Haruskah Mengganti Hutang Puasa Ramadhan yang Belum Diqadha’ Selama Bertahun-tahun?

Mengganti Hutang Puasa Ramadhan

Pecihitam.org – Bagi umat Islam yang sudah akil baligh, berpuasa di bulan Ramadhan tentu sudah wajib hukumnya. Maka saat puasanya ada yang batal baik sengaja atau tidak sengaja, atau bahkan memang tidak berpuasa maka dia wajib Mengganti Hutang Puasa Ramadhan itu di luar Bulan Ramadhan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Memang sih, Ada beberapa kondisi tertentu dimana seseorang diperbolehkan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan, antara lain karena sakit, bepergian, hamil, atau menyusui. Akan tetapi, Jika tidak berpuasa di bulan ramadhan, mereka tetap diwajibkan untuk Mengganti Hutang Puasa Ramadhan (qadha’) nya. Namun, bagaimana jika ‘hutang’ puasanya tersebut belum juga dia laksanakan hingga bertemu bulan Ramadhan berikutnya?

Contoh seorang wanita misalnya yang dalam keadaan hamil di bulan Ramadhan, lalu ia tidak berpuasa karena kondisi kesehatannya tidak memungkinkan untuk melaksanakan puasa. Menurut jumhur ulama ia tetap berkewajiban untuk meng-qadha’ puasanya di hari lain. Namun, saat Ramadhan sudah berlalu, ia malah mengalami rentetan peristiwa yang justru memberatkan dirinya untuk meng-qadha’ puasa yang ia tinggalkan di bulan Ramadhan lalu. Misalnya karena melahirkan, nifas, dan program menyusui yang berlangsung berbulan-bulan. Dan akhirnya ‘hutang’ puasanya belum sempat dia tunaikan hingga bertemu kembali bulan Ramadhan berikutnya. Lalu, bagaimana ia harus menyikapi keadaan ini?

Kasus yang sama juga dapat terjadi pada orang sakit yang terpaksa harus meninggalkan kewajiban puasa di bulan Ramadhan. Menurut jumhur ulama ia juga tetap wajib untuk meng-qadha’ puasa di hari lain. Namun sesudah bulan Ramadhan berlalu, ia belum juga meng-qadha’ puasanya hingga Ramadhan berikutnya tiba. Baik disebabkan karena lupa, lalai, atau mungkin sakit yang tak kunjung sembuh. Bagaimana hukumnya?

Baca Juga:  Sujud Sahwi: Pengertian, Hukum, Bacaan dan Tata Caranya

Menunda Qadha’ Karena Udzur Syar’i

Seluruh Ulama ahli Fiqih sepakat bahwa orang yang punya kewajiban mengqadha’ puasa Ramadhan, lalu ia menunda qadha’ nya itu hingga bertemu Ramadhan berikutnya karena adanya udzur syar’i, maka ia tidak berdosa dan boleh meng-qadha’ nya sampai tiba masanya ia mampu membayar qadha’ itu, meskipun sudah dua atau tiga Ramadhan dilaluinya. (lihat: al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah jilid 32, hal. 70)

Udzur Syar’i yang dimaksudkan di sini adalah sebab yang dibenarkan oleh syariat untuk menunda qadha’ puasa Ramadhan. Misalnya, bila kondisi wanita hamil dan menyusui yang masih tidak juga memungkinkannya untuk menunaikan puasanya. Karena jika berpuasa, khawatir bisa terjadi hal-hal buruk terhadap kesehatannya dan bayi yang dikandungnya atau disusuinya.

Contonya, jika ada perempuan hamil di Bulan Ramadhan tahun 2015, lalu kondisi memaksanya untuk tidak berpuasa selama beberapa hari karena khawatir akan terjadi hal buruk pada kesehatannya, maka menurut para ulama madzhab baik Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali perempuan ini wajib mengganti puasanya dengan qadha’ setelah Ramadhan nanti.

Baca Juga:  Qadha Puasa Ramadhan Batal Sebab Berhubungan Intim, Adakah Kafaratnya?

Namun jika setelah Bulan Ramadhan ternyata kondisi perempuan tersebut masih sangat sulit sebab masih hamil atau masih sedang menyusui, dan tidak memungkinkannya untuk meng-qadha’ hingga akhirnya bertemu Ramadhan berikutnya (2017), maka perempuan ini tidak berdosa dan boleh melaksanakan qadha’ puasanya yang terdahulu itu pada waktu ia sanggup untuk melaksanakannya. Ia pun tidak diwajibkan untuk membayar fidyah.

Menunda Qadha’ Tanpa Ada Udzhur Syar’i

Akan tetapi, bagaimana jika ada orang yang punya hutang qadha’ puasa, baik itu disebabkan karena hamil/menyusui/sakit/ musafir, lalu ia tidak mengqadha’nya karena lalai hingga bertemu Ramadhan berikutnya?

Jumhur Fuqaha’ (mayoritas ulama) baik dari kalangan madzhab Maliki, Syafi’i, Hambali, serta Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan beberapa sahabat Nabi SAW berpendapat bahwa orang yang tidak punya udzur syar’i dan lalai dalam meng-qadha’ puasanya sampai bertemu Ramadhan berikutnya, ia wajib membayar fidyah atas hari-hari puasa yang belum di qadha’nya itu, tanpa menggugurkan kewajiban qadha’nya.

Misal, jika ada orang yang punya hutang puasa, kemudian usai Ramadhan ia punya kesempatan meng-qadha’ hutang-hutang puasanya itu, tapi dia lalai dan menundanya hingga akhirnya bertemu kembali Ramadhan selanjutnya. Maka menurut pendapat mayoritas ulama, ia wajib membayar fidyah (denda) atas hutang puasanya yang belum di qadha’ tersebut, tanpa menggugurkan kewajiban qadha’ itu sendiri.

Baca Juga:  Zakat dan Nishab Hasil Panen Pertanian, Ini Detail Perhitungannya

Artinya, tetap wajib mengqadha’ puasanya usai Ramadhan yang kedua tadi, plus ditambah dengan membayar fidyah karena dia telah lalai melakukan qadha’ sampai bertemu Ramadhan yang kedua.

Jadi jika misalnya dia berhutang puasa selama 5 hari, dan dia juga belum mengqadha’nya seharipun sampai bertemu Ramadhan berikutnya, maka selain tetap harus Mengganti Hutang Puasa Ramadhan dia juga wajib membayar fidyah selama 5 hari itu.

Namun, jika sebelum Ramadhan kedua ia sempat meng-qadha’ puasanya selama 3 hari, sedangkan sisanya yang 2 hari ia tunda sampai bertemu Ramadhan yang kedua, maka yang ia harus bayar fidyahnya adalah yang selama 2 hari saja.

Fidyah yang seharusnya dibayarkan yaitu 1 mud/hari yang diberikan kepada fakir miskin dalam bentuk makanan pokok yang lazim di konsumsi di negeri itu, kalau di Indonesia ya biasanya beras. Ukuran beras 1 mud kurang lebih ¼ dari ukuran zakat fitrah, yakni sekitar 0,875 liter atau 0,625 kg.

Wallahu a’lam.

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *