Hadits Shahih Al-Bukhari No. 75 – Kitab Ilmu

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 75 – Kitab Ilmu ini, menjelaskan keterangan Kapan dibolehkan mendengarkan pendapat anak kecil. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 1 Kitab Ilmu. Halaman 329-332.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو مُسْهِرٍ قَالَ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنِي الزُّبَيْدِيُّ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ مَحْمُودِ بْنِ الرَّبِيعِ قَالَ عَقَلْتُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَجَّةً مَجَّهَا فِي وَجْهِي وَأَنَا ابْنُ خَمْسِ سِنِينَ مِنْ دَلْوٍ

Terjemahan: Telah menceritakan kepadaku [Muhammad bin Yusuf] berkata, Telah menceritakan kepada kami [Abu Mushir] berkata, Telah menceritakan kepadaku [Muhammad bin Harb] Telah menceritakan kepadaku [Az Zubaidi] dari [Az Zuhri] dari [Mahmud bin Ar Rabbi’] berkata: “Aku mengingat dari Nabi, saat Beliau melumuri air ludah Beliau di wajahku, saat itu aku baru berumur lima tahun”.

Keterangan Hadis: عَقَلْتُ (Saya ingat) atau saya hafal.

مَجَّةً (semburan). Perbuatan Nabi terhadap Mahmud bisa jadi hanya bercanda atau untuk memberikan keberkahan kepadanya dengan semburan itu, seperti yang sering beliau lakukan terhadap anak-anak para sahabat.

وَأَنَا ابْنُ خَمْسِ سِنِينَ (Sedangkan saya waktu itu anak yang baru berumur ‘ima tahun). Saya tidak melihat adanya keterkaitan usia dalam penyampaian hadits. baik dalam shahihaini atau pun kitab-kitab kumpulan shahih dan musnad-musnad yang lain, kecuali pada jalur Zubaidi.

Zubaidi adalah seorang yang sangat teliti dalam meriwayatkan hadits dari Zuhri, hingga Al Walid bin Muslim mengatakan, “Sesungguhnya Al Auza’i lebih mengutamakan Zubaidi daripada semua orang yang mendengar dari Zuhri.” Abu Daud mengatakan, “Tidak terdapat kesalahan dalam haditsnya (Zubaidi).”

Sesungguhnya Abdurrahman bin Namir telah menambahkan riwayat yang berasal dari Zuhri. Hanya saja lafazhnya dalam riwayat Thabrani dan Al Khatib dalam kitab Al Kifayah dari jalur Abdurrahman bin Namir dari Zuhri dan yang lain-lain, dimana dia mengatakan, “Saya diberitakan Mahmud bin Arrabi’, ketika Nabi wafat dia baru berumur lima tahun.” Maka dapat dipastikan dari riwayat ini, bahwasanya kejadian yang kita sebutkan terjadi pada akhir hayat Nabi.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 35 - Kitab Iman

Ibnu Hibban dan yang lainnya menyebutkan, bahwa Mahmud bin Arrabi’ meninggal pada tahun 99 setelah Hijrah pada saat umurnya mencapai 94 tahun, hal ini sesuai dengan riwayat di atas. Dalam kitab Al lima’, Qadhi Iyadh dan yang lain-lain menyebutkan bahwa dalam sebagian riwayat dia baru berumur empat tahun. Tapi setelah melakukan penelitian, saya tidak menemukan pernyataan ini secara eksplisit dalam satu riwayat pun kecuali apabila pernyataan tersebut diambil dari perkataan sang pengarang kitab Al Isti db, dimana disebutkan bahwa dia ingat penyemburan itu terjadi pada saat dia berumur empat atau lima tahun.

Sesungguhnya penyebab keraguannya ini adalah kibat perkataan Al Waqidi, dimana dia mengatakan bahwa Mahmud meninggal ketika berumur 93 tahun. Pendapat pertama lebih baik satu, karena sanadnya shahih.

Apabila diperhatikan lebih jauh maka sesungguhnya Al Muhallab telah memberi sanggahan kepada Bukhari, karena beliau di sini tidak menyebutkan dan merujuk kepada hadits Ibnu Zubair yang berkenaan dengan apa yang dilihatnya dari ayahnya di Bani Quraizhah. Pada saat itu dia mendengar riwayat dan ayahnya, sedang umur dia. waktu itu berkisar antara 3 sampai 4 tahun. Oleh karena itu. dia lebih muda dari Mahmud.

Akan tetapi, dalam kisah Mahmud tidak tcre.ipat penegasan bahwa dia pernah mendengarkan sesuatu. Sebab itulah, penyebutan hadits Ibnu Zubair sebenarnya lebih utama daripada kedua hadits yang diriwayatkan secara makna ini. Namun Ibnu Munir menjawab bahwa yang diinginkan oleh Al Bukhari adalah menyampaikan sunnah-sunnah Nabi, bukan keadaan atau peristiwa yang ada.

Dalam menukil hadits bahwa Nabi menyemburkan air ke mukanya, terdapat faidah syar’i yang membuktikan bahwa Mahmud adalah salah seorang sahabat. Adapun dalam kisah Ibnu Zubair, tidak terdapat pesan sunnah Nabawiyah yang dapat memasukkan kisah tersebut ke dalam bah ini. “Menurut saya, “pemilik rumah’lebih mengetahui isi rumahnya. “Inilah jawaban Musaddad.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 53-54 – Kitab Iman

Al Badr Az-Zarkasyi lupa ketika dia mengatakan, bahwa Al Muhallab membutuhkan bukti untuk menyatakan bahwa kisah Ibnu Zubair adalah benar-benar shahih menurut syarat Imam Bukhari.

Bukhari telah meriwayatkan kisah Ibnu Zubair tersebut pada pembahasan “Perangai Zubair” dalam kitab Shahih, dengan demikian kita akan mengetahui jawabannya dengan pasti. Anehnya orang yang mengkritik lalai, sehingga mereka menyangkal dari seorang yang mengkritisi bahwa dia lupa akan kandungan yang terdapat dalam judulnya dan dia menyangkalnya seolah-seolah hal itu tidak disebutkan dalam kitab ini.

مِنْ دَلْوٍ (Dengan satu timba). Imam Bukhari mempunyai lafazh lain dalam bab “Ar-Riqaaq” dari riwayat Ma’mar, yaitu مِنْ دَلْو كَانَتْ فِي دَارِهِمْ (denga n timba yang ada di rumah mereka). Demikian pula dalam riwayat lain dalam bab “Thaharah” dan “Shalat” dan lainnya , Bukhari menyebutkan lafazh مِنْ بِئْر sebagai pengganti دَلْو Kedua hal ini dapat dipadukan, karena air diambil dari dalam sumur dengan menggunakan timba dan Nabi mengambilnya dan dalam timba tersebut.

Dalam hadits ini ada faidah yang belum disebutkan, yaitu diperbolehkannya membawa anak kecil dalam majelis pengajian dan diperbolehkan bagi seorang imam mengunjungi rumah para sahabatnya serta bercanda dengan anak-anak mereka yang masih kecil.

Sebagian mereka berpendapat, bahwa hadits ini menunjukkan tasmi’ (hal mendengarkan) anak yang berumur lima tahun dalam suatu majelis, sedangkan anak yang di bawah lima tahun hanya dikatakan hadir (dalam majelis itu) dan tidak dapat dikatakan mendengar.

Akan tetapi pengertian seperti ini tidak terdapat dalam hadits ini dan juga hadits shahih Bukhari yang lainnya, bahkan menurut Bukhari yang menjadi pijakan dalam hal ini adalah pemahaman. Oleh karena itu. barangsiapa yang memahami objek pembicaraan berarti dia mendengar, meskipun dia anak yang herumur dt bawah lima tahun. Tapi jika dia tidak memahami, maka kita tidak dapat mengatakan bahwa dia telah mendengar.

Baca Juga:  Macam-macam Hadis Dhoif Menurut Para Ulama Hadis, Bagian 1

Ibnu Rasyid mengatakan, “Secara zhahir mereka ingin membatasi umur lima tahun tersebut, karena diperkirakan pada usia itu anak bisa mendengar dengan baik. Ini bukan berarti bahwa umur lima tahun merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi.”

Pendapat yang mirip dengan pendapat Ibnu Rasyid adalah pembatasan yang dilakukan oleh para ulama fikih yang menyatakan bahwa umur tamyiz (yang sudah bisa membedakan mana yang benar dan yang salah) adalah umur 6 atau 7 tahun.

Diantara pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud dalam hal ini adalah pemahaman, maka akan ada perbedaan antara satu orang dengan yang lainnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Khatib dari jalur Abu Ashim.

Dia mengatakan, “Saya pergi bersama anak saya yang berumur 3 tahun menuju Ibnu Juraij dan dia membacakan hadits kepada anak saya, lalu Ibnu Juraij mengatakan, ‘Tidaklah mengapi mengajarkan AJ Qur’an dan hadits kepada anak seusianya.’ Maksudnya apabila dia dapat memahami apa yang disampaikan kepadanya.”

Dalam hai ini kita bisa melihat kisah masyhur tentang Abu Bakar bin Al Maqri Al Hafizh yang mendengarkan seorang anak yang berusia 4 tahun setelah mengujinya untuk menghafal beberapa surah dalam Al Qur’an.

M Resky S