Pecihitam.org – Bukan hanya di Indonesia, setidaknya ada 20 negara yang menolak keberadaan Hizbut Tahrir, terlebih dengan konsep Khilafah ala mereka itu. Yang mengejutkan, bahkan negara yang menolak itu rata-rata merupakan negara Timur Tengah yang selama ini sering dikaitkan sebagai representasi Islam oleh sebagian kalangan.
Sebut saja, Mesir, Yordania, Arab Saudi, Suriah, Libya dan Turki. Itulah negara-negara Timteng yang tegas menolak HT.
Maka, sangat aneh dan menggelikan jika negara-negara Timur Tengah saja menolak keberadaan Hizbut Tahrir, justru di negara Indonesia kelompok-kelompok tertentu memperjuangkan paham yang tertolak ini mati-matian, bahkan rela menuduh negaranya sendiri sebagai negara taghut. Picik!
“Ketika sampah itu ditolak di mana-mana, akankah kita yang harus menampungnya?”
Sebuah konsep yang yang didasarkan pada pemahaman agama yang tidak komprehensif dan ditolak di negara asalnya sendiri, tapi mengapa negara yang sudah aman tentram sejak puluhan tahun ini, masih ada sebagian warga negaranya yang ingin memungut konsep yang usang itu.
Melihat kulitnya, sepintas Hizbut Tahrir memang merupakan organisasi atau firqoh Islam yang ideal. Bagaimana tidak, organisasi yang awalnya berdiri di India ini, memperjuangkan Khilafah Islamiyah?
Bagi orang yang tidak memahami hakikat dan periodisasi khilafah dalam Islam, maka akan menerima konsep Khilafah ala hati yang sebenarnya sangat utopis.
Adapun di belahan bumi Eropa, negara-negara yang menolak Hizbut Tahrir semisal Rusia, Jerman,Spanyol dan Inggris serta negara-negara lainnya.
Itu juga di Asia, mulai dari Asia tengah hingga Asia Tenggara seperti Malaysia. Mereka kompak menolak Hizbut Tahrir untuk berkembang dan merongrong ideologi bangsa mereka.
Pendeknya, Hizbut Tahrir ditolak di mana-mana. Di Indonesia sendiri organisasi ini telah dibekukan izinnya. Walaupun kenyataannya mereka masih sering bergerilya menyebarkan faham dan ideologinya kepada anak-anak muda yang masih labil.
Mereka banyak bermetamorfosa ataupun melebur dalam organisasi-organisasi afiliasi mereka yang sama yang sementara ini masih belum dibukukan.
Hizbut Tahrir di Indonesia maupun di negara-negara lain tak ubahnya seperti duri dalam daging yang akan merongrong dan merusak keutuhan suatu bangsa.
Padahal jika kita menelaah dan mengkaji pemikiran mereka khususnya dalam aqidah dan Fiqh yang dianut, ternyata banyak pemahaman mereka yang menyimpang dari ajaran mayoritas umat Islam.
Diantaranya, Hizbut Tahrir adalah firqah yang tidak meyakini adanya siksa kubur Selain itu yang paling mengejutkan, Hizbut Tahrir berkeyakinan tidak wajib mendirikan shalat selagi tidak tegak suatu negara Khilafah.
Bukankah ini keganjilan pemikiran yang menyesatkan? Namun sayangnya, sebagian anak muda yang masih labil, para mualaf yang baru belajar Islam yang merasa sok dan paling Islami, memuji-muji Hizbut Tahrir yang kenyataannya isinya adalah kesesatan.
Keberadaan Hizbut Tahrir yang ditolak di berbagai negara, tak ubahnya seperti paham Wahabi pada awal perkembangannya yang juga ditolak di mana-mana.
Mari kita bandingkan konsep Khilafah Hizbut Tahrir dengan paham Wahabi yang diperjuangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab.
Dalam sejarahnya, Muhammad bin Abdul Wahab saat melakukan ibadah haji yang kedua kalinya. Di sana, ia melihat orang yang melakukan ibadah dan ziarah di makam Nabi yang dalam pandangannya suatu kesyirikan.
Dari situlah kemudian ia bertolak ke negeri Basrah dan menyiarkan fatwanya yang ganjil-ganjil. Tetapi di negeri ini, ia kemudian diusir, karena memang pemahamannya bertentangan dengan mayoritas umat Islam.
Ia juga sempat berkunjung ke Hassa dan berguru kepada Syaikh Abdullah bin Abdul Latif, namun akhirnya ia kembali ditolak dan diusir dari negeri ini.
Setelahnya, ia pergi ke Huraimalah, suatu desa kecil di negeri ini Nejad. Awalnya ia menyiarkan fatwanya yang ganjil-ganjil di tempat kelahirannya sendiri yaitu ‘Ainiyah. Tetapi raja di negeri itu yang bernama Usman bin Ahmad bin Ma’mar yang awalnya mendukung, setelah mendengar fatwanya yang bertentangan, sang raja pun mengusir Muhammad bin Abdul Wahab.
Begitulah Muhammad bin Abdul Wahab dengan pemikiran Wahabiyahnya yang ekstrem dan radikal itu. Ia ditolak di mana-mana, bahkan di tempat kelahirannya sendiri.
Ini sungguh persis dengan yang dialami Hizbut Tahrir dengan konsep konsep Khilafah ala mereka yang juga ditolak bahkan di negara asalnya.
Akhirnya pemikiran Muhammad bin Abdul Eahhab yang ekstrem itu dibawa ke Dur’iyah dan bertemu seorang raja bernama Muhammad bin Saud. Kolaborasi dua Muhammad yang sama-sama mempunyai kepentingan inilah yang kemudian menjadikan paham Wahabi berkembang.
Muhammad bin Abdul Wahab membutuhkan seorang penguasa untuk menolong penyebaran pahamnya yang ekstrem. Sedangkan Muhammad bin Saud membutuhkan seorang ulama yang dapat mengisi rakyatnya dengan ideologi yang keras dalam rangka mempertahankan pemerintahan dan kekuasaannya.
Maka sungguh kita berharap semoga hari ini tidak ada negara ataupun pemimpin suatu negara yang menerima konsep khilafah ala HT yang utopis itu. Jika saja ini terjadi, maka kolaborasi antara Muhammad bin Abdul Wahab dan Muhammad bin Saud pada masa lalu akan terulang kembali pada masa ini.