Pecihitam.org – Pembahasan selanjutnya mengenai landasan kedua dari cara penetapan hukum hubungan persusuan, yaitu bukti. Yang mana sebelumnya telah kita bahas mengenai landasan pertama penetapan hukum hubungan persusuan berupa pengakuan. Tidak kalah penting dan kuatnya landasan kedua ini untuk dijadikan pegangan hukum penetapan hubungan persusuan. Untuk mengetahui lebih jauhnya, berikut penjelasan mengenai landasan “Bukti” berdasarkan pendapat ulama empat madzhab.
Bukti
Bukti yang dimaksud adalah menghadirkan saksi dengan persaksian yang dapat dipertanggung jawabkan mengenai ada-tidaknya hubungan persusuan. Para ulama empat madzhab sepakat bahwa jumlah saksi yang harus dihadirkan adalah dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dengan dua orang perempuan yang adil. Dan para ulama berbeda pendapat tentang persaksian hukum persusuan dari satu orang laki-laki saja, atau hanya dari seorang wanita saja, atau dari empat orang wanita.
- Pendapat ulama Hanafi
Menurut ulama Hanafi, tidak dapat diterima persaksian dari satu orang laki-laki saja, atau hanya dari seorang wanita, atau dari empat orang wanita. Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Umar ra
روي عن عمر رضي الله عنه أنه قال: ” لا يقبل على الرضاع أقل من شاهدين.”
Umar ra berkata: “ Tidak dapat diakui hukum persusuan yang dibawa oleh kurang dari dua orang saksi.”
Hadis di atas disepakati oleh para sahabat, sehingga dapat dijadikan hujjah penetapan hukum.
- Pendapat ulama Malikiyah
Menurut ulama Malikiyah, persaksian satu orang wanita atau satu orang lelaki atau dua orang wanita dapat diterima jika persaksian terjadi sebelum akad pernikahan dan tidak ada tuduhan atas persaksiannya, namun tidak dapat diterima jika terjadi setelah akad pernikahan. Berbeda dengan persaksian dari seorang ibu yang belum baligh, persaksiannya dapat diterima walaupun terjadi setelah akad pernikahan.
- Pendapat ulama syafi’iyah
Menurut ulama Syafi’iyah, persaksian dari empat orang wanita dapat diterima, begitu juga persaksian dari wanita yang menyusui sang bayi dan atau dari keluarga wanita tersebut, jika persaksian itu bukan bertujuan untuk meminta upah dari jasa persusuannya, dan ia tidak menyebutkan biaya perawatan sang bayi, melainkan ia hanya mengatakan bahwa ia pernah menyusui bayi tersebut bersamaan dengan menyebutkan kadar susuan sang bayi.[1]
Demikianlah dua landasan penetapan hukum hubungan persusuan menurut empat ulama madzhab, dimana hendaklah dua landasan itu dipertimbangkan sesuai dengan ketentuan syariat menurut madzhab yang dianut, sehingga dua landasan itu dapat diterima dan dapat dipertanggung jawabkan dalam penetapkan hukum hubungan persusuan yang akan mendatangkan konsekuansi yang lebih besar setelahnya.
Wallahu’alam bi al-Shawab
[1] Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamiy Wa Adilltuhu, Daarul Fiqr