Hadits Shahih Al-Bukhari No. 647 – Kitab Adzan

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 647 – Kitab Adzan ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Sesungguhnya Dijadikannya Imam Adalah Untuk Diikuti” Hadis dari Aisyah ini menjelaskan dia berkata, “Rasulullah saw shalat di rumahnya saat beliau dalam keadaan sakit. Beliau shalat dengan duduk sementara orang-orang shalat dengan berdiri di belakangnya. Maka beliau mengisyaratkan kepada mereka -yang maknanya- hendaklah kalian duduk. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 4 Kitab Adzan. Halaman 291-296.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّهَا قَالَتْ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِهِ وَهُوَ شَاكٍ فَصَلَّى جَالِسًا وَصَلَّى وَرَاءَهُ قَوْمٌ قِيَامًا فَأَشَارَ إِلَيْهِمْ أَنْ اجْلِسُوا فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Abdullah bin Yusuf] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Malik] dari [Hisyam bin ‘Urwah] dari [Bapaknya] dari [‘Aisyah] Ummul Mukminin, bahwa ia berkata, “Saat sakit Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat di rumahnya sambil duduk. Dan segolongan kaum shalat di belakang beliau dengan berdiri. Maka beliau memberi isyarat kepada mereka agar duduk. Ketika shalat sudah selesai beliau bersabda: “Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti, apabila dia rukuk maka rukuklah kalian, bila dia mengangkat kepalanya maka angkatlah kepala kalian. Dan bila dia shalat dengan duduk, maka shalatlah kalian dengan duduk.”

Keterangan Hadis: فِي بَيْته (di rumahnya) Yakni di tingkat atas kamar Aisyah seperti yang dijelaskan Abu Sufyan dari Jabir. Hal ini menunjukkan bahwa shalat tersebut tidak dilakukan di masjid, beliau SAW shalat di rumahnya bersama orang-orang yang hadir. Tetapi tidak pernah dinukil bahwa beliau SAW menunjuk pengganti untuk mengimami shalat di masjid. Berdasarkan hal ini maka Al Qadhi lyadh berkata, “Secara lahiriah, beliau SAW shalat di kamar Aisyah, lalu orang-­orang yang hadir di tempat itu dan orang-orang yang berada di masjid menjadi makmum.” Apa yang dia katakan ini ada kemungkinan benar. Namun ada pula kemungkinan beliau SAW menunjuk orang yang menggantikannya, meskipun hal itu tidak dinukil.

Kemungkinan pertama berkonsekuensi bolehnya imam shalat di tempat yang lebih tinggi daripada tempat makmum, sementara madzhab Iyadh tidak membolehkan hal itu. Tapi bisa saja dia mengatakan bahwa larangan tersebut terletak apabila tidak ada seorang pun bersama imam di tempatnya yang tinggi itu, sementara pada kisah ini beliau SAW bersama beberapa sahabat.

فَصَلَّى جَالِسًا (maka beliau shalat sambil duduk) Al Qadhi Iyadh berkata, “Ada kemungkinan sebagian anggota badan beliau SAW mengalami retak akibat terjatuh, sehingga beliau tidak bisa berdiri.”

Saya (Ibnu Hajar) katakan, “Sebenarnya tidak demikian, bahkan kaki beliau SAW yang terluka seperti dijelaskan dalam riwayat Bisyr bin Al Mufadhal, dari Humaid, dari Anas yang dikutip oleh Al Ismaili. Demikian pula yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Khuzaimah, dari riwayat Abu Sufyan, dari Jabir, seperti telah kami sebutkan. Adapun lafazh yang terdapat dalam riwayat Az-Zuhri dari Anas bin Malik, “Maka badannya bagian kanan terluka”, dan dalam riwayat Yazid bin Humaid dari Anas, “Betisnya terluka”, seperti disebutkan pada bab, “Shalat di Atas Atap”. Semua ini tidak menafikan riwayat yang mengatakan bahwa kaki beliau SAW terluka, sebab ada kemungkinan semua bagian tersebut mengalami cedera. Dalam riwayat .Imam Bukhari pada bab, “Bergerak Turun Sambil Takbir” melalui riwayat Sufyan, dari Zuhri, dari Anas, dimana Sufyan berkata, “Aku menghafal dari Zuhri, ‘Badannya bagian kanan ‘.” Ketika kami keluar, Ibnu Juraij berkata, “Betisnya bagian kanan.”

Baca Juga:  Apa Maksud Hadits: Wanita Tercipta dari Tulang Rusuk Pria?

Saya (Ibnu Hajar) katakan, riwayat Ibnu Juraij diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, dan ia bukan karena kesalahan seperti yang dikatakan oleh sebagian orang, karena riwayat ini sesuai dengan riwayat Humaid yang telah disitir. Bahkan sesungguhnya riwayat ini menjelaskan secara spesifik bagian yang terluka, yang pada riwayat sebelumnya dikatakan pada badan bagian kanan, tentu saja yang terluka bukan seluruh badannya bagian kanan.

Ringkasnya, sesungguhnya Aisyah tidak menyebutkan sebab sakit beliau SAW, sementara Jabir dan Anas menjelaskannya, yakni karena terjatuh dari kuda. Lalu Jabir menyebutkan penyebabnya sehingga beliau SAW shalat sambil duduk, yaitu karena luka di bagian kaki. Sedangkan Ibnu Hibban memberi keterangan bahwa peristiwa ini berlangsung pada bulan Dzulhijjah tahun kelima hijriyah.

وَصَلَّى وَرَاءَهُ قَوْمٌ قِيَامًا (dan orang-orang shalat di belakangnya sambil berdiri) Dalam riwayat Imam Muslim dari jalur Abdah, dari Hisyam disebutkan, فَدَخَلَ عَلَيْهِ نَاس مِنْ أَصْحَابه يَعُودُونَهُ (Maka masuk beberapa orang sahabatnya untuk menjenguknya). Sebagian nama mereka telah disebutkan dalam beberapa hadits, di antaranya Anas seperti pada hadits berikutnya yang terdapat dalam riwayat Al Ismaili, Jabir seperti yang terdahulu, Abu Bakar seperti pada hadits Jabir, dan Umar seperti pada riwayat Al Hasan yang dinukil melalui jalur mursal oleh Abdurrazzaq.

إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَام لِيُؤْتَمَّ بِهِ (Sesungguhnya dijadikannya imam adalah untuk diikuti) Al Baidhawi dan ulama lainnya berkata, “Kata Al l’timam berarti mencontoh dan mengikuti, yakni imam itu diangkat untuk dicontoh dan diikuti. Sedangkan kebiasaan pengikut adalah tidak mendahului orang yang diikuti atau pun menyamainya, bahkan seharusnya memperhatikan keadaan orang yang diikuti serta melakukan seperti apa yang ia lakukan sesudahnya. Sebagai konsekuensinya, hendaknya orang yang mengikuti tidak menyelisihinya dalam semua kondisi.

Imam An-Nawawi serta ulama lainnya berkata, “Mengikuti imam adalah wajib dalam segala perbuatan yang nampak, dan hal itu telah disebutkan dalam hadits. Berbeda dengan niat, dimana ia tidak disebutkan namun ditetapkan berdasarkan dalil lain.” Sepertinya yang beliau maksudkan adalah kisah Mu’adz berikut ini. Namun mungkin pula hadits ini dijadikan dalil bahwa niat tidak termasuk hal yang harus diikuti, karena hadits ini membatasi dalam perbuatan yang mesti diikuti bukan dalam segala keadaannya; seperti apabila ia berhadats atau membawa najis, dimana shalat orang yang bermakmum kepadanya dianggap sah menurut pandangan yang shahih di kalangan ulama. Kemudian terlepas dari kewajiban untuk mengikuti, sesungguhnya tidak ada yang menjadi syarat sahnya mengikuti kecuali takbiratul ihram (takbir yang pertama). Namun terjadi perbedaan pendapat tentang bermakmum.[1]

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 117 – Kitab Ilmu

Adapun yang masyhur di kalangan madzhab Maliki bahwa hal itu juga dipersyaratkan bersama takbiratul ihram dan berdiri dari tasyahud pertama. Sementara para ulama madzhab Hanafi mengemukakan pendapat yang berbeda, mereka berkata, “Cukuplah mengiringinya.” Mereka berkata pula, “Karena makna bermakmum adalah menyamai. Barangsiapa melakukan seperti apa yang dilakukan oleh imamnya, maka dianggap menyamainya.” Dalam bab berikutnya akan diterangkan dalil yang mengharamkan mendahului imam dalam rukun-rukun shalat.

فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا (Apabila ia ruku maka rukulah) lbnu Al Manayyar berkata, “Konsekuensinya bahwa makmum ruku’ setelah imam ruku, baik telah sempurna rukunya atau didahului oleh imam di awal gerakan dan langsung diikutinya.” Dia juga mengatakan bahwa hadits Anas lebih lengkap daripada hadits Aisyah, karena dalam hadits Anas ditambahkan pula mengikuti dalam perkataan.

Saya (lbnu Hajar) katakan, keterangan tambahan yang dimaksud, yakni lafazh “Apabila imam mengucapkan sami’allahu liman hamidah…” juga tercantum dalam hadits Aisyah. Sementara itu dalam riwayat Al-Laits dari Zuhri, dari Anas, tercantum tambahan lain dalam hal perkataan, yaitu sabda beliau SAW pada bagian awalnya, فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا (Apabila ia (imam) takbir maka hendaklah kalian takbir) sebagaimana akan disebutkan pada bab, “Kewajiban Takbir”. Demikian pula dalam riwayat Al A’raj dari Abu Hurairah.

