Hukum Menggambar Nabi Muhammad dan Memperankan Nabi dalam Sebuah Film

Hukum Menggambar Nabi Muhammad dan Memperankan Nabi dalam Sebuah Film

Pecihitam.org- Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa tahun 1988 tentang Hukum menggambar Nabi Muhammad  SAW baik dalam bentuk patung, maupun seni peran dalam teater dan film.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Di bawah Pimpinan KH Hasan Basri pada saaat itu memutuskan menolak penggambaran Nabi Muhammad SAW dalam bentuk apa pun baik gambar maupun film. Apabila ada gambar atau film yang menampilkan Nabi Muhammad SAW dan keluarganya, hendaknya pemerintah melarang gambar dan film semacam itu.

Dalam mengambil keputusan tersebut, MUI mendasarkan pada sebuah riwayat pada Fath Makkah, Rasulullah SAW memerintahkan untuk menghancurkan gambar dan patung para nabi terdahulu yang terpajang di Ka’bah.

Para ulama juga telah mengambil ijma’ sukuti tentang dilarangnya melukis nabi dan Rasul. Kaidah pencegahan (sadd az-Zariah) untuk mengindari hal-hal yang tidak diinginkan oleh agama dan  kemurnian Islam baik segi akidah, akhlak, maupun syariah.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW melaknat keras orang yang berdusta dengan memakai nama beliau SAW. “Barang siapa berdusta kepada saya dengan sengaja maka dipersilakan untuk menempati duduknya di api neraka.” (HR Muttafaq ‘Alaih).

Baca Juga:  Ngebet Dakwah; Fenomena Hijrah dan Belajar Agama Tanpa Guru

Maksud dari hadis itu, yakni era Nabi Muhammad SAW tidak ada satu pun manuskrip, gambar, patung yang benar-benar menggambarkan sosok Nabi Muhammad SAW secara sempurna. Sehingga, ketika ada orang yang mengaku melukis sosok Nabi Muhammad SAW, ia dimasukkan ke golongan yang disebutkan dalam hadis di atas.

Terlebih, orang yang sengaja melukis karikatur Nabi Muhammad dengan maksud mengolok-olok.  Hukumannya, menurut Syekh Yusuf Qaradhawi, jauh lebih keras.

Syekh ‘Atiyyah Saqr melalui kitabnya Ahsanul Kalam fi al-Fatawa wal Ahkam, Dar Ghad al-‘Arabi, Jilid 1 halaman 156 menyebutkan larangan meniru para nabi dalam akting maupun dalam lukisan. Beberapa alasannya akting atau lukisan tersebut tidak mungkin mutlak menyerupai sosok yang sebenarnya.

Dengan meniru dan melukis sosok baginda Rasulullah SAW, seseorang justru jatuh dalam dusta yang mengatasnamakan Nabi Muhammad SAW. Jika lukisan yang menggambarkan sosok Nabi Muhammad SAW ternyata lukisan yang buruk, akan memberi gambaran buruk kepada yang melihatnya.

Pendapat ini dikuatkan oleh fatwa Syekh Hasanain Makhluf pada Mei 1950, Lujnah Fatwa Azhar bulan Juni 1968, Dewan Majma ‘Buhuth Islamiyah pada Februari 1972, dan Muktamar ke-8 Majma bulan Oktober 1977.

Baca Juga:  Keajaiban Doa Iftitah, Ternyata Dapat Membuka Pintu Langit

Dar al-Ifta Mesir menambahkan, larangan ini karena Allah telah memelihara para rasul dan nabi tidak bisa ditiru oleh setan. Demikian juga, Allah memelihara para rasul dan nabi tidak bisa ditiru oleh manusia.

Dewan Mufti Kerajaan Negeri Sembilan Malaysia mengeluarkan pendapat, masalah melukis saja dalam Islam sudah banyak khilafiyah. Ada ulama yang melarang melukis atau membuat patung makhluk yang bernyawa. Mereka mendasarkan pada hadis dari Ibnu Umar RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda,

“Sesungguhnya  orang-orang yang membuat gambar-gambar ini akan disiksa pada hari kiamat. Kepada mereka dikatakan, ‘Hidupkanlah apa yang kamu buat’.” (HR Muttafaq ‘Alaih).

Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah membagi hukum gambar secara umum berdasarkan illat (sebabnya). Jika penggambaran itu untuk pemujaan dan penyembahan, hukumnya haram. Bila untuk sarana pembelajaran, hukumnya mubah.

Jika untuk perhiasan, hukumnya ada dua. Bila tidak menimbulkan fitnah maka hukumnya mubah; jika timbul fitnah kepada maksiat, hukumnya makruh. Bila fitnah kepada kemusyrikan, hukumnya haram.

Baca Juga:  Berdzikir Menggunakan Tasbih, Bagaimanakah Hukumnya?

Jika melukis secara umum terdapat khilafiyah, melukis wajah Nabi SAW dikhawatirkan akan mendatangkan madharat lebih besar. Dalam kaidah fikih menghindari madharat lebih diutamakan daripada mengambil manfaat.

Hikmah dari larangan hukum menggambar nabi muhammad ini, yaitu menjaga kemurnian akidah umat Islam. Dengan tidak adanya lukisan sosok Nabi, tidak akan terjadi pengultusan yang berlebihan terhadap beliau SAW. Pengultusan yang berlebihan dikhawatirkan akan menjerumuskan seseorang kepada pemujaan kepada Nabi SAW melebihi pemujaan terhadap Allah SWT.

Mochamad Ari Irawan