Hukum Memajang Foto dalam Islam Menurut Mufassir, Benarkah Haram?

Hukum Memajang Foto dalam Islam

PeciHitam.org – Foto dan gambar lukisan akan menjadikan rumah manis dan menambah kesan estetis. Langganan foto yang terpajang seperti Tokoh Besar ataupun Ulama sekelas Sulthanul Auliya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Bagi wargan Nahdliyin, tidak akan lepas dari memanjang Tokoh Utamanya, KH. Hasyim Asyari, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Sansuri dan Gus Dur. Mereka yang terafiliasi dengan ormas seperi Muhammadiyah juga tidak mengingkari untuk memajang foto pendirinya, yaitu KH. Ahmad Dahlan dan Nyai Ahmad Dahlan.

Tujuan pemasangan memasang foto sebagai pajangan sebagai pengingat dan menjadikan nilai estetik dalam ruangan. Bagaimana pandangan hukum memajang foto dalam Islam yang benar dan tidak dibenci oleh Allah SWT? Simak kajiannya!

Daftar Pembahasan:

Foto dan Dalil Haram Menggambar

Sebelum membahas Hukum memajang Foto sangat penting mengetahui dasar Istilah Foto dalam Islam. Foto dalam bahasa Arab disebutkan dengan kata (الصُّوَرَ) yang yang bermakna dasar Gambar. Fungsi gambar pada masa Nabi Muhammad SAW tentu berbeda dengan gambar pada sekarang.

Penggunaan istilah (الصُّوَرَ) untuk menyebutkan foto secara bahasa bisa dimaknai sebagai Qiyas Lughawi. Karena kesamaan unsure dalam foto dan gambar yang kemudian mengasilkan bias budaya terhadap gambar untuk merujuk Foto hasil jepretan kamera.

Jika merujuk Istilah gambar dan foto pada masa sekarang jelas mempunyai perbedaan. Akan tetapi berbeda pada masa Nabi yang hanya terdapat Gambar dengan goresan tangan manual. Bangunan konstruk hukum yang dibangun antar Gambar dan Foto dapat disamakan.

Qiyas mengenai memajang foto ini disamakan dengan Hukum Gambar karena Qarinah alasan Hukum yang menyamakan kata (الصُّوَرَ) dengan foto atau gambar. Memerlukan kajian dan dalil-dalil dengan penjabaran yang luas untuk memahami Qiyas tersebut.

Dalil Memajang Foto

Interior yang ciamik dengan hadirnya pemanis ruangan berupa lukisan, gambar atau hasil fotografi seyogyanya tidak mengabaikan Hukumnya. Dalil Hukum memajang foto dalam Islam bisa ditemukan dalam Hadits riwayat Imam Baihaqi;

إِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لاَ تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ صُورَةٌ

Artinya; “Sesungguhnya Malaikat tidak masuk pada rumah yang terdapat gambar di dalamnya” (HR. Baihaqi)

Hadits ini juga ditemukan dalam kitab Sahih Bukhari dengan redaksi yang sama. Kisah ini berasal dari Malaikat Jibril AS yang enggan untuk memasukai rumah karena didalamnya terdapat Permadani yang terpajang berbentuk gambar.

Baca Juga:  Syarat Wajib Shalat Jumat dalam Madzhab Syafi'i (Bagian 1)

Banyak mufassirin mengatakan bahwa hadits ini memerlukan tawil lebih dalam redaksinya. Jika semua malaikat tidak bisa masuk dalam sebuah rumah yang ada lukisannya tentunya, ia tidak pernah bisa mencabut nyawa orang yang di dalamnya terdapat lukisan.

Atau jika redaksi hadits (الْمَلاَئِكَةَ) diartikan sebagai Malaikat Rahmah Pemberi Rezeki, tentu kolektor lukisan tidak akan mendapatkan rezeki. Akan tetapi kolektor lukisan, fotografer atau lain penyimpan foto-pun tetap mendapat rezeki Allah SWT.

Para Ulama Tafsir mengatakan bahwa yang perlu dipahami dari teks hadis di atas adalah kata (بَيْتًا) dimaknai bukan sekedar Rumah Fisik, akan tetapi dimaknai dengan Hati Manusia. Dan kata (صُورَةٌ) dimaksudkan sebagai gambaran Penciptaan oleh Tuhan selain Allah SWT.

Tentu akan sangat cocok jika Malaikat tidak akan masuk ke dalam hati seseorang yang didalam hatinya terdapat gambaran Tuhan selain Allah SWT.

Dalil hadits dari riwayat Imam Baihaqi dan Imam Bukhari secara literal, tekstual menceritakan tidak ada toleransi dalam Hukum memajang Foto dalam Islam.

Seolah-olah Hukum menyimpan Foto dalam Islam atau gambar di dalam rumah merupakan sebuah larangan syariat yang tidak dapat ditoleransi.

Akan tetapi, terdapat dalil Hadits yang menjelaskan toleransi dalam Hukum Memajang Foto dalam Islam seperti hadits berikut ini:

عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ اللهِ ، أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى أَبِي طَلْحَةَ الأَنْصَارِيِّ يَعُودُهُ فَوَجَدَ عِنْدَهُ سَهْلَ بْنَ حُنَيْفٍ فَأَمَرَ أَبُو طَلْحَةَ إِنْسَانًا يَنْزِعُ نَمَطًا تَحْتَهُ ، فَقَالَ لَهُ سَهْلٌ : لِمَ تَنْزِعُهُ ؟ قَالَ : لأَنَّ فِيهِ تَصَاوِيرَ ، وَقَدْ قَالَ فِيهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا قَدْ عَلِمْتَ ، قَالَ : أَلَمْ يَقُلْ إِلاَّ مَا كَانَ رَقْمًا فِي ثَوْبٍ ، قَالَ : بَلَى ، وَلَكِنَّهُ أَطْيَبُ لِنَفْسِي

Diriwayatkan dari Ubaidillah bin Abdullah bahwa ia berkunjung pada Abu Thalhah dari suku Anshar untuk menjenguknya. Pada Rumah Abu Thalhah telah tiba lebih dahulu Sahabat Sahl bin Hunaif RA.

Baca Juga:  Posisi Kedua Tangan Saat I'tidal, Bersedekap atau Bagaimana?

Kemudian Abu Thalhah memerintahkan seseorang untuk melepaskan tikar yang ada di bawah tempat berbaringnya. Lalu Sahl bin Hunaif bertanya: “Kenapa engkau melepasnya wahai Abu Thalhah?”

“Sebab pada tikar itu terdapat gambar, dan Rasulullah telah mengatakan tentang larangan menyimpan gambar, seperti halnya yang engkau tahu” Timpal Abu Thalhah al-Anshari.

Sahl bin Hunaif menyanggah bahwa “Bukankah Rasulullah mengatakan: Kecuali gambar yang ada di pakaian?”. Abu Thalhah membenarkan akan tetapi beliau keukeuh untuk melepaskan Tikar yang ada gambar karena merasa lebih nyaman dengannya. (HR. An-Nasai)

Kerangka Hukum Memajang Gambar dalam Islam menurut dua hadits di atas menjelaskan tentang kelonggaran Hukum memajang foto dalam Islam. Karena Qiyas sebagaimana dalam keterangan di atas menyamakan istilah gambar dan foto dalam kerangka hukum.

Kriteria Hukum Memajang Gambar dan Foto dalam Islam

Kelonggaran dalam Hukum memajang Foto dalam Islam banyak dikomentari oleh para Ulama terkait syarat dan kriteria kebolehannya. Ulama Besar Kontemporer yang sering mengunjungi Indonesia, Sayyid Alawi al-Maliki dalam Kompilasi Fatwa dan Pendapatnya dijelaskan;

فعلم أن المجمع على تحريمه من تصوير الأكوان ما اجتمع فيه خمسة قيود عند أولي العرفان أولها ؛ كون الصورة للإنسان أو للحيوان ثانيها ؛ كونها كاملة لم يعمل فيها ما يمنع الحياة من النقصان كقطع رأس أو نصف أو بطن أو صدر أو خرق بطن أو تفريق أجزاء لجسمان ثالثها ؛ كونها في محل يعظم لا في محل يسام بالوطء والامتهان رابعها ؛ وجود ظل لها في العيان خامسها ؛ أن لا تكون لصغار البنان من النسوان   فإن انتفى قيد من هذه الخمسة . . كانت مما فيه اختلاف العلماء الأعيان . فتركها حينئذ أورع وأحوط للأديان 

Kriteria Keharaman yang terdapat dalam maqalah Sayyid Maliki tentang Gambar dalam Islam yakni jika memenuhi Unsur;

  1. Gambar berupa manusia atau hewan, umumnya dipahami dengan menggambar makhluk bernyawa dalam Islam dilarang.
  2. Gambar sebagaimana dimaksud poin pertama dalam bentuk yang sempurna. Tidak dibenarkan untuk menggambar Manusia atau Hewan dengan bentuk sempurna seperti penciptaan Allah SWT. Kesempurnaan yang dimaksud adalah semua anggota badan tergambar dengan detail sebagai organ pendukung kehidupan, seperti kepala, perut, dada dan lain-lain.
  3. Gambar berada di tempat yang dimuliakan sebagai kebiasaan untuk tempat sesembahan.
  4. Gambar mencitrakan bayangan dalam pandangan mata yang menujukan beralih dari Allah SWT.
  5. Gambar bukan untuk anak-anak kecil dari golongan wanita dengan tujuan permainan dan pendidikan.
Baca Juga:  Hukum Menikahi Sepupu Dalam Pandangan Agama Islam

Jika 5 kriteria ini dipenuhi oleh seseorang, maka menyimpan gambar diperbolehkan. Akan tetapi meninggalkannya lebih mendekatkan diri kepada sikap wirai dalam Islam.

Fokus pendapat Sayyid Maliki di atas adalah membahas tentang lukisan yang berupa wujud gambar manual. Pendapat Imam Nawawi Banten, menyebutkan bahwa foto yang berasal dari fotograsi adalah jenis berbeda dengan gambar manual.

Foto hanya merupakan jenis pantulan Lensa dalam bentuk cermin yang tercitra dalam ruang gelap menjadi gambar foto. Maka tidak bisa disamakan Hukum Gambar dan Foto. Jelas Hukum Memajang Foto dalam Islam berbeda dengan memajang gambar hasil lukisan.

Imam Nawawi menjelaskan bahwa Hukum Memajang foto dalam islam adalah boleh. Kebolehan memajang foto dalam Islam sesuai kaidah dalam Hukum Islam, dengan tidak menyamakan kejadian lukisan dan foto.

Hukum memajang foto dalam Islam dibenarkan selama tidak membangkitkan syahwat atau mendorong kepada maksiat, seperti memajang foto porno.

Bahkan menurut Imam Nawawi, Hukum Memajang foto dalam Islam bagi tokoh-tokoh Ulama Besar menjadikan Bidah Mandubah, sesuatu yang baru yang dianjurkan.

Karena akan mendorong orang untuk ingat kepada Allah SWT. Selama dalam pemajangan tidak menimbulkan pengkultusan. Ash-Shawabu Minallah

Mohammad Mufid Muwaffaq