Dalam riwayat Abdah dari Hisyam dalam pembahasan tentang Ath-Thibb (pengobatan) terdapat tambahan lafazh, وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا ، وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا (Apabila ia bangkit hendaklah kalian bangkit, dan apabila ia sujud, maka hendaklah kalian sujud). Hal ini mencakup bangkit dari ruku’ dan bangkit dari semua sujud. Tambahan seperti ini tercantum pula dalam hadits Anas yang tersebut di bab ini. Sementara itu Aisyah, Anas dan Jabir telah menyepakati Abu Hurairah dalam meriwayatkan hadits ini, kecuali kisah yang terdapat pada bagian awalnya. Hadits yang dimaksud dinukil melalui beberapa jalur periwayatan dalam kitab Shahih Muslim, di antaranya ada yang disepakati keautentikannya oleh dua syaikh (yakni Imam Bukhari dan Imam Muslim) dari riwayat Hammad dari Abu Hurairah seperti akan disebutkan dalam bab, “Meluruskan Shaf’. Di dalamnya disebutkan semua yang terdapat pada hadits Aisyah dan hadits Anas disertai tambahan. Lalu setelah lafazh, لِيُؤْتَمَّ (Untuk diikuti) diberi tambahan, فَلَا تَخْتَلِفُوا (Maka janganlah kalian berbeda dengannya). Tapi lafazh tambahan ini tidak disebutkan Imam Bukhari dalam riwayatnya dari Abu Zinad, dari Al A’raj melalui jalur Syu’aib dari Abu Zinad pada bah, “Kewajiban Takbir”. Namun hal itu disebutkan oleh As-Siraj, Ath-Thabrani dalam kitab Al Ausath, Abu Nu’aim dalam kitab Al Mustakhraj melalui jalur Abu Al Y aman (guru Imam Bukhari pada riwayat ini), Abu Awanah dari riwayat Bisyr bin Syu’aib dari bapaknya (guru Abu Al Yaman), Imam Muslim dari riwayat Mughirah bin Abdurrahman, serta Al Ismaili dari riwayat Malik dari Warqa’, semuanya dari Abu Zinad (guru Syu’aib).

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 441 – Kitab Shalat

Tambahan ini memberi keterangan bahwa perintah untuk mengikuti imam mencakup semua makmum, dimana tidak cukup dikatakan bermakmum apabila hanya sebagian yang mengikuti imam tanpa yang lain. Dalam riwayat Imam Muslim melalui Al A’masy, dari Abu Shalih disebutkan, لَا تُبَادِرُوا الْإِمَام ، إِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا (Janganlah kalian mendahului imam, apabila ia takbir hendaklah kalian takbir) (Al Hadits). Abu Daud memberi tambahan dalam riwayatnya dari Mush’ab bin Muhammad, dari Abu Shalih, وَلَا تَرْكَعُوا حَتَّى يَرْكَع وَلَا تَسْجُدُوا حَتَّى يَسْجُد (Janganlah kalian ruku hingga ia (imam) ruku dan janganlah kalian sujud hingga ia sujud). Ini merupakan tambahan yang baik, menafikan kemungkinan makna “menyertai” yang terdapat pada sabdanya, إِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا (Apabila ia takbir, maka takbirlah kalian).

Catatan: Ibnu Baththal dan ulama yang sependapat dengannya hingga Ibnu Daqiq Al Id menyatakan bahwa huruf fa’ dalam kalimat, فَكَبِّرُوا (maka takbirlah kalian) berfungsi sebagai ta ‘qib.45 Mereka berkata, “Sebagai konsekuensinya, perbuatan makmum dilakukan langsung setelah imam selesai melakukan gerakannya.” Akan tetapi pendapat ini ditanggapi, bahwa sesungguhnya huruf fa’ yang berfungsi sebagai ta’qib adalah huruf fa’ yang berkedudukan sebagai kata sambung (athaj). Adapun huruf fa’ tersebut tidaklah demikian, bahkan hanya berfungsi untuk menghubungkan kalimat sebelumnya dengan kalimat sesudahnya, karena di sini huruf tersebut menjadi pelengkap kalimat bersyarat.

Berdasarkan hal ini, maka tidak berkonsekuensi mengakhirkan gerakan makmum dari gerakan imam. Akan tetapi riwayat Abu Daud yang dikutip di atas sangat tegas menafikan bolehnya gerakan makmum mendahului gerakan imam atau pun menyertainya, wallahu a’lam.


[1] Dalam manuksrip Ar-Riyadh tertulis, “Salam”.

M Resky S