Ilmu-Ilmu Islam yang Harus Dipahami Pengkaji Pemula

Ilmu-Ilmu Islam yang Harus Dipahami Para Pengkaji Pemula

Pecihitam.org – Memilah-milah ilmu menjadi ilmu Islam dan ilmu yang “tidak” Islam sebenarnya adalah perbuatan dosa dalam pemikiran mutakhir tentang pengetahuan. Sejak kehadiran modernisme Islam dan diketengahkannya wacana Islamisasi Pengetahuan oleh Ismal Raji al-Faruqi, dikotomi ilmu merupakan sesuatu yang tabu dalam dunia Islam modern, baik dalam bidang filsafat, teologi, fiqih, politik, ekonomi maupun pendidikan Islam.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Artikel ini tidak bermaksud untuk mendikotomikan ilmu, melainkan untuk menggambarkan sebagian dari struktur ilmu-ilmu Islam dari dasarnya dan mencoba mengangkat kembali khazanah keilmuan Islam yang nampak merosot popularitasnya, khususnya di kalangan generasi muda. Sebuah paradoks bagi semangat non-dikotomi ilmu.

Untuk mengidentifikasi mana saja ilmu-ilmu Islam itu perlu kiranya merujuk kepada sebuah Hadits Rasulullah Saw yang sudah sangat terkenal yang secara ringkas dipaparkan sebagai berikut:

Seorang lelaki datang menghampiri dan “….duduk di hadapan nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha nabi, kemudian ia berkata: “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.”

Rasulullah menjawab, ”Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya,”….

Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”. Nabi menjawab, ”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,”….

Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang ihsan”. Nabi menjawab,”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.”…

Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga nabi bertanya kepadaku: “Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?” Aku menjawab, ”Allah dan RasulNya lebih mengetahui,” Dia bersabda, ”Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian.” (HR. Muslim)

Baca Juga:  Aqiqah, Sejarah Akulturasi Budaya Arab hingga Islam Nusantara

Hadits tersebut dapat difahami sebagai gambaran tentang tiga dimensi utama ajaran agama Islam, yakni Islam, Iman dan Ihsan. Yang dimaksud “Islam” adalah dimensi syari’at atau ajaran tentang praktek ibadah kepada Allah yang tertuang dalam aturan-aturan hukum.

Yang dimaksud “Iman” adalah dimensi ketuhanan atau teologi, yakni keyakinan kepada Allah dan segala hal yang berkaitan dengan-Nya, seperti keberadaan malaikat, firman-firman-Nya, kenabian, hari akhir dan segala peristiwa seputarnya yang dikenal dengan sam’iyyat, serta perbuatan Tuhan menentukan nasib makhluk-makhluk-Nya. Adapun yang dimaksud “Ihsan” adalah dimensi spiritual atau hubungan keruhanian antara Tuhan dan manusia.

Guna menghasilkan individu muslim yang saleh, masing-masing dari ketiga dimensi inti ajaran Islam di atas dapat diselami oleh umat Islam melalui bangunan-bangunan ilmu yang telah disusun oleh para ulama dan lmuwan Islam.

Dimensi syari’at diwakili oleh ilmu Fiqih. Dalam definisi umumnya Fiqih adalah ilmu tentang hukum-hukum syari’at yang jalan menuju keputusan hukum itu adalah suatu upaya sungguh-sungguh yang secara definitif disebut dengan ijtihad. Untuk kepentingan upaya penetapan keputusan hukum, Fiqih didukung oleh ilmu Ushul Fiqih yang memuat kaidah-kaidah dalam penetapan hukum fiqih.

Subjek ilmu ini tentunya adalah keputusan-keputusan yuridis terhadap objek Fiqih, yakni segala perbuatan fisik manusia, terdiri dari perbuatan ritual (‘ibadah) dan hubungan sesama manusia (mu’amalah), yang dibuktikan kenyataannya melalui pengalaman empiris. Dengan demikian, perasaan dan pikiran manusia bukanlah sasaran hukum Fiqih.

Baca Juga:  Tujuan Utama Mengamalkan Ajaran Tasawuf dalam Islam

Lahan kajian Fiqih yang hanya meliputi perbuatan fisik manusia didukung oleh Hadits Nabi: nahnu nahkumu bi al-zhawahir wa Allah yatawalla bi al-sara`ir (kita menghukum apa yang tampak [saja] dan Allah [yang] menentukan apa yang terbersit dalam hati).

Dimensi ketuhanan diwakili oleh ilmu ketuhanan atau Teologi atau dalam dunia Islam disebut Ilmu Kalam. Ilmu Kalam mengulas berbagai topik ketuhanan yang menarik sekaligus pelik, seperti eksistensi Tuhan, apakah Dia memiliki sifat-sifat, keadilan Tuhan, kebebasan manusia dan kedaulatan Tuhan (free will and determinism), kemakhlukan kitab suci dan lain-lain.

Selain itu, Ilmu Kalam juga membahas perkembangan dan pergulatan aliran-aliran teologis Islam dalam sejarah, seperti Khawarij, Murji’ah, Jabbariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Syi’ah, Asy’ariyah, Maturidiyah dan lain-lain. Ilmu Tauhid dapat dikatakan sebagai turunan dari ilmu Kalam dan produk salah satu aliran Kalam. Konon, Ibnu Taimiyah adalah tokoh yang memperkenalkan ilmu Tauhid ini.

Dimensi spiritual tampil dalam Tasawuf. Sebenarnya Tasawuf lebih pantas diakui sebagai suatu tradisi ketimbang ilmu. Jika teologi adalah resep suatu makanan dan syari’at merupakan cara membuatnya, maka tasawuf adalah pengalaman mencerap rasa makanan itu.

Tasawuf merupakan jalan yang ditempuh oleh segolongan muslim untuk merasakan pengalaman rohaniyah melalui praktek-praktek tertentu. Dengan praktek-praktek tersebut para salik atau sufi (pelaku tasawuf) menapaki tingkatan-tingkatan spiritual (maqam) hingga mengalami penyatuan diri dengan Tuhan yang disebut oleh Abu Yazid al-Bustami ittihad atau hulul oleh Mansur al-Hallaj atau wahdatul wujud oleh Ibnu Arabi. Kesatuan diri itu menghasilkan suatu kondisi dimana seorang sufi menyingkap segala tabir (mukasyafah) dan mendapat pengetahuan suci langsung dari Allah (Ilmu Laduni).

Baca Juga:  Macam-macam Najis dan Cara Bersuci Darinya

Dalam perkembangannya, Tasawuf terbagi dua, yakni Tasawuf Akhlaqi yang bertujuan menjernihkan jiwa sehingga lahir akhlak yang mulia dan Tasawuf Falsafi atau pengalaman spiritual yang dijelaskan melalui prinsip-prinsip filsafat.

Sebagaimana dipaparkan di atas, Fiqih, Kalam dan Tasawuf mewakili dimensi-dimensi inti ajaran Islam dan karena itu ketiganya merupakan ilmu-ilmu Islam. Melalui ilmu-ilmu inti Islam tersebut kita dapat mengkaji Islam secara normatif. Dengan kata lain, Islam sebagai norma-norma yang kita terima apa adanya untuk mengatur kehidupan kita.

Ketiganya mendasari atau berkembangnya ilmu-ilmu lainnya dalam Islam untuk mempelajari Islam secara historis atau Islam sebagai sebuah perkembangan sosial masyarakat dalam sejarah, mulai dari sejarah Islam, Politik Islam, Ekonomi Islam, Pendidikan Islam, hingga yang terbaru, Psikologi Islam.

Kesemuanya itu mewakili dimensi-dimensi lain dalam Islam. Jalaluddin Rakhmat dalam Psikologi Agama: Sebuah Pengantar (2004) menyatakan bahwa setiap agama setidaknya memiliki lima dimensi, yakni: dimensi ideologis (keyakinan, iman), dimensi ritualistik (ibadah ritual), dimensi eksperensial (pengalaman keagamaan, esoteris), dimensi intelektual (keilmuan), dan dimensi konsekuensial (manfaat agama baik untuk individu maupun hubungan sosial).

Pertanyaannya kemudian adalah di manakah letak Filsafat Islam? Yang pasti, Filsafat Islam merupakan sebuah pencapaian gemilang dan telah mempengaruhi perkembangan tradisi dan khazanah intelektual Islam sejak awal masa keemasan Islam hingga kini. Penulis berharap dapat menuliskannya di kemudian hari.

Yunizar Ramadhani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *