang kedua ini tidak menentu dalam semua kejadian; terkadang beliau SAW berpegangan pada Al Fadhl, terkadang pada Usamah, dan terkadang pada Ali. Namun yang menjadi pasangan bagi semuanya adalah Al Abbas. Dia diberi tugas khusus ini sebagai penghargaan baginya. Tentu saja ini merupakan kekeliruan mereka yang mengatakan, bahwa kenyataannya tidak demikian. Hal itu karena Ibnu Abbas dalam semua riwayat yang shahih menyatakan bahwa laki-laki yang satunya itu adalah Ali, maka inilah yang seharusnya dijadikan pegangan.

Klaim bahwa Al Abbas ada pada setiap kejadian itu, sementara yang berganti-ganti hanyalah laki-laki yang satunya, juga tertolak berdasarkan riwayat Ashim yang telah disebutkan, serta riwayat­-riwayat lainnya yang dengan tegas menyatakan bahwa Abbas tidak turut pada satu atau dua kali kejadian itu.

Pelajaran yang dapat diambil: Pada kisah ini terdapat sejumlah faidah selain yang telah disebutkan, di antaranya:

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 85 – Kitab Ilmu

1. Mendahulukan Abu Bakar serta melebihkannya di antara semua sahabat.

2. Keutamaan Umar yang menempati posisi setelah Abu Bakar.

3. Boleh memuji seseorang di hadapannya apabila tidak dikhawatirkan bahwa orang itu akan bersifat ujub (bangga terhadap diri sendiri).

4. Sikap lemah lembut Nabi SAW terhadap istri-istrinya, khususnya Aisyah RA.

5. Orang yang lebih rendah kedudukannya boleh menanggapi perkataan orang yang lebih tinggi kedudukannya.

6. Musyawarah dalam masalah yang menyangkut kepentingan umum.

7. Adab (sopan santun) terhadap orang yang lebih tinggi kedudukannya, berdasarkan keinginan Abu bakar untuk mundur ke shaf.

8. Memuliakan dan menghormati orang yang memiliki keutamaan, karena ketika Abu Bakar hendak mundur hingga berdiri didalam shaf, maka Nabi SAW tidak membiarkannya untuk meninggalkan tempat berdirinya.

9. Menangis tidak membatalkan shalat, karena setelah beliau SAW mengetahui keadaan Abu Bakar yang memiliki hati sangat lembut dan mudah menangis, beliau SAW tetap tidak menunjuk orang lain dan tidak pula melarangnya menangis.

10. Isyarat dapat menempati posisi perkataan. Adapun sikap Nabi SAW yang hanya memberi isyarat, kemungkinan karena suaranya yang lemah saat itu, tapi kemungkinan juga beliau SAW hendak menjelaskan bahwa berbicara dengan orang yang sedang shalat lebih baik dengan isyarat daripada diucapkan dengan lisan.

11. Anjuran shalat berjamaah serta bolehnya melakukan hal-hal yang lebih sulit, meski bagi orang sakit terdapat rukhshah (keringanan) untuk tidak turut berjamaah. Tapi ada pula kemungkinan beliau SAW melakukan hal itu sebagai penjelasan bolehnya melakukan hal yang lebih sulit, meskipun memilih untuk melakukan rukhshah (keringanan) adalah lebih utama. Al Baidhawi berkata, “Sesungguhnya Nabi SAW melakukan hal itu agar tidak ada alasan sedikitpun bagi para pemimpin sesudah beliau SAW untuk tidak shalat mengimami manusia.” Kemungkinan lain, beliau SAW bermaksud memberi isyarat bahwa sikap beliau SAW menunjuk Abu Bakar RA karena kemampuan Abu Bakar untuk menempati posisi tersebut, hingga beliau SAW turut shalat dan bermakmum kepadanya

12. Imam boleh menunjuk penggantinya meskipun tidak ada halangan, sebagaimana Abu Bakar RA yang hendak melakukan hal itu.

13. Boleh menyelisihi posisi makmum karena darurat bagi yang ingin menyambung suara imam, dan masuk pula dalam hal ini orang yang tidak dapat masuk dalam shaf karena penuh.

Baca Juga:  Perbedaan AlQuran dan Hadits Qudsi, Ini Penjelasannya

14. Sebagian makmum boleh mengikuti makmum yang lain. Ini adalah perkataan Asy-Sya’bi dan dipilih oleh Ath-Thabari, serta disitir oleh Imam Bukhari seperti yang akan disebutkan. Tapi pandangan ini dikritik, bahwa Abu Bakar saat itu berkedudukan sebagai penyambung suara imam, seperti akan disebutkan pada bah, “Orang yang Memperdengarkan Takbir kepada Manusia” melalui riwayat lain dari Al A’masy. Demikian pula yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Berdasarkan hal ini maka makna “mereka mengikuti” adalah mengikuti suaranya. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa Nabi SAW duduk sedangkan Abu Bakar berdiri. Dengan demikian, sebagian perbuatan beliau SAW tidak terlihat oleh sebagian makmum, maka Abu Bakar seperti imam dilihat dari sisi mereka.

15. Bolehnya mengikuti suara orang yang mengeraskan suara takbirnya, serta sahnya shalat orang yang mengeraskan suara takbirnya dan shalat orang yang mendengarkannya, namun sebagian ulama mensyaratkan bahwa hal itu sah apabila sebelumnya telah ada izin dari imam.

16. Kisah ini dijadikan dalil oleh Ath-Thabari untuk menyatakan bahwa imam boleh meninggalkan posisinya lalu bermakmum kepada orang lain tanpa hams memutuskan shalat yang sedang dilakukan.

17. Boleh mengangkat imam saat shalat berlangsung.

18. Takbiratul ihram makmum boleh mendahului takbiratul ihram imam, berdasarkan bahwa Abu Bakar pada awal shalat (sebagai imam) meninggalkan posisinya dan bermakmum kepada Rasulullah SAW. Kami telah menyebutkan bahwa inilah makna yang kuat. Pendapat ini didukung oleh riwayat Arqam bin Syarahbil dari Ibnu Abbas, (Maka Nabi SAW memulai bacaan dari tempat berhentinya bacaan Abu Bakar).

19.  Kisah ini dijadikan sebagai dalil sahnya shalat seseorang yang mampu berdiri -lalu ia shalat sambil berdiri- di belakang imam. yang duduk. Berbeda dengan pandangan dalam madzhab Maliki dan pandangan Imam Ahmad yang mewajibkan makmum untuk duduk pada saat imam shalat sambil duduk, seperti akan dibahas dalam bab, “Sesungguhnya Imam Dijadikan untuk Diikuti” insya Allah.

M Resky S