Idlfin! Benamkanlah Diri dalam Kesunyian

membenamkan diri dalam kesunyian

Pecihitam.org – Seorang kiai galau. Hatinya dirundung rasa pesimis. Kiai muda yang mulai mengurus pesantren peninggalan sepuhnya, khawatir jatuh di kubang kemiskinan. Ia lantas sowan-sowan ke kiai-kiai sepuh di berbagai pesantren. Meminta wejangan. Memohon tetesan air sejuk kebijaksanaan agar kegersangan hati bisa subur. Dipenuhi hehijauan rasa yakin atas kemahakuasaan Allah Ta’ala.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

“Ibarat benih, kau baru saja ditanam. Benih itu belum berakar. Jangan syak (ragu), teruskan tafaqquh fid din. Jika benih telah berakar, berkecambah, ia bakal tumbuh jadi pohon yang ajeg.”

Petuah di atas membuat optimisme kiai muda itu bangkit kembali. Ia sangat berterimakasih atas nasihat itu. Kini, kiai muda itu telah membuktikannya. Keistiqamahan dirinya mengaji, tafaqquh fid din membuahkan hasil.

Santrinya semakin membludak. Bilik-bilik tempat santri tidur makin ditambah. Ruang-ruang tempat mengaji makin dibangun. Allah ta’ala membuktikan kuasa atas rizki setiap makhluknya. Sang kiai selalu kecukupan. Bahkan kini telah punyai hunian layak dan mobil. Min haitsu laa yahtasibu.

Cerita di atas saya peroleh dari sumber primer, kiai saya sendiri. Semasa saya nyantri. Hikmah dari cerita tersebut tentu amat dalam. Bahwa kiai juga manusia biasa. Tak terkecuali khalayak awam, kiai pun pernah merasakan deraan rasa mang-mang (syak) atas sifat Allah al-Razzaq, sang Maha Pemberi Rizki. Hikmah berikutnya, bahwa keistiqamahan adalah azimat ampuh untuk membentuk kematangan jiwa seorang hamba. Bahkan jadi magnet kemuliaan.

Baca Juga:  Tanda-tanda Wali Allah Menurut Ibnu Athaillah as Sikandari

كُنْ طالِبَ الإِستِقامَة ولاَ تَكُنْ طالِبَ الكَرَامَة

Jadilah engkau seorang yang istiqamah, jangan jadi seorang pemburu karamah, kemuliaan. Jika kita telah bisa istikamah dalam satu amal kebajikan, amal saleh, kemuliaan—tak dicari pun—bakal datang dengan sendirinya.

Seorang sufi besar, Ibnu ‘Athaillah al-Sakandary, dalam al-Hikam menuliskan satu aforisma yang amat safi dan cendayam. Sebuah ungkapan simpel, tapi kaya akan makna. Ia menuliskan:

ادفن وجودك فى ارض الخمول , فما نبت مما لم يدفن لا يتم نتاجه

Idlfin wujudaka fi ardlil khumul, fama nabata mimma lam yudfan la yatimmu nitajuhu.

Kuburlah dirimu di dalam bumi yang sunyi (jauh dari ketenaran), sebab benih yang tak ditanam (dalam ketaktenaran) tak akan sempurna buahnya.

Hikmah latifah, nasihat lembut Ibnu ‘Athaillah ini sangat dan sangat relevan untuk direnungi pada era modern dewasa ini. Era di mana kita sering kali berlomba-lomba mendapatkan like dan komentar banyak dari satu unggahan tulisan atau foto diri dalam sosial media, misalnya. Di mana perangai narsistik mendiaspora dan merestas kejiwaan kita. Di media sosial nyaris semua orang ingin menunjukkan eksistensinya. Dan kerap kebablasan. Menjadi satu syahwat narsistik.

Baca Juga:  Tujuan Utama Mengamalkan Ajaran Tasawuf dalam Islam

Mengapa harus menjauhi ketenaran?

Kita tahu Iblis adalah makhluk Allah SWT yang sebab kesombongannya didepak dari surga. Iblis merasa lebih baik dari Nabi Adam, dan enggan bersujud padanya. Kesombongan menyeretnya untuk tidak mau bertaubat, mengakui kesalahan. Orang sombong sukar mengakui kesalahan. Orang sombong susah mengakui kelebihan orang lain. Bila kesombongan menyemayam dalam hati kita, kita susah susah untuk bertaubat.

Ketenaran, kemasyhuran, kesohor, adalah teman baik dari kesombongan. KH. Mustofa Bisri atau Gus Mus pernah memberi wejangan—khususnya untuk para santri, bahwa jangan mau terkenal sebab jika telah jadi orang terkenal sukar untuk ngaji lagi. Memang tidak semua orang terkenal berhenti untuk “ngaji” atau belajar. Tapi ketenaran kerap membuat kita sombong dan enggan belajar dari orang lain.

Baca Juga:  Puasa dalam Kacamata Tasawuf - Perjalanan dari Ana Menuju Anta

Kiai saya sering memberi nasihat, jika dipuji orang beristigfarlah dan jika dicaci orang ucapkanlah “alhamdulillah”. Jangan membusungkan dada jika dipanggil “gus”, “ustadz”, “orang saleh”, “ahli shalat”, “dermawan”, dan segala sematan baik atas diri kita. Kita boleh memberikan apresiasi kepada orang yang memuji. Tapi percayalah, kata kiai saya, pujian adalah bisa menimbulkan sifat sombong dalam sanubari.

Idlfin! Benamkanlah diri ini dalam kesunyian. Sunyi dari puja-puji manusia. Istiqamahkan diri dalam satu laku yang jauh dari ketenaran. Bila telah istiqamah, tak dikejar pun, ketenaran, kemuliaan di mata manusia itu akan datang dengan sendirinya.

Wallahul muwaffiq.

Mutho AW

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *