Ijtihad Kolektif dan Individual, Dua Cara Mengambil Kesepakatan Hukum dalam Al Quran

Ijtihad Kolektif dan Individual, Dua Cara Mengambil Kesepakatan Hukum dalam Al Quran

PeciHitam.orgPada prinsipnya, ijtihad dapat dibagi dalam dua bentuk, yakni ijtihad kolektif (jama’i) dan ijtihad individual (fardi). Pembagian ijtihad menjadi dua bentuk ini didasarkan pada praktik ijtihad sejak masa Nabi Muhammad Saw.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Ijtihad fardi (individual) ialah ijtihad yang dilakukan secan mandiri oleh sescorang yang mempunyai keahlian, tetapi hasil ijtihadnya belum mendapat persetujuan dari ulama atau mujtahid lain.

Ijtihad perseorangan ini diakui dalam Islam dan merupakan hak setiap muslim yang memiliki keahlian dalam menganalisis dan mengkaji suatu masalah secara mendalam.

Hasil ijtihad semacam ini bukan merupakan kewajiban bagi orang lain untuk mengikutinya, Pengalaman hasil ijtihad färdi hanya menjadi kewajiban bagi orang yang menghasilkannya.

Pengakuan Islam terhadap ijtihad perseorangan ini cukup beralasan. Dasar pertimbangan yang membenarkannya dapat dilihat pada masa Nabi maupun para sahabat.

Dapat dikatakan, selama 23 tahun wahyu diturunkan kepada Rasulullah Saw, yang meliputi 13 tahun di Makkah maupun 10 tahun di Madinah, Islam telah menumbuhkan benih-benih ijtihad dan metode penggunaannya.

Selama 13 tahun di Makkah, sedikit sekali ayat tentang hukum yang diturunkan dan lebih banyak berkenaan dengan persoalan ideologi, semacam tauhid, kenabian, dan kcbangkitan.

Namun, ayat yang diturunkan di Madinah, yakni sekitar sepertiga al-Quran, banyak menjelaskan prinsip-prinsip hukum ijtihad dan kaidah-kaidah umum inferensi serta mencerminkan prinsip-prinsip ibadah, transaksi, kondisi personal, peradilan, pemerintahan, komunikasi dengan sesama, hukum pidana dan ketentuan hukum lainnya.

Baca Juga:  Ijtihad dan Pembaharuan Hukum Islam Perspektif Mbah Moen

Para sahabat tak jarang pun mendapat pengalaman berijtihad, terutama saat diperintah Nabi Saw, untuk pergi berdakwah di sekitar negeri Islam. Mereka pernah menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang tidak terdapat dalam nas secara jelas dan karenanya mereka berijtihad berdasarkan nas yang ada.

Pada masa ini sebagai contoh, Nabi Saw. menerima dan membenarkan jawaban Mu’adz bin Jabal ketika ditanya oleh beliau, “Ketika Anda hendak memutuskan suatu perkara, sumber mana yang anda gunakan?” Mu’adz menjawab, “Dari ayat al-Quran.”

Nabi Bertanya lagi, “Jika dalam al-Quran Anda tidak menemukan hukum yang pasti tentang perkara tersebut, apa yang Anda lakukan?” Mu’adz menjawab, “Aku mengambil dari ucapan-ucapan engkau yang pernah dengar yang ada dalam diriku.”

Rasulullah Saw. kembali bertanya padanya, “Jika dalam perkara itu, Anda pun tidak pernah mendengar ucapan khusus tentang masalah tersebut dariku, apa yang akan Anda lakukan?’

Mu’adz menjawab, “Aku berijtihad. Yakni dengan kaidah umum ayat-ayat al-Quran dan ucapan-ucapan engkau yang aku miliki, aku menghukumi permasalahan khusus tersebut.” Rasulullah Saw gembira dan bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah mengutus utusan-Nya ke jalan yang benar dan jalan tersebut menjadikan kerelaan Nabi-Nya.

Baca Juga:  Begini Cara Sederhana Agar Kita Bisa Mengenali Hadits Dhaif

Demikian pula instruksi Umar bin al-Khattab r.a. kepada Abu Musa al-Asy’ari untuk berijtihad dengan qiyas. Beliau berkata “Gunakanlah pemahaman secara mendalam menyangkut masalah yang tidak terdapat dalam al-Quran dan al-Sunnah. Cari dan upayakanlah mengenal kemiripan dan keserupaannya, lalu analogikan (qiyas-kan) semua perkara yang semacam itu”.

Pada kesempatan lain, ‘Umar bin al-Khattab ra. berpesan kepada Syuraih, hakim (qadhi), yang diangkatnya: “Apa yang tidak jelas ketentuan hukumnya bagimu dalam Sunnah, maka berijtihadlah dengan akal pikiranmu’.

Ijtihad fardi merupakan langkah awal atau dasar dalam mewujudkan ijtihad kolektif. Kalau tidak terdapat individu yang mampu dan ahli berijtihad, maka tidak akan terjadi ijtihad kolektif yang sangat dibutuhkan keberadaannya.

Adapun ijtihad jama’i (kolektif) adalah ijtihad yang secara bersama atau musyawarah terhadap suatu masalah, dan pengamalan hasilnya menjadi tanggung jawab bersama.

Ijtihad jama’i bisa juga dilakukan oleh seorang mujtahid, tetapi hasilnya mendapat persetujuan ulama lain. Pada tahap ini, ijma’ sebagai sumber hukum Islam ketiga merupakan hasil ijtihad kolektif.

Ijtihad kolektif merupakan cara yang sering dilakukan olch para sahabat ketika akan memutuskan hukum suatu perkara yang belum ada penetapannya -baik dalam al-Quran dan hadis- termasuk ketika Nabi Muhammad Saw. masih hidup.

Baca Juga:  Jangan Pernah Kesampingkan Realitas Jika Hendak Berijtihad

Salah satu atsar (hadis Nabi Saw.) yang dapat dijadikan dasar tentang hal ini ialah jawaban Nabi Muhammad Saw. ketika ditanya oleh Ali bin Abi Thalib ra.

“Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, [Bagaimana] sekiranya suatu perkara diajukan kepada kami yang padanya tidak terdapat nas al-Quran yang menunjukkannya dan juga tidak ada Sunnah?’ Rasulullah menjawab, Musyawarahkanlah perkara itu bersama orang berilmu dari orang mukmin, dan janganlah kamu memutuskannya dengan pendapatmu sendiri’.

Dengan demikian, jelaslah bahwa ijtihad kolektif yang tercermin dalam bentuk musyawarah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya pembinaan dan pelestarian hukum Islam, dengan berupaya mengantisipasi segala permasalahan secara bersama-sama. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Mohammad Mufid Muwaffaq