Hukum Pernikahan Dalam Islam Beserta Dalilnya

Hukum Pernikahan Dalam Islam Beserta Dalilnya

PeciHitam.org – Pembaca yang budiman, sebagaimana kita ketahui, nikah merupakan sebuah ibadah yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Penjelasan kali ini berfokus pada hukum pernikahan dalam Islam (kapan sunnah, kapan makruh dan seterusnya).

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Secara kebahasaan, nikah bermakna “berkumpul”. Sedangkan menurut istilah syariat, definisi nikah dapat kita simak dalam penjelasan Syekh Zakariya Al-Anshari dalam kitab Fathul Wahab berikut ini:

كتاب النكاح. هُوَ لُغَةً الضَّمُّ وَالْوَطْءُ وَشَرْعًا عَقْدٌ يَتَضَمَّنُ إبَاحَةَ وَطْءٍ بِلَفْظِ إنْكَاحٍ أَوْ نَحْوِهِ

Artinya, “Kitab Nikah. Nikah secara bahasa bermakna ‘berkumpul’ atau ‘bersetubuh’, dan secara syara’ bermakna akad yang menyimpan makna diperbolehkannya bersetubuh dengan menggunakan lafadz nikah atau sejenisnya,” (Lihat Syekh Zakaria Al-Anshari, Fathul Wahab, Beirut, Darul Fikr, 1994, juz II, halaman 38).

Dari sudut pandang hukum, Sa‘id Mushtafa Al-Khin dan Musthafa al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syâfi’i menjelaskan:

حُكم النِكَاحِ شَرْعُا للنكاح أحكام متعددة، وليس حكماً واحداً، وذلك تبعاً للحالة التي يكون عليها الشخص

Artinya, “Hukum nikah secara syara’. Nikah memiliki hukum yang berbeda-beda, tidak hanya satu. Hal ini mengikuti kondisi seseorang (secara kasuistik),” (Lihat Sa‘id Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syâfi’i, Surabaya, Al-Fithrah, 2000, juz IV, halaman 17).

Baca Juga:  Ibu Menyusui Bolehkah Puasa? Ini Penjelasannya untuk Kamu

Dari keterangan tersebut, bisa dipahami bahwa hukum pernikahan dalam Islam akan berbeda disesuaikan dengan kondisi seseorang dan bersifat khusus sehingga hukumnya tidak bisa digeneralisasi. Lebih lanjut, Sa‘id Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha dalam kitab itu memerinci hukum-hukum tersebut sebagai berikut:

1. Sunnah. Hukum pernikahan dalam Islam adalah sunnah karena nikah sangat dianjurkan oleh Rasulullah. Hukum asal nikah adalah sunnah bagi seseorang yang memang sudah mampu untuk melaksanakannya sebagaimana hadits Nabi riwayat Al-Bukhari nomor 4779 berikut ini:

يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج، فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج، ومن لم يستطع فعليه بالصوم، فإنه له وجاءٌ

Artinya, “Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu, maka menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menenteramkan mata dan kelamin. Bagi yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa bisa menjadi tameng baginya.”

2. Sunah Ditinggalkan. hukum pernikahan dalam Islam dianjurkan atau disunahkan baiknya tidak dilakukan. Ini berlaku bagi seseorang yang sebenarnya menginginkan nikah, namun tidak memiliki kelebihan harta untuk ongkos menikah dan menafkahi istri.

Baca Juga:  Suami Melarang Istri Berkarir, Bagaimana Islam Memandang Hal Ini?

Dalam kondisi ini sebaiknya orang tersebut menyibukkan dirinya untuk mencari nafkah, beribadah dan berpuasa sambil berharap semoga Allah mecukupinya hingga memiliki kemampuan. Hal ini senada dengan firman Allah SWT Surat An-Nur ayat 33:

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحاً حَتَّى يُغْنِيَهُمْ اللَّهُ مِن فَضْلِه ِ

Artinya, “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.”

Dalam konteks ini, jika orang tersebut tetap memaksakan diri menikah, maka ia dianggap melakukan tindakan yang dihukumi khilaful aula, yakni kondisi hukum ketika seseorang meninggalkan apa yang lebih baik untuk dirinya.

3. Makruh. Nikah adalah makruh. Ini berlaku bagi seseorang yang memang tidak menginginkan nikah, entah karena perwatakannya demikian, ataupun karena penyakit. Ia pun tidak memiliki kesanggupan untuk menafkahi istri dan keluarganya. Jika dipaksakan untuk menikah, dikhawatirkan bahwa hak dan kewajiban dalam pernikahan tidak dapat tertunaikan.

4. Lebih Utama Jika Tidak Menikah. Hal ini berlaku bagi seseorang yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya, namun sedang dalam kondisi tidak membutuhkan nikah dengan alasan sibuk menuntut ilmu atau sebagainya.

Baca Juga:  Niat Zakat Fitrah dan Tata Cara Pembayarannya

5. Lebih Utama jika Menikah.Hal ini berlaku bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya, serta sedang tidak disibukkan menuntut ilmu atau beribadah. Maka orang tersebut sebaiknya melaksanakan nikah.

Demikian keterangan beberapa hukum pernikahan dalam Islam dan kondisinya kali ini, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Mohammad Mufid Muwaffaq

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *