Hukum Mufaraqah: Memisahkan Diri dari Imam saat Shalat Berjamaah

hukum mufaraqah

Pecihitam.org – Ketika menjadi makmum dalam shalat berjamaah, tidak jarang ditengah-tengah shalat muncul problem yang perlu disikapi. Misalnya tentang perincian dan aturan hukum mufaraqah atau memisahkan diri dari imam di pertengahan pelaksanaan shalat berjamaah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Mufaraqah sendiri dapat terjadi ketika makmum melakukan niat memisahkan diri dari imam karena suatu perkara tertentu sehingga shalatnya menjadi sendiri-sendiri.

Misalnya dalam hati makmum melafalkan niat “Nawaitu mufaraqatal imam” atau “Saya berniat memisahkan diri dari imam”, maka pada saat itu pula makmum tidak diperbolehkan untuk mengikuti atau mengiringi gerakan-gerakan rukun imam.

Karena ia sudah dianggap shalat sendirian, sehingga gerakan rukun-rukunnya ditentukan berdasarkan runtutan shalat dirinya sendiri, bukan berdasarkan pada shalat imam.

Perincian hukum tentang mufaraqah ini dapat diilihat dalam kitab Nihayah az-Zain karya Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani:

ونية المفارقة بلا عذر مكروهة مفوتة لفضيلة الجماعة فلا يحرم عليه قطع القدوة بنية المفارقة وإن قلنا إن الجماعة فرض كفاية لأن فرض الكفاية لا يلزم بالشروع فيه إلا في الجهاد وصلاة الجنازة والحج والعمرة ومحل جواز ذلك ما لم يترتب على ذلك تعطيل الجماعة كأن لم يكن هناك إلا إمام ومأموم وإلا حرم لأن فرض الكفاية إذا انحصر تعين فإن كانت المفارقة لعذر كمرض وتطويل إمام وتركه سنة مقصودة وهي ما جبر بسجود السهو أو قوي الخلاف في وجوبها أو وردت الأدلة بعظيم فضلها فلا كراهة ولا تفويت

“Niat memisahkan diri dari imam (mufaraqah) tanpa adanya uzur adalah hal yang makruh dan dapat menghilangkan fadilah jama’ah. Maka tidak haram bagi makmum memutus hubungan dengan imam dengan niat mufaraqah. Meskipun kita berpijak pada pendapat yang mengatakan bahwa shalat berjamaah hukumnya adalah fardhu kifayah. Sebab fardhu kifayah tidak menjadi tetap (wajib) dengan melaksanakannya kecuali dalam bab Jihad, shalat janazah, haji, dan umrah. Ketentuan bolehnya mufaraqah ini selama tidak berakibat pada sepinya jamaah dalam suatu daerah, misalnya seperti tidak ada seorang pun yang shalat berjamaah kecuali imam dan makmum tersebut. Jika kasus terakhir ini terjadi maka haram bagi makmum untuk mufaraqah, sebab fardhu kifayah ketika teringkas pada seseorang, maka berubah menjadi fardhu ‘ain. Jika mufaraqah karena adanya uzur, maka tidak makruh dan tidak menghilangkan fadilah jamaah, seperti makmum merasa sakit, imam memanjangkan shalatnya, atau imam meninggalkan sunnah maqsudah, yakni sunnah-sunnah yang diganti dengan sujud sahwi atau sunnah yang begitu kuat perkhilafan ulama tentang wajibnya melaksanakan sunnah tersebut, atau sunnah yang terdapat dalil yang menunjukkan besarnya fadilah melakukannya” (Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, Nihayah az-Zain, hal. 129).

Hukum asal mufaraqah dengan tanpa adanya uzur adalah makruh dan dapat menghilangkan fadilah jamaah. Misalnya, tanpa adanya sebab apa pun, makmum tiba-tiba mufaraqah maka ini makruh.

Baca Juga:  Apakah Mimisan atau Keluar Darah dari Hidung Bisa Membatalkan Shalat?

Berbeda jika mufaraqah dilakukan makmum karena motif yang memang diperbolehkan, misalnya ketika makmum melihat imam tidak melakukan kesunnahan atau makmum sakit. Maka dalam keadaan demikian, diperbolehkan bagi makmum untuk mufaraqah bahkan bisa menjadi sunah.

Di samping itu, terdapat pula keadaan di mana wajib bagi makmum untuk mufaraqah dari imamnya, yakni saat makmum mengetahui imam melakukan hal-hal yang membatalkan shalat.

Misalkan makmum mengetahui pakaian imam terkena najis yang tidak dima’fu (ditoleransi) atau makmum mendengar kentutnya imam saat sedang shalat. Dalam keadaan demikian wajib baginya mufaraqah dari imam agar shalat makmum tersebut bisa tetap dihukumi sah.

Jika dirangkum secara menyeluruh, hukum mufaraqah terdapat lima perincian yang berlaku bagi makmum, sesuai keadaan dan kondisi yang terjadi pada saat shalat berjamaah.

