Bagaimana Hukum Mencintai dan Merindukan Si Doi yang Belum Halal?

Hukum Mencintai dan Merindukan Si Doi yang Belum Halal

Pecihitam.org – Jika ditanya mengenai definisi cinta? Apa yang akan kamu katakan? Bagi kamu yang pernah mencintai, barangkali kamu akan meraba sedikit demi sedikit mengenai definisi yang tepat, setidaknya tepat menurut kamu.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

“Sesuatu yang tidak dapat dilihat, tidak dapat diraba, namun hanya dapat dirasakan oleh hati”. Ya, kira-kira ada yang mengartikan demikian. Bahkan jika ingin lebih terlihat keren, tak jarang muda-mudi, kaum santri yang mendefinisikannya dalam bahasa Arab هو شيئ لا يرى ولا يمس ولكن يحس.

Dalam pandangan penulis, apapun dan bagaimanapun definisi cinta, sesungguhnya yang lebih berhak mendefinisikan cinta adalah pelakunya (yang mencinta) sendiri. Simpel, karena dia yang merasakannya.

Yang perlu diketahui adalah bahwa persoalan cinta merupakan persoalan hati. Begitu juga rindu. Jadi, seseorang tidak mampu membatasi atau bahkan mencoba mengatur kadar cinta dan rindunya terhadap orang lain. Karena perkara hati mutlak kekuasaan Allah azza wajalla. Sebagai manusia, kita hanya diberikan ikhtiar untuk menyikapi dan menindaknya, baik atau buruk.

Hal ini senada dengan perkataan Raghib al-Asfahani:

أَنَّ الْمَحَبَّةَ مِنَ الأُمُورِ الْقَلْبِيَّةِ الَّتِي لَيْسَ لِلإِنْسَانِ فِيهَا خِيَارٌ وَلا قُدْرَةٌ لَهُ عَلَى التَّحَكُّمِ فِيهَا

Baca Juga:  Ikut Ulama atau Nabi? Agar Tidak Salah, Ini Penjelasannya

Artinya: Sesungguhnya cinta itu perkara hati, seseorang tidak diberi kuasa untuk memilih, tidak pula diberi kuasa untuk mengontrolnya.

Sepakat atau tidak, bahwa apa yang diungkapkan oleh Raghib ini merupakan sebuah kenyataan. Sebagai manusia biasa, kita tidak mampu memilih untuk cinta terhadap A, tidak pula terhadap B.

Perasaan cinta dan rindu mengalir apa adanya, tanpa intervensi dan campur tangan siapapun. Oleh karenanya, cinta tidak dapat dipaksakan, setidaknya saat itu juga.

Oleh karena cinta dan rindu urusan hati yang sama sekali kita tidak diberikan kuasa atasnya, tidak bisa memilih untuk tidak cinta, tidak bisa memilih untuk menambah kadar cinta, bahkan tidak bisa memilih untuk berhenti mencintai dan merindu terhadap seseorang, maka cinta dan rindu tidak dianggap berdosa meskipun pada mereka yang belum halal bagi kita.

Hal ini sebagaimana perkataan Ibnu Hazm yang menyebutkannya dalam kitab Thauqul Hamaamah fil Ulfah wal Ullaaf sebagai berikut:

وليسَ بمُنْكر في الديانة ولا بمَحْظور في الشَّريعة (أي ليس محرماً و لا ممنوعاً)

Baca Juga:  Inilah 4 Hikmah Serta Pelajaran dari Peristiwa Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW

Artinya: Cinta (termasuk rindu) bukanlah perkara yang munkar (maksiat) dalam pandangan agama, bukan juga perkara yang dilarang dalam pandangan syariat. Maksudnya, cinta dan rindu bukan perkara yang diharamkan, bukan pula perkara yang dicegah.

Interpretasi tersebut penulis dapatkan laman khayma(dot)com yang pembahasannya difokuskan pada “bab cinta” dalam kitab Hamaamah Ibn Hazm.

Bahkan tidak hanya sebatas itu, penjelasan kian bertambah dengan mengungkap rahasia di balik rangkaian kalimat Ibn Hazm tersebut:

Interpretasi pertama:

كناية عن مشروعية الحب ؛ فالشرائع والديانات ليست ضد الحب المباح.

Artinya: Ungkapan “cinta bukan termasuk perkara yang munkar dan dilarang” merupakan isyarat “disyari’atkannya” cinta. Oleh karena itu, syari’at dan agama tidaklah melarang/bertentangan dengan cinta.

Interpretasi kedua:

أسلوب مؤكد بحرف الجر الزائد الباء ؛ ليبين أهمية الحب في حياتنا وتأكيد مشروعيته ، وإطناب بالترادف ؛ لتأكيد المعنى

Artinya: Pengulangan huruf jar “ba’” pada kalimat tersebut dimaksudkan untuk menjelaskan akan pentingnya cinta dalam hidup manusia, juga penguatan atas disyariatkannya cinta itu sendiri (tidak dilarang agama). Adapun penggunaan lafaz yang berbeda dengan makna sama (sinonim) dimaksudkan untuk menguatkan makna.

Baca Juga:  Sangat Keliru Jika Membagi Tauhid menjadi 3, Ini Penjelasannya

Interpretasi ketiga:

قدم الديانة ؛ لأنها أعم وأشمل فهي وعاء وأساس الشريعة

Artinya: Didahulukannya redaksi “agama” dibanding “syariat” karena agama lebih umum dan melingkupi serta menjadi asas adanya syariat.

Yang perlu diingat, rasa mencintai dan merindukan seseorang meskipun yang belum halal adalah boleh, tidak haram dan tidak dilarang. Namun, jika rasa mencintai dan merindukan orang yang belum halal tersebut diejawantahkan dalam bentuk tindakan yang dilarang syariat, maka itu jelas Dilarang. Selain merugikan diri sendiri, hal itu juga merugikan orang lain.

Demikian, semoga bermanfaat. Wallaahu a’lam bishshawaab.

Azis Arifin