Mengenal Ibnu ‘Asyur, Ahli Tafsir dan Maqashid Syariah dari Tunisia

Ibnu 'Asyur

Pecihitam.org Bagi yang sering mengkaji kitab tafsir al Misbah karangan Prof Quraish Shihab, bagi yang jeli tentu akan menemukan nama Ibnu Asyur dalam kitab tafsir tersebut. Ibnu ‘Asyur atau yang bernama lengkap Muhammad Tahir Tahir II bin Muhammmad bin Muhammad Tahir bin Muhammad bin Muhammad Syazili bin ‘Abd al-Qadir bin Muhammad bin ‘Asyur.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Beliau lahir di Tunisia tepatnya di sebuah keluarga tehormat yang berasal dari Andalusia pada tahun 1296 H atau 1879 M dan wafat pada tahun 1393 H atau 1973 M. Sang bunya bernama Fatimah yang merupakan anak perempuan dari Perdana Menteri Muhammad al-Aziz bin Attar. Sedangkan Kakek jauhnya Yakni Muhammad bin ‘Asyur mendatangi Tunisia dan kemudian menetap disana pada tahun 1060 H.

Latar Belakang Keluarga

Sebagai seorang ulama besar, tentu yang menjadi pendukung utama tentang mengapa dirinya bisa dikenal sebagai ulama yang sangat produktif ialah, karena keluarganya yang memang berasal dari keluarga yang cukup Religious, bahkan keluarga Ibnu Asyur pun dikenal sebagai keluarga yang pemikir.

Kakek Ibn ‘Asyur salah satunya, yaitu Muhammad Tahir bin Muhammad bin Muhammad Syazili adalah seorang ahli nahwu, ahli fiqih, bahkan pada tahun 1851 menjabat sebagai ketua qadi  di Tunisia. Hingga pada tahun 1860 ia dipercaya menjadi Mufti di negaranya.

Maka tak heran jika Ibn ‘Asyur dibesarkan dalam lingkungan kondusif bagi seorang yang cinta ilmu. Awal mulanya beliau belajar al-Qur’an, baik hafalan, tajwid, maupun qira’at-nya di sekitar tempat tinggalnya. Setelah hafal al-Qur’an, beliau belajar di lembaga Zaitunah sampai ia ahli dalam berbagai disiplin ilmu.

Baca Juga:  Habib Mundzir Al-Musawwa, Seorang Ulama yang Sangat Merindukan Rasulullah

Dan yang perlu digarisbawahi disini ialah Zaitunah merupakan sebuah masjid yang dalam perjalanan sejarah menjadi pusat kegiatan keagamaan yang berafiliasi kepada mazhab Maliki dan hanya sebagian yang menganut mazhab Hanafi. Masjid ini juga merupakan merupakan lembaga pendidikan yang bonafid setaraf dengan al-Azhar.

Selain belajar kepada ayahnya, beliau juga belajar kepada tokoh-tokoh terkemuka di kampung halamannya seperti Syaikh Ibrahim al-Riyahi, Syaikh muhammad bin al-Khaujah, Syaikh ‘Asyur al-Sahili, dan Syaikh Muhammad al-Khadr.

Perjalanan Karier Intelektualnya Ibnu Asyur

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa sekitar awal abad 14 HIbnu ‘Asyur memulai petualangannya menuntut ilmu pengetahuan Islam dengan bergabung dalam lembaga pendidikan Zaitunah, Tunisia. Hingga pada akhirnya Ibn ‘Asyur menjadi salah satu ulama besar di Tunisia. Setelah menyelesaikan pelajarannya di Zaitunah, beliau mengabdikan diri kepada lembaga tersebut dan menempati berbagai posisi di bidang agama.

Karirnya sebagai pengajar bermula pada saat ia menjadi Mudarris (pengajar) tingkat kedua untuk mazhab Maliki di Masjid Zaitunah. Menjadi mudarris tingkat pertama pada tahun 1905. Pada tahun 1905 sampai 1913 ia mengajar di Perguruan Sadiqi.

Baca Juga:  KH Sahal Mahfudz, Ulama Indonesia Ahli Fiqih Sosial

Beliau terpilih menjadi wakil inspektur pengajaran di Masjid Zaitunah pada tahun 1908. Kemudian beliau menjadi anggota dewan pengelola perguruan Sadiqi. Bahkan usai itu beliau diangkat menjadi qadi (hakim) mazhab Maliki pada tahun 1913 dan diangkat menjadi pemimpin mufti (Basy Mufti) mazhab Maliki di negara itu pada tahun 1927.

Dan rupanya, dari berbagai pengembangan yang dilakukan dirinya, beliau pun merupakan seorang mufassir, ahli bahasa, ahli nahwu dan ahli di bidang sastra. Bahkan terpilih menjadi anggota Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyyah di Mesir dan Damsyq pada tahun 195015 dan anggota Majma’ al-Ilmi al-Arabi di Damaskus pada tahun 1955.

Ibnu Asyur dan Dunia Kepenulisan

Namun siapa sangka? Ibnu ‘Asyur tidak hanya mentok kitab tafsir saja, melainkan beliau juga banyak menulis baik berupa buku maupun artikel di berbagai majalah dan koran di Tunisia. Terlebih sebelum menjadi Syekh Besar, beberapa sumber menyatakan bahwa beliau pernah mendapat kepercayaan menjadi Qadhi (hakim) di Tunisia yang kemudian diangkat menjadi seorang penentu fatwa keagamaan (mufti) di negara tersebut.

Kondisi saat itu, Negara sedang dipimpin oleh seorang yang diktator, sehingga nampak seolah menggiring Ibnu ‘Asyur berseteru dengan pemerintah. Kononnya beliau menentang pemerintahan dengan mengumpulkan kekuatan untuk menyampaikan pesan agama. Akibat dari perbuatannya inilah, ia dikabarkan dicopot dari kedudukannya sebagai Syekh Besar Islam.

Baca Juga:  Alasan Ibnu Asyur Tertarik Menulis Kitab Tafsir al-Balaghah al-Quraniyyah

Akhirnya, Ibnu ‘Asyur memutuskan untuk berdiam diri di rumahnya dan menikmati kembali kegiatan rutinnya membaca dan menulis. Dalam masa-masa itu, ia menulis karya tafsir yang kemudian menjadi salah satu karya besarnya yakni kitab Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir. Yakni kitab tafsir yang berjumlah dua belas jilid dan memuat seluruh penafsiran al-Qur’an mulai dari surat yang pertama, al-Fatihah, hingga yang terakhir, an-Nas yang terbagi kedalam tiga puluh juz.

Adapun karya-karya yang beliau tulis dari berbagai macam disiplin ilmu seperti tafsir, maqasid syari’ah, fiqh, usul fiqh, sedangkan tulisan lainnya seperti:

  1. Alaisa al-Subh bi Qarib
  2. Maqasid al-Syari’ah al-Islamiyyah,
  3. Uslul an-Nizam al-Ijtima ‘i fi al-Islam,
  4. al-Waqf wa Asaruhu fi al-Islam,
  5. Uslu al-Insya’i wa al-Khitabah,
  6. Mujiz al Balagah, 
  7. Hasyiyyah ala al-Qatr,
  8. Syarh ’ala Burdah al-Busyiri,
  9. al-Gaits al-Ifriqi, 
  10. Hasyiyyah ’ala al-Mahalli ’ala jam’ al-Jawami’.
Rosmawati