  • Pertama, wajib. Kondisi yang mewajibkan makmum mufaraqah adalah jika dia tahu bahwa shalat imam batal, baik karena imam terkena najis atau melakukan perkara yang membatalkan salat. Misalnya, makmum melihat najis yang mengenai imam atau melihat sebagian aurat imam terbuka karena sarungnya bolong.
  • Kedua, sunnah. Jika imam sengaja meninggalkan perbuatan yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan di dalam salat, maka makmum disunnahkan mufaraqah dari imam tersebut. Misalnya, imam sengaja meninggalkan tasyahud awal atau qunut, dalam kondisi seperti ini makmum disunnahkan mufaraqah agar bisa melakukan tasyahud awal atau qunut.
  • Ketiga, mubah. Jika imam memanjangkan shalat, maka makmum dibolehkan mufaraqah. Misalnya, imam sujud terlalu lama atau membaca surah yang panjang. Dalam kondisi seperti ini, makmum dibolehkan memilih antara terus berjamaah bersama imam atau mufaraqah.
  • Keempat, makruh. Makmum dihukumi makruh mufaraqah dari imam jika tidak ada uzur tertentu yang membolehkan mufaraqah. Misalnya, makmum mufaraqah dari imam padahal imam tidak melakukan perkara yang membatalkan shalat, tidak meninggalkan perkara yang sangat disunahkan dalam shalat atau imam tidak memanjangkan bacaan surah Al-Qur’an. Dalam kondisi seperti ini, makmum dihukumi makruh mufaraqah dari imam.
  • Kelima, haram. Dalam shalat yang wajib dilaksanakan berjamaah, makmum haram mufaraqah dari imam. Misalnya shalat Jumat. Dalam shalat Jumat, makmum haram mufaraqah karena shalat Jumat wajib dilakukan secara berjamaah.
Baca Juga:  Hukum Menggunakan Metode AAM atau Stem Cell Therapy untuk Mencegah Penuaan

Lima perincian ini secara jelas disebutkan dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin:

والحاصل أن قطع القدوة تعتريه الأحكام الخمسة واجبا ، كأن رأى إمامه متلبسا بمبطل وسنة لترك الإمام سنة مقصودة ، ومباحا كأن طول الإمام، ومكروها مفوتا لفضيلة الجماعة إن كان لغير عذر ، وحراما إن توقف الشعار عليه أو وجبت الجماعة كالجمعة اهـ.

“Kesimpulannya, memutus hubungan dengan imam terdapat lima rincian hukum. Pertama, wajib, seperti saat makmum melihat imam melakukan hal yang membatalkan shalat. Kedua, sunnah, yakni ketika imam meninggalkan sebuah kesunnahan yang dianjurkan (dalam shalat). Ketiga, mubah, seperti ketika imam memanjangkan shalat. Keempat, makruh dan dapat menghilangkan fadilah jamaah, yakni ketika mufaraqah tanpa adanya uzur. Kelima, haram, Yakni ketika syiar shalat berjamaah hanya terwujud pada dirinya atau ketika jamaah merupakan suatu kewajiban, seperti pada shalat Jumat” (Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawy, Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 153)

Lalu bagaimana dengan makmum yang berniat mufaraqah, namun gerakannya mengikuti imam, boleh atau tidak?

Baca Juga:  Fiqih Salat Jumat: Rukun-Rukun Shalat Jumat (Bagian - III)

Menurut ulama Madzhab Syafi’i, mengikuti gerakan imam tanpa menjadi makmum tidak diperbolehkan dan shalatnya dihukumi batal. Karena shalatnya masih terhubung kepada orang yang tidak menjadi imamnya atau juga dianggap mempermainkan shalat (tala’ub bi as shalah).

Namun, menurut sebagian ulama hal tersebut diperbolehkan dalam keadaan:

  1. Apabila dia tidak mengetahui kalau mengikuti gerakan imam, ketika dia sudah mufaraqah membatalkan shalatnya.
  2. Apabila hal tersebut bertujuan menghindari diri dari celaan masyarakat sebab diduga membenci shalat berjamaah.
  3. Apabila menghindari tekanan dari penguasa.

Dengan demikian, hendaknya bagi orang yang melaksanakan shalat berjamaah agar betul-betul memahami ketentuan serta perincian hukum tentang mufaraqah ini. Apabila memang tidak ada hal yang sangat mendesak untuk mufaraqah tak perlu dilakukan. Dengan begitu shalat berjamaah yang dilakukan dapat berjalan dengan baik dan benar.

Dan agar menjadi perhatian, shalat berjamaah merupakan salah satu ibadah yang hukumnya sunnah muakkad (sunnah yang sangat dianjurkan). Bahkan, sebagian ulama menyebut hukumnya fardhu kifayah, sehingga jika suatu daerah sama sekali tidak ada yang mendirikan shalat berjamaah, maka seluruh penduduk di daerah tersebut terkena dosa.

Wallahua’lam bisshawab.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik