Hadits Shahih Al-Bukhari No. 646 – Kitab Adzan

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 646 – Kitab Adzan ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Sesungguhnya Dijadikannya Imam Adalah Untuk Diikuti” Hadis ini menceritakan pertanyaan Ubaidillah bin Abdullah kepada Aisyah tentang sakit Rasulullah saw. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 4 Kitab Adzan. Halaman 274-291.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ قَالَ حَدَّثَنَا زَائِدَةُ عَنْ مُوسَى بْنِ أَبِي عَائِشَةَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى عَائِشَةَ فَقُلْتُ أَلَا تُحَدِّثِينِي عَنْ مَرَضِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ بَلَى ثَقُلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَصَلَّى النَّاسُ قُلْنَا لَا هُمْ يَنْتَظِرُونَكَ قَالَ ضَعُوا لِي مَاءً فِي الْمِخْضَبِ قَالَتْ فَفَعَلْنَا فَاغْتَسَلَ فَذَهَبَ لِيَنُوءَ فَأُغْمِيَ عَلَيْهِ ثُمَّ أَفَاقَ فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصَلَّى النَّاسُ قُلْنَا لَا هُمْ يَنْتَظِرُونَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ ضَعُوا لِي مَاءً فِي الْمِخْضَبِ قَالَتْ فَقَعَدَ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ ذَهَبَ لِيَنُوءَ فَأُغْمِيَ عَلَيْهِ ثُمَّ أَفَاقَ فَقَالَ أَصَلَّى النَّاسُ قُلْنَا لَا هُمْ يَنْتَظِرُونَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ ضَعُوا لِي مَاءً فِي الْمِخْضَبِ فَقَعَدَ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ ذَهَبَ لِيَنُوءَ فَأُغْمِيَ عَلَيْهِ ثُمَّ أَفَاقَ فَقَالَ أَصَلَّى النَّاسُ فَقُلْنَا لَا هُمْ يَنْتَظِرُونَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَالنَّاسُ عُكُوفٌ فِي الْمَسْجِدِ يَنْتَظِرُونَ النَّبِيَّ عَلَيْهِ السَّلَام لِصَلَاةِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ فَأَرْسَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ بِأَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ فَأَتَاهُ الرَّسُولُ فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُكَ أَنْ تُصَلِّيَ بِالنَّاسِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ وَكَانَ رَجُلًا رَقِيقًا يَا عُمَرُ صَلِّ بِالنَّاسِ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ أَنْتَ أَحَقُّ بِذَلِكَ فَصَلَّى أَبُو بَكْرٍ تِلْكَ الْأَيَّامَ ثُمَّ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَدَ مِنْ نَفْسِهِ خِفَّةً فَخَرَجَ بَيْنَ رَجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا الْعَبَّاسُ لِصَلَاةِ الظُّهْرِ وَأَبُو بَكْرٍ يُصَلِّي بِالنَّاسِ فَلَمَّا رَآهُ أَبُو بَكْرٍ ذَهَبَ لِيَتَأَخَّرَ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَنْ لَا يَتَأَخَّرَ قَالَ أَجْلِسَانِي إِلَى جَنْبِهِ فَأَجْلَسَاهُ إِلَى جَنْبِ أَبِي بَكْرٍ قَالَ فَجَعَلَ أَبُو بَكْرٍ يُصَلِّي وَهُوَ يَأْتَمُّ بِصَلَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ بِصَلَاةِ أَبِي بَكْرٍ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاعِدٌ قَالَ عُبَيْدُ اللَّهِ فَدَخَلْتُ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ فَقُلْتُ لَهُ أَلَا أَعْرِضُ عَلَيْكَ مَا حَدَّثَتْنِي عَائِشَةُ عَنْ مَرَضِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ هَاتِ فَعَرَضْتُ عَلَيْهِ حَدِيثَهَا فَمَا أَنْكَرَ مِنْهُ شَيْئًا غَيْرَ أَنَّهُ قَالَ أَسَمَّتْ لَكَ الرَّجُلَ الَّذِي كَانَ مَعَ الْعَبَّاسِ قُلْتُ لَا قَالَ هُوَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Yunus] berkata, telah menceritakan kepada kami [Za’idah] dari [Musa bin Abu Aisyah] dari [‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin ‘Utbah] berkata, “Aku masuk menemui [‘Aisyah] aku lalu berkata kepadanya, “Maukah engkau menceritakan kepadaku tentang peristiwa yang pernah terjadi ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang sakit?” ‘Aisyah menjawab, “Ya. Pernah suatu hari ketika sakit Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam semakin berat, beliau bertanya: “Apakah orang-orang sudah shalat?” Kami menjawab, “Belum, mereka masih menunggu tuan.” Beliau pun bersabda: “Kalau begitu, bawakan aku air dalam bejana.” Maka kami pun melaksanakan apa yang diminta beliau. Beliau lalu mandi, lalu berusaha berdiri dan berangkat, namun beliau jatuh pingsan. Ketika sudah sadarkan diri, beliau kembali bertanya: “Apakah orang-orang sudah shalat?” Kami menjawab, “Belum wahai Rasulullah, mereka masih menunggu tuan.” Kemudian beliau berkata lagi: “Bawakan aku air dalam bejana.” Beliau lalu duduk dan mandi. Kemudian beliau berusaha untuk berdiri dan berangkat, namun beliau jatuh pingsan lagi. Ketika sudah sadarkan diri kembali, beliau berkata: “Apakah orang-orang sudah shalat?” Kami menjawab lagi, “Belum wahai Rasulullah, mereka masih menunggu tuan.” Kemudian beliau berkata lagi: “Bawakan aku air dalam bejana.” Beliau lalu duduk dan mandi. Kemudian beliau berusaha untuk berdiri dan berangkat, namun beliau jatuh dan pingsan lagi. Ketika sudah sadarkan diri, beliau pun bersabda: “Apakah orang-orang sudah shalat?” Saat itu orang-orang sudah menunggu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di masjid untuk shalat ‘Isya di waktu yang akhir. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seseorang untuk menemui Abu Bakar dan memintanya untuk mengimami shalat. Maka utusan tersebut menemui Abu Bakar dan berkata, kepadanya, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan anda untuk mengimami shalat jama’ah!” Lalu Abu Bakar -orang yang hatinya lembut- berkata, “Wahai ‘Umar, pimpinlah orang-orang melaksanakan shalat.” Umar menjawab, “Anda lebih berhak dalam masalah ini.” Maka Abu Bakar memimpin shalat pada hari-hari sakitnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut. kemudian ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendapati tubuhnya lebih segar, beliau pun keluar rumah sambil berjalan dipapah oleh dua orang laki-laki, satu diantaranya adalah ‘Abbas untuk melaksanakan shalat Zhuhur. Ketika itu Abu Bakar sedang mengimami shalat, ketika ia melihat beliau datang, Abu Bakar berkehendak untuk mundur dari posisinya namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberi isyarat supaya dia tidak mundur. Kemudian beliau bersabda: “Dudukkanlah aku disamping nya.” Maka kami mendudukkan beliau di samping Abu Bakar.” Perawi berkata, “Maka jadilah Abu Bakar shalat dengan mengikuti shalatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sementara orang-orang mengikuti shalatnya Abu Bakar, dan saat itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat sambil duduk”. ‘Ubaidullah berkata, “Aku menemui ‘ [Abdullah bin ‘Abbas] dan berkata kepadanya, “Maukah anda saya ceritakan sebuah hadits tentang sakitnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seperti yang disampaikan ‘Aisyah?” Dia menjawab, “Sampaikanlah!” Maka aku ceritakan hadits yang disampaikan ‘Aisyah. ‘Abdullah bin ‘Abbas tidak mengingkari sedikitpun apa yang aku ceritakan selain dia bertanya kepadaku, “Apakah ‘Aisyah menyebutkan nama laki-laki yang bersama ‘Abbas? Aku menjawab, “Tidak.” Ia pun berkata, “Dia adalah ‘Ali bin Abu Thalib.”

Keterangan Hadis: Adapun pembahasan hadits Aisyah yang pertama telah disebutkan pada bab, ”Batasan Orang Sakit untuk Menghadiri Shalat Berjamaah”.

فَأُغْمِيَ عَلَيْهِ (maka beliau pingsan) Di sini terdapat keterangan bahwa “pingsan” bisa saja dialami oleh para nabi, karena hal ini mirip dengan tidur. Imam An-Nawawi berkata, ”Pingsan bukanlah hal mustahil bagi para nabi, karena ia adalah salah satu penyakit. Berbeda dengan gila, dimana hal ini mustahil dialami para nabi, sebab gila merupakan sifat kekurangan.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 401 – Kitab Shalat

يَنْتَظِرُونَ النَّبِيّ عَلَيْهِ السَّلَام لِصَلَاةِ الْعِشَاء (mereka menunggu Nabi alaihissalaam untuk shalat Isya’) Dalam riwayat Al Mustamli dan As­ Sarakhsi dikatakan, لِصَلَاةِ الْعِشَاء الْآخِرَة (Untuk shalat Isya’ yang terakhir). Adapun penjelasannya, “Mungkin perawi menanyakan shalat yang dimaksud dalam sabda beliau SAW, ‘Apakah manusia telah shalat?’ Maka dijelaskan kepadanya, ‘Shalat Isya’ yang akhir’. Yakni, shalat yang dimaksud oleh Nabi SAW dengan sabdanya itu adalah shalat Isya’ yang akhir.’[1]

لِصَلَاةِ الظُّهْر (untuk shalat Zhuhur) Hal ini sangat tegas menyatakan bahwa shalat yang dimaksud adalah shalat Zhuhur. Namun sebagian ulama menyatakan bahwa shalat tersebut adalah shalat Subuh, mereka mendukung pendapat ini dengan lafazh dalam riwayat Arqam bin Syarahbil dari Ibnu Abbas, وَأَخَذَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقِرَاءَة مِنْ حَيْثُ بَلَغَ أَبُو بَكْر (Rasulullah SAW memulai bacaan dari ayat dimana Abu Bakar mengakhiri bacaannya). Ini adalah lafazh Ibnu Majah dan sanadnya hasan. Akan tetapi untuk menetapkan hal itu berdasarkan riwayat ini perlu ditinjau kembali, sebab ada kemungkinan beliau SAW hanya mendengar ayat yang dibaca oleh Abu Bakar setelah beliau SAW berada di dekatnya.

Sementara kebiasaan beliau SAW terkadang memperdengarkan ayat dalam shalat-shalat sirriyah, seperti akan disebutkan pada hadits Abu Qatadah. Kemudian meski diterima bahwa beliau mendengar bacaan Abu Bakar secara keseluruhan, tetapi tetap tidak dapat dijadikan sebagai dalil bahwa shalat yang dilakukan saat itu adalah shalat Subuh. Bahkan ada kemungkinan shalat yang dimaksud adalah shalat Maghrib, karena telah diriwayatkan dalam kitab Shahih Bukhari dari Shahih Muslim dari Ummu Fadhl binti Al Harits, “Aku mendengar Rasulullah SAW membaca surah ‘wal mursalaati urfaa‘ pada shalat Maghrib, kemudian beliau tidak pernah lagi shalat mengimami kami hingga beliau meninggal dunia.” Ini adalah lafazh riwayat Bukhari, seperti akan disebutkan pada bab “Wafatnya Nabi SAW” di bagian akhir pembahasan tentang Al Maghazi (peperangan).

Akan tetapi saya menemukan dalam riwayat An-Nasa’i bahwa shalat yang disebutkan oleh Ummu Fadhl tersebut berlangsung di rumah beliau SAW. Imam Asy-Syafi’i telah menegaskan bahwa beliau SAW tidak shalat mengimami manusia di masjid pada saat sakit melainkan satu kali saja, yaitu shalat yang beliau lakukan sambil duduk dimana pada awalnya Abu Bakar sebagai imam, namun kemudian menjadi makmum untuk memperdengarkan takbir kepada manusia.

Hadits di atas telah dijadikan dalil bahwa menunjuk pengganti imam rawatib (tetap) -apabila imam rawatib sedang sakit- lebih utama daripada sang imam rawatib shalat mengimami manusia sambil duduk, karena sesungguhnya beliau SAW menunjuk Abu Bakar untuk shalat menjadi imam shalat, dan beliau SAW tidak shalat mengimami mereka sambil duduk kecuali hanya satu kali.

Hadits ini dijadikan pula sebagai dalil sahnya shalat imam yang duduk karena suatu halangan, baik makmumnya duduk atau berdiri. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Imam Malik (sebagaimana pandangan yang masyhur darinya) dan Muhammd bin Al Hasan seperti dinukil oleh Ath-Thahawi. Lalu dinukil pula dari Imam Malik bahwa yang demikian itu khusus bagi Nabi SAW, dengan alasan hadits Jabir dari Sya’bi dari Nabi SAW, (Janganlah salah seorang di antara kamu setelahku menjadi imam shalat dengan duduk). Tapi landasan argumentasi ini dibantah oleh Imam Syafi’i, “Orang yang menggunakan hadits ini sebagai dalil telah mengetahui bahwa ia tidak dapat dijadikan hujjah karena termasuk hadits mursal. Di samping itu, hadits ini diriwayatkan oleh perawi yang para ahli ilmu menghindar untuk menukil riwayat darinya, yakni Jabir Al Ju’fi.” Sementara Ibnu Bazizah berkata, “Seandainya hadits itu shahih, tapi tetap tidak mempunyai hujjah untuk melarang imam shalat sambil duduk, sebab bisa saja hadits itu bermakna, ‘Janganlah salah seorang di antara kamu mengimami orang yang duduk’. Yakni lafazh, ‘jaalisan‘ pada hadits dipahami berkedudukan sebagai maf’ul (objek penderita), bukan sebagai haal (keterangan keadaan).”

Al Qadhi Iyadh menukil dari salah seorang syaikhnya bahwa hadits tersebut mengandung penghapusan (nasakh) perintah beliau SAW untuk duduk ketika para sahabat shalat di belakangnya dengan berdiri. Tapi pernyataan ini dikritik, karena bila demikian halnya akan membutuhkan pengetahuan mana di antara keduanya yang lebih dahulu, padahal keterangan mengenai hal itu tidak ada Hanya saja sebagian mengklaim bahwa pandangan tadi menjadi kuat dengan didukung oleh sikap para khulafa ‘urrasyidin (para khalifah yang mendapat petunjuk), dimana tidak seorang pun di antara mereka yang melakukannya.[2] Syaikh itu berkata pula, “Pernyataan nasakh (penghapusan hukum) tidak ada lagi setelah wafatnya Nabi SAW, akan tetapi sikap para sahabat yang tidak pernah melakukan hal itu mendukung keautentikan hadits tadi.”

Namun pernyataan ini kembali ditanggapi bahwa tidak adanya penukilan mengenai hal itu bukan berarti tidak pernah terjadi. Meskipun terbukti bahwa para sahabat tidak pernah menjadi imam sambil duduk, namun ini tidak dapat dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa hal itu tidak diperbolehkan, sebab ada kemungkinan mereka lebih memilih untuk menunjuk imam pengganti yang mampu berdiri karena adanya kesepakatan bahwa shalat imam yang berdiri untuk makmum yang berdiri adalah lebih utama daripada shalat imam yang duduk sementara para makmum berdiri. Hal ini sudah cukup sebagai penjelasan tentang faktor yang menyebabkan mereka tidak menjadi Imam shalat dengan duduk.

Pendukung pendapat yang tidak membolehkan imam shalat dengan duduk mengemukakan alasan, bahwa Nabi SAW shalat mengimami para sahabat dengan duduk karena tidak ada orang yang mendahului beliau SAW berdasarkan larangan Allah SWT akan hal itu. Karena para imam adalah pemberi syafaat, maka tidak ada seorang pun yang dapat memberi syafaat kepadanya. Tapi perkataan ini tertolak dengan perbuatan Nabi SAW yang shalat bermakmum kepada Abdurrahman bin Auf. Telah terbukti pula bahwa beliau SAW pernah shalat bermakmum kepada Abu Bakar seperti telah kami jelaskan.

Satu hal yang cukup mengherankan, bahwasanya landasan Imam Malik untuk tidak membolehkan seseorang menjadi imam shalat dengan duduk adalah perkataan Rabi’ah, “Sesungguhnya Nabi SAW menjadi makmum di belakang Abu Bakar.” Juga pengingkaran beliau bahwa Nabi SAW tidak shalat mengimami manusia sambil duduk ketika sakit, seperti dinukil oleh Imam Syafi’i dalam kitab Al Umm.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 603 – Kitab Adzan

Perbuatan Nabi SAW yang shalat di belakang Abu Bakar menjelaskan bahwa maksud larangan untuk tidak mendahului beliau SAW adalah dalam masalah selain imamah (kepemimpinan). Adapun yang dimaksud para imam adalah pemberi syafaat, yakni bagi mereka yang butuh syafaat. Meskipun riwayat-riwayat tadi menunjukkan bahwa tidak seorang pun diperbolehkan mengimami beliau SAW, namun hal itu tidak menunjukkan larangan untuk mengimami shalat orang-orang dengan duduk.

Sementara itu sejumlah sahabat mengimami shalat dengan duduk sepeninggal Nabi SAW, di antaranya adalah Usaid bin Hudhair, Jabir, Qais bin Fahd serta Anas bin Malik. Mayoritas sanad riwayat yang dinukil dari mereka dalam hal ini adalah shahih, seperti dikutip oleh Abdurrazzaq, Sa’id bin Manshur, lbnu Abi Syaibah dan selain mereka. Bahkan Ibnu Hibban dan selainnya mengklaim bahwa sahabat telah sepakat tentang sahnya shalat imam sambil duduk, seperti yang akan disebutkan.

Abu Bakar Al Arabi berkata, “Tidak ada jawaban bagi para ulama dalam madzhab kami terhadap hadits tentang “sakitnya Nabi SAW” yang dapat selamat saat diteliti, untuk itu mengikuti Sunnah adalah lebih utama. Sementara itu, pembatasan cakupan suatu nash berdasarkan kemungkinan tidak dapat diterima.” Beliau berkata pula, “Hanya saja saya mendengar sebagian syaikh mengatakan, ‘Keadaan merupakan salah satu faktor yang dapat membatasi cakupan suatu nash, sementara keadaan Nabi SAW dan berkahnya mengharuskan seseorang untuk tetap shalat di belakangnya bagaimanapun kondisinya. Hal ini tidak berlaku bagi selain beliau. Begitu pula kekurangan pada orang yang shalat dengan duduk dibanding orang yang shalat dengan berdiri tidak berlaku pada diri beliau SAW, namun berlaku pada selainnya’ .”

Jawaban masalah pertama adalah menolaknya berdasarkan keumuman sabda beliau SAW, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” Adapun untuk masalah kedua dikatakan, “Sesungguhnya kekurangan yang dimaksud hanya berlaku bagi mereka yang mampu berdiri namun ia melaksanakan shalat sunah dengan duduk. Adapun bagi mereka yang berhalangan untuk berdiri saat melaksanakan shalat fardhu, maka tidak ada kekurangan jika dibandingkan dengan orang yang shalat dengan berdiri.”

Hadits bab ini telah dijadikan dalil penghapusan (nasakh) sabda Nabi SAW yang memerintahkan makmum duduk di saat imam shalat sambil duduk, karena di sini beliau SAW tidak mengingkari para sahabat yang shalat dengan berdiri ketika menjadi makmum, sementara beliau sendiri shalat dengan duduk. Demikian Imam Syafi’i menetapkannya. Begitu juga Imam Bukhari menukil pada bagian akhir bab ini dari syaikhnya Al Humaidi, murid Imam Syafi’i. Ini pula pendapat yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf serta Al Auza’i, dan dinukil oleh Al Walid bin Muslim dari Imam Malik.

Sementara itu, Imam Ahmad mengingkari bila perintah tersebut telah dihapus (mansukh). Dia memahami kedua versi hadits ini dengan menempatkan pada dua keadaan yang berbeda. Keadaan pertama, apabila imam rawatib (tetap) memulai shalat dengan duduk karena sakit yang masih diharapkan akan sembuh, maka makmum juga shalat dengan duduk. Keadaan kedua, apabila imam rawatib memulai shalat dengan berdiri, maka makmum wajib shalat dengan berdiri; baik kemudian terjadi suatu hal yang mengharuskan imam duduk ataupun imam tetap berdiri sampai akhir shalat, seperti tercantum dalam hadits-hadits tentang wafatnya Nabi SAW.

Sesungguhnya sikap beliau SAW yang menyetujui tindakan mereka untuk tetap berdiri menunjukkan bahwa mereka tidak wajib duduk pada kondisi demikian, karena pada peristiwa ini Abu Bakar memulai shalat sambil berdiri dan para makmum shalat bersamanya sambil berdiri. Berbeda dengan kondisi pertama, dimana beliau SAW memulai shalat dengan duduk. Ketika mereka shalat di belakangnya dengan berdiri, maka beliau SAW mengingkarinya. Cara mengompromikan yang dikemukakan oleh Imam Ahmad ini diperkuat oleh kaidah bahwa hukum asal bagi suatu nash adalah tetap berlaku (tidak di-nasakh ), terutama dalam persoalan ini membutuhkan pernyataan bahwa penghapusan (nasakh) hukum tersebut berlangsung dua kali. Sebab, hukum asal bagi yang mampu berdiri adalah hendaknya ia shalat dengan berdiri, lain hal ini dihapus dan diperbolehkan untuk duduk bagi mereka yang imamnya shalat dengan duduk. Untuk itu klaim bahwa bolehnya shalat dengan duduk setelah itu berarti ada penghapusan (nasakh) sebanyak dua kali, tentu saja hal ini cukup jauh dari yang sebenamya Namun lebih fatal lagi apa yang dinukil oleh Al Qadhi Iyadh, dimana hal ini berkonsekuensi terjadinya penghapusan hukum (nasakh) sebanyak tiga kali.

Pendapat Imam Ahmad ini diterima oleh sejumlah ahli hadits di kalangan madzhab Syafi’i, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Mundzir dan Ibnu Hibban. Lalu mereka menjawab hadits di bab ini dengan beberapa jawaban lain, di antaranya perkataan Ibnu Khuzaimah, “Sesungguhnya tidak ada perbedaan antara hadits-hadits tentang perintah agar makmum shalat dengan duduk mengikuti imam yang duduk, baik dari segi ke-shahih-an maupun lafazhnya. Adapun shalatnya Nabi SAW dengan duduk diperselisihkan apakah saat itu beliau sebagai imam atau makmum.” Kemudian dia menegaskan, “Semua yang tidak diperselisihkan tidak pantas untuk ditinggalkan hanya karena sesuatu yang masih diperselisihkan.” Namun perselisihan yang dimaksud tidak dapat diterima apabila kita memahami bahwa beliau SAW shalat sebagai imam dan pada kali yang lain sebagai makmum.

Jawaban lainnya, bahwa sebagian mereka mengompromikan antara dua kisah yang ada dengan cara memahami bahwa perintah untuk shalat dengan duduk adalah berindikasi sunah, sementara sikap beliau SAW yang menyetujui para sahabat untuk melaksanakan shalat dengan berdiri saat beliau SAW mengimami mereka sambil duduk adalah untuk menjelaskan bahwa hal itu diperbolehkan. Berdasarkan hal ini maka makmum yang shalat di belakang imam yang duduk boleh memilih antara berdiri atau duduk, namun shalat sambil duduk pada kondisi tersebut lebih utama karena adanya perintah untuk mengikuti imam, serta banyaknya hadits-hadits yang berbicara mengenai hal itu. Kemudian Ibnu Khuzaimah menjawab pandangan yang menganggap hal tersebut jauh dari yang sebenarnya, dengan mengatakan bahwa perintah mengenai hal itu langsung dari Nabi SAW dan diamalkan oleh para sahabat baik pada masa Nabi SAW masih hidup ataupun sesudah beliau wafat.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 317-319 – Kitab Haid

Abdurrazzaq meriwayatkan dengan sanad shahih, dari Qais bin Fahd Al Anshari, (Sesungguhnya imam mereka menderita sakit pada masa Nabi SAW masih hidup, maka beliau mengimami kami dengan duduk dan kami pun duduk).

lbnu Al Mundzir meriwayatkan dengan sanad shahih dari Usaid bin Hudhair bahwa dia biasa shalat mengimami kaumnya, lalu dia menderita sakit. Setelah sembuh, dia keluar menemui kaumnya dan mereka pun menyuruhnya untuk shalat sebagai imam, maka dia berkata, (Sesungguhnya aku tidak mampu untuk shalat dengan berdiri, maka hendaklah kalian duduk. Dia pun shalat dengan duduk dan para makmum ikut duduk).”

Abu Daud meriwayatkan melalui jalur lain dari Usaid bin Hudhair bahwa dia berkata, (Wahai Rasulullah, sesungguhnya imam kami sedang sakit. Maka beliau bersabda, “Apabila dia shalat dengan duduk, maka hendaklah kalian shalat dengan duduk). Namun sanad hadits ini munqathi’ (terputus).

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad shahih dari Jabir bahwasanya dia sakit. Lalu waktu shalat tiba, maka dia shalat mengimami mereka dengan duduk dan mereka pun shalat bersamanya dengan duduk.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa dia berfatwa seperti itu, dimana keterangan ini dinukil melalui jalur yang shahih.

Ibnu Mundzir mengatakan, bahwa sudah menjadi konsekuensi bagi mereka yang mengatakan bahwa sahabat lebih mengetahui tentang tafsir riwayat yang dinukilnya, hendaknya mereka membolehkan makmum untuk duduk apabila imam shalat dengan duduk, karena Abu Hurairah dan Jabir telah meriwayatkan hadits tersebut lalu mereka mengamalkannya bahkan berfatwa seperti itu setelah Nabi SAW wafat. Demikian pula mereka yang berpandangan bahwa apabila perbuatan sahabat berbeda dengan apa yang diriwayatkannya, maka yang dljadikan pegangan adalah riwayat bukan perbuatannya. Maka menjadi konsekuensi bagi mereka untuk membolehkan hal tersebut, karena di sini amalan sahabat tidak menyelisihi riwayat yang dinukilnya, bahkan di sini amalannya sesuai dengan riwayatnya.

Sedangkan Ibnu Hibban telah menukil adanya ijma’ sahabat yang membolehkan makmum shalat dengan duduk pada saat imam shalat dengan duduk. Namun seakan yang dimaksud adalah ‘ijma sukuti‘,[3] karena di sini beliau menukil pandangan empat orang sahabat yang telah disebutkan lalu dia berkata, “Sesungguhnya tidak dikenal dari seorang pun sahabat yang menyelisihi pandangan keempat sahabat tadi, baik melalui jalur yang shahih maupun jalur yang dha’if (lemah).” Hal senada dikemukakan oleh Ibnu Hazm bahwa tidak seorang pun sahabat yang diketahui menyelisihi hal tersebut.

Kemudian dia mempertanyakan keautentikan riwayat yang menyatakan bahwa para sahabat shalat di belakang Nabi SAW dengan berdiri sementara beliau SAW shalat dengan duduk, selain Abu Bakar. Dia mengatakan, “Karena hal tersebut tidak pernah dinukil dengan pemyataan yang tegas,” lalu dia membahasnya dengan panjang lebar dan tidak ada hasilnya Keberadaan riwayat yang dia nafikan itu telah dinyatakan secara tegas oleh Imam Syafi’i, “Sesungguhnya hal itu terdapat dalam riwayat Ibrahim, dari Al Aswad, dari Aisyah.”

Saya (Ibnu Hajar) mendapatkan keterangan yang tegas mengenai hal itu dalam kitab Mushannaf Abdurrazzaq, dari Ibnu Juraij, (Nabi SAW shalat dengan duduk dan Abu Bakar di belakangnya, berada di antara beliau SAW dan orang-orang, dan orang-orang shalat dengan berdiri di belakang Abu Bakar). Riwayat ini berstatus mursal, namun kekuatan hukumnya didukung oleh riwayat yang disebutkan secara mu’allaq oleh Imam Syafi’i dari An­ Nakha’i. Pendapat ini pula yang menjadi konsekuensi logika, karena mereka memulai shalat sambil berdiri bersama Abu Bakar tanpa ada perbedaan mengenai hal itu. Maka barangsiapa yang mengatakan bahwa setelah itu mereka duduk, hendaknya ia mengemukakan dalil yang menguatkannya.

Saya melihat Ibnu Hibban mendukungnya -bahwa para sahabat duduk setelah mereka berdiri- dengan riwayat yang dinukil  dari jalur Abu Zubair, dari Jabir, ia berkata, (Rasulullah SAW menderita sakit, maka kami pun shalat di belakangnya sementara beliau SAW duduk, dan Abu Bakar memperdengarkan takbir Rasulullah SAW kepada manusia. Jabir berkata, “Lalu beliau SAW menengok ke arah kami dan beliau melihat kami berdiri, maka beliau mengisyaratkan kepada kami agar duduk. Ketika telah salam beliau SAW bersabda, ‘Hampir-hampir kalian melakukan perbuatan bangsa Persia dan Romawi, janganlah kalian melakukannya’.)”. (Al Hadits)

Hadits ini shahih dan diriwayatkan pula oleh Imam Muslim. Akan tetapi peristiwa ini terjadi bukan pada saat beliau SAW sakit yang menyebabkan kepada kematiannya. Bahkan kejadian itu adalah ketika beliau terjatuh dari kuda seperti diriwayatkan oleh Abu Sufyan dari Jabir, dia berkata, (Rasulullah SAW menunggang kuda di Madinah, lalu beliau terlempar dari kuda tersebut ke batang kurma, maka kakinya terluka). Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad shahih.

Berdasarkan keterangan ini maka hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah (landasan argumentasi) untuk mendukung apa yang dia (Ibnu Hibban) katakan. Hanya saja dia berpegang dengan lafazh riwayat Abu Zubair, (Dan Abu Bakar memperdengarkan takbir kepada manusia).


[1] Bangsa Arab biasa menamakan shalat maghrib dengan shalat Isya’ yang pertama, dan shalat Isya · seperti yang kita kenal saat ini adalah shalat Isya · yang terakhir -penerj.

[2] yakni mereka tidak pernah menjadi imam sambil duduk -penerj.

[3] ljma sukuti adalah kesepakatan yang disimpulkan dari tidak adanya pengingkaran. Misalnya seorang sahabat atau ulama mengemukakan suatu pandangan kemudian pandangan tersebut tersebar, namun tidak seorang pun sahabat atau ulama Jain yang mengingkarinya. Wallahu a’lam -penerj.

M Resky S