Hal yang Terlupa dan Dilupakan Saat Lebaran

lebaran idul fitri

Pecihitam.org – Tak terasa 30 hari Puasa Ramadhan telah terlewati. Waktu penyucian yang kian menguji iman telah berhasil kita jalani. Rasa amarah berusaha kita tahan, tafakkur ila llah berusaha kita tingkatkan untuk menuju kesucian batin yang kita harapkan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Maka setelah takbir berkumandang, kita merasa bahagia atas segala usaha yang kita lakukan. Rasanya, kita telah berhasil membendung segala bentuk keburukan yang selalu terjalankan. Namun, di hari yang fitri itu, sering kali kita bertingkah salah. Terjebak halusinasi nafsu yang membuat tingkah kita makin tak karuan.

Hari lebaran adalah momen saling memaafkan. Kembali kita merendahkan diri untuk meminta pengampunan dari orang yang tersakiti. Kembali lagi kita menjalin tali silaturrahmi yang mungkin renggang atau terputus karena sebuah alasan. Kita menatap nanar wajahnya dan dengan kesungguhan hati mengucapkan kata maaf.

Alangkah seperti itu baiknya. Namun yang sering terjadi, kita menyapa saudara dengan berat hati terasa. Tangan terulur hati kaku terbujur, mulut mengucapkan maaf tapi tangan, kaki, bahkan seluruh anggota tubuh terus menerus berbuat khilaf. Sifat manusiawi kita kembali meledak, meronta-ronta seolah meminta kita untuk selalu menurutinya untuk membuat Allah murka.

Baca Juga:  Mencontoh Para Perawi Hadis dalam Menyerap dan Menyebarkan Berita

Kondisi ini sering terjadi tanpa kita sadari. Momen Ramadhan dijadikan seagai momen pertaubatan. Dalam bulan itu, kita berlomba-lomba berbuat kebaikan. Tak peduli seberapa besar harta yang kita keluarkan, asalkan untuk kemaslahatan pasti akan kita lakukan. Kita begitu taat akan aturan Tuhan. Semua larangan yang terangkum dalam naskah Al-Qur’an dan Hadits Nabi tidak berani kita jalankan.

Setelah tiba hari lebaran, kita serasa terbebas dari kekangan spiritualis selama bulan Ramadhan. Akibatnya, kita kembali melaksanakan kejahatan. Kita kembali pada zaman dimana nafsu dijadikan sebagai tameng atas setiap keadaan. Dari keadaan yang dahulu sudah suci di bulan Ramadhan, kita kembali ke dalam kegelapan pada hari-hari bulan syawal. 

Dalam prakteknya sendiri, silaturrahmi di bulan syawal kerap kali diwarnai rasa sakit hati. Pertanyaan yang seolah tidak ingin kita jawab, misal status sosial, hubungan pernikahan, hingga pencapaian-pencapaian yang pernah kita dapatkan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut bagai pedang yang mengiris hati yang suci. Kita merasa tersindir, bahkan malu terhadap diri sendiri yang tidak mampu mencapai tingkat kemapaman.

Baca Juga:  Haditsul Ifki dan Logika Pemberitaan Hoax Hari Ini

Karena sudah menjadi warisan, budaya seperti ini selalu menghiasi suasana lebaran. Orang yang berhasil, bisa saja menjadi sombong karena pujian. Begitu pula sebaliknya, orang yang gagal akan dipenuhi bara api yang terus menyala di dalam dada. Akhirnya sifat-sifat inilah yang kadang larut terbawa hingga hari-hari berikutnya.

Seharusnya lebaran dipenuhi oleh sifat syukur karena mampu melangkah pada tahapan spiritual yang luar biasa. Kita bisa bersyukur atas nikmat kesehatan, nikmat bisa bersama denga keluarga, atau nikmat lainnya yang menambah kebahagiaan pada hidup kita. Lebaran bukan ladang untuk pesimistis yang membuat kita larut dalam kesedihan. Akan tetapi, lebaran bukan pula ajang kesombongan yang bisa kita jadikan ajang pamer atas semua pencapaian yang kita dapatkan.

Alangkah syahdunya jika lebaran dijadikan lahan kesyukuran atas semua nikmat Tuhan. Hidangan yang kita sediakan digunakan untuk memperindah suasana pertemuan. Begitu pula, anggota tubuh yang kita punya digunakan sebaik-baiknya sebagai lahan mempererat persaudaraan. Tentu, suasana inilah yang kita inginkan. Dan suasana inilah yang menjadikan hati kita selalu merasa bahagia.

Baca Juga:  Abu Thalib, Meninggal Sebagai Kafir atau Sebagai Mukmin?

Maka lebaran adalah momen krusial untuk memupuk nilai-nilai spiritual. Momen dimana tali persaudaraan dapat kita ikatkan dengan kencang. Lebaran bukan soal memamerkan ataupun mengejek orang lain yang posisinya di bawah kita. Dan lebaran bukan pula momen adu kesuksesan diantara saudara-saudara kita.

Muhammad Nur Faizi