PeciHitam.org – Hutang piutang merupakan sebuah transaksi yang disyariatkan oleh Islam yang hukumnya mubah atau boleh, serta didalamnya mencakup hukum menagih hutang dalam islam pula.
Di dalam Al-Qur’an sendiri banyak yang memuat petunjuk dan pedoman tentang pelaksanaannya salah seperti kedua belah pihak baik yang berhutang maupun yang dihutangi harus menyepakati jangka waktu pengembaliannya dengan melakukan perjanjian tertulis serta mendatangkan saksi untuk mengurangi adanya kecurangan dalam transaksinya.
Karena hutang merupakan pinjaman maka mengembalikannya termasuk sebuah keharusan dan ketika tiba waktu yang telah disepakati tiba dan mampu untuk melunasinya, maka diwajibkan melunasinya saat itu juga dan tidak boleh menunda pembayarannya serta kalau bisa jangan sampai ditagih dahulu.
Rasulullah SAW bersabda:
مطل الغني ظلم وإذا أتبع أحدكم على ملي فليتبع
Artinya: “Penunda-nundaan orang yang telah berkecukupan adalah perbuatan zhalim dan bila tagihanmu dipindahkan kepada orang yang berkecukupan, maka hendaknya diapun menurutinya.” (HR. Muslim)
Maka persoalan hutang dalam Islam bukanlah hal sepele karena menyangkut hak orang lain yang harus dipenuhi dan jika yang berhutang tidak membayar hutangnya hingga meninggal, yang demikian merupakan dosa besar dan dapat menghalanginya masuk surga.
Terkadang pula ada rasa sungkan untuk menagih hutang karena malu atau takut membebani orang yan dihutangi, namun hal tersebut harus tetap dilakukan bukan hanya untuk kebaikan sendiri tapi juga untuk kebaikan orang yang berhutang.
Rasulullah SAW bersabda:
الْقَتْلُ فِي سَبِيلِ اللهِ يُكَفِّرُ كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا الدَّيْنَ
Artinya: “Terbunuh di jalan Allah menghapus seluruhnya kecuali hutang” (HR. Muslim)
Tentang perkara hutang yang belum lunas maka akan terus menjadi beban amal hingga meninggal sampai hutang tersebut dibayar, kecuali jika mau mengikhlaskan hutang tersebut.
Syariat memberikan hak bagi orang yang memberi hutang menagihnya kepada orang yang diberi utang ketika orang yang dihutangi dalam keadaan mampu dan memiliki harta yang cukup untuk membayar hutangnya.
Berbeda ketika berada dalam keadaan tidak mampu untuk membayarnya maka tidak diperkenankan untuk menagih hutang dan wajib menunggu sampai berada dalam kondisi lapang atau mampu.
Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Mausuah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah yaitu:
آثار الاستدانة –حق المطالبة ، وحق الاستيفاء: وندب الإحسان في المطالبة ، ووجوب إنظار المدين المعسر إلى حين الميسرة بالاتفاق
Artinya: “Dampak-dampak dari adanya utang ialah adanya hak menagih utang dan hak membayar utang, dan disunnahkan bersikap baik dalam menagih utang serta wajib menunggu orang yang dalam keadaan tidak mampu membayar sampai ketika ia mampu membayar utangnya, menurut kesepakatan para ulama,” (Lihat: Kementrian Wakaf dan Urusan Keagamaan Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, juz.3, hlm.268)
Perintah untuk tidak menagih hutang pada yang berada dalam keadaan tidak mampu juga sesuai dengan firman Allah SWT yaitu:
وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إلى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: “Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan, dan jika kamu menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui,” (QS. Al-Baqarah 2:280)
Menagih hutang hendaklah dilakukan dengan cara yang baik dan sopan serta tidak dengan nada mengancam, apalagi sampai menuntut dibayar lebih dari perjanjian, sebab yang demikian merupakan tradisi buruk masyarakat jahiliyah Arab zaman dahulu dan termasuk riba. (Lihat: Tafsir ibnu Katsir, juz.1, Ibnu Katsir, hlm.717)
Menunda dalam pembayaran hutang ketika mampu merupakan perbuatan dzalim, maka dapat disimpulkan pula bahwa hukum menagih hutang dalam islam merupakan kewajiban dan hak yang diberikan oleh syariat kepada orang yang menghutangi.
Adapun pelaksanaan penagihan hutang tidak hanya terpaku pada waktu jatuh tempo pembayarannya sebab penetapan waktu jatuh tempo hanya dibenarkan menurut mazhab malikiyah saja.
Sedangkan menurut jumhur ulama, menagih hutang dapat dilakukan kapanpun selama orang yang dihutangi berada dalam keadaan mampu dan memiliki harta yang cukup untuk ditagih hutangnya.
Sekaligus dalam hal ini, dalam praktik menagih hutang hendaklah dilakukan dengan sopan serta mempertimbangkan etika sosial yang berlaku agar hubungan antara yang menghutangi dan yang berhutang tetap harmonis tanpa adanya pihak yang tersakiti sehingga memutus hubungan sosial yang sebelumnya berjalan baik.