Hukum Bayi Tabung Menurut Pandangan Agama Islam?

hukum bayi tabung

Pecihitam.org – Banyak pasangan suami istri yang telah menikah selama bertahun-tahun tidak memiliki keturunan. Segala macam upaya telah dilakukan, baik dengan cara medis dan tradisional. Hingga akhirnya memutuskan untuk memiliki keturunan dengan jalan bayi tabung. Namun, sebagian ada di antara mereka diliputi keragu-raguan mengenai hukum bayi tabung tersebut. Bagaimanakah hukum bayi tabung dalam pandangan Islam ? Mari kita simak penjelasannya berikut ini.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Bayi tabung merupakan proses pembuahan sel telur (ovum) dan sperma di luar rahim ibu, istilah lainnya adalah in vitro vertilization ( dari bahasa latin yang artinya dalam pembuahan dalam gelas tabung). Dalam proses bayi tabung, sel telur yang matang diambil dari indung telur ibu, kemudian dibuahi dengan menyuntikkan sperma di dalam medium cairan. Setelah terjadi pembuahan dalam medium tersebut, embrio kecil yang terjadi lalu dimasukkan ke dalam rahim ibu dengan harapan berkembang menjadi bayi.

Hukum bayi tabung ditafsil sebagai berikut:

  • Apabila sperma yang di tabung dan yang dimasukan ke dalam rahim wanita tersebut ternyata bukan sperma suami istri, maka hukumnya haram.
  • Dan apabila sperma/mani yang ditabung tersebut sperma suami istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak muhtarom, maka hukumnya juga haram.
  • Bila sperma yang ditabung itu sperma/mani suami istri dan cara mengeluarkannya muhtarom, serta dimasukan ke dalam rahim istri sendiri maka hukumnya boleh.
Baca Juga:  SERU!! Dialog Santri Sunni vs Wahabi Tentang Dalil Qiyas Dalam Ibadah

Keterangan : Mani muhtarom adalah yang keluar atau dikeluarkan dengan cara yang diperbolehkan oleh syara’.

Terdapat perbedaan pendapat antara Imam Ibnu Hajar dan Imam Romli Tentang anak yang dihasilkan dari sperma tersebut, apakah dapat ilhaq atau tidak kepada laki-laki pemilik sperma. Imam Ibnu Hajar berpendapat tidak bisa ilhaq kepada pemilik mani secara mutlaq (baik muhtarom atau tidak), sedangkan menurut Imam Romli anak tersebut dapat ilhaq kepada pemilik sperma dengan syarat keluarnya sperma tersebut harus muhtarom.

Dasar Pengambilan Dalil :

مامن ذنب بعد الشرك أعظم عند الله من نطفة وضعها رجل فى رحم لايحل له. رواه ابن الدنا عن الهشيم بن مالك الطائ الجامع الصغير

Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik (menyekutukan Allah ) disisi Allah dari pada maninya seorang laki-laki yang ditaruh pada rahim wanita yang tidak halal baginya. (HR. Ibnu Abid-dunya dari Hasyim bin Malik al-thoi). ( Al-Jami’ as-Shoghir hadits no. 8030 ).

من كان يؤمن بالله واليوم الأخر فلا يسقين ماءه زرع أخيه

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah sekali-kali menyiram air (maninya ) pada lahan tanaman (rahim) orang lain. ( Hikmatu Tasyri’wal Safatuhu, II: 48 ).

Baca Juga:  Hukum I'tikaf di Masjid bagi Perempuan, Bolehkah? Ini Penjelasannya

ولو أتت بولد عُلِمِ أنه ليس منه مع إمْكَانِه مِنْهُ ( لَزِمَهُ نَفْيُهُ ) لِأَنَّ تَرْكَ النَّفْيِ يَتَضَمَّنُ اسْتِلْحَاقَ مَنْ لَيْسَ مِنْهُ حَرَامٌ.

Apabila seoarang perempuan datang dengan membawa anak, dan diketahui bahwa anak tersebut bukan dari suaminya, dan dapat mungkin dari suaminya (namun secara yakin tidak dari suaminya). Maka wajib meniadakan (menolak mengakui), karena bila tidak dilaksanakan penolakan, dapat dimasukan nasab dari orang yang tidak haram (suaminya). ( Al-Qolyubi, IV: 32 ).

Maksud dari mani muhtarom (mani yang mulia) ialah mani pada waktu keluarnya saja, seperti yang dikuatkan Imam Romli, meskipun tidak muhtarom pada waktu masuk. Contoh: suami bermimpi keluar mani, dan sang istri mengambilnya (air mani tersebut) lalu dimasukan ke farjinya dengan persangkaan, bahwa air mani tersebut milik laki-laki lain (bukan suaminya) maka hal ini dinamakan mani muhtarom keluarnya, tapi tidak muhtarom waktu masuknya ke farji, dan dia wajib punya iddah (masa penantian) jika suaminya menceraikan sebelum disetubui. Menurut yang mu’tamad, berbeda dengan pendapatnya imam Ibnu Hajar yang mengatakan, kriterianya harus muhtarom keduanya (waktu masuk dan keluar) seperti ketetapan dari Syaikhuna (Imam Rofi’i dan Imam Nawawi). ( Bujairimi Iqna’ IV: 36 ).

Jika seorang suami sengaja mengeluarkan air maninya dengan perantara tangan istrinya, atau tangan perempuan amatnya, maka hukumnya boleh, karena perempuan tersebut tempat istima’ (senang-senang) bagi seorang suami. ( Kifayatu Al-akhyar, II: 113 ). Lihat juga Tuhfah, VI: 431, Al-Bajuri, II: 172, Al-bughya: 238 .

Baca Juga:  Benarkah Hubungan Agama dan Negara Harus Dipisahkan? Begini Penjelasan Para Ahli

Sehingga kesimpulan hukum bayi tabung adalah sebagai berikut; Haram apabila sperma yang di tabung dan yang dimasukan ke dalam rahim wanita tersebut bukan sperma suami istri. Dan apabila sperma/mani yang ditabung tersebut sperma suami istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak muhtarom, maka hukumnya juga haram. Hukumnya boleh jika sperma yang ditabung itu sperma/mani suami istri dan cara mengeluarkannya muhtarom, serta dimasukan ke dalam rahim istri sendiri.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 331
Keputusan Munas Alim Ulama, di Kaliurang Yogyakarta Pada Tanggal 30 Syawal 1401 H. / 30 Agustus 1981 M.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *