Pecihitam.org – Sebagaimana yang telah di sepakati oleh akal kita bersama Pada artikel sebelumnya tentang sifat wajib bagi Allah yang pertama yaitu Wujud, maka pada kesempatan ini penulis akan mencoba untuk menjelaskan dengan sangat rinci, sedikit tentang hal yang berkaitan dengan sifat kedua yang wajib bagi Allah Ta’ala yaitu Qidam (Dahulu)
SIFAT KEDUA YANG WAJIB BAGI ALLAH TA’ALA: QIDAM (قِدَم) , MUSTAHIL ALLAH TA’ALA HUDUTS (حُدُوْث)
Qidam artinya Dahulu, sifat yang berlawanan dengannya adalah Huduts yang berarti baharu. Allah Ta’ala wajib Ia bersifat dengan sifat qidam, mustahil ada sifat baharu pada zat Allah Ta’ala.
Definisi dari pada qidam yakni tiada permulaan bagi keberadaannya, maksudnya adalah keberadaan zat Allah beserta segala sifat-Nya tidak berawal, karena Dialah Yang Maha paling awal. Sedangkan huduts/baharu, keberadaannya tersebut di awali dengan ketiadaan, kemudian baru ada ia setelah di jadikan atau di adakan.
Dalam artian, akal tidak dapat menerima atau mencerna apabila sifat qidam ini tidak ada pada zat Allah Ta’ala dan akal akan menolak apabila sifat baharu ada pada-Nya. Di dalam kita menetapakan sifat qidam tersebut wajib ada pada Allah dan sifat baharu mustahil ada pada-Nya, adalah terlebih dahulu kita kumpulkan bukti atau dalil-dalil yang dapat mendukungnya, baik dalil ‘aqliy maupun naqliy.
Adapun dalil ‘aqlinya (secara akal) sebagai berikut
Jikalau di katakan bahwa Allah Ta’ala itu tidak qadim, maka pastilah dia hadits atau baharu.
Nah, sebagaimana yang pernah saya jelaskan pada artikel sebelumnya yang bertajuk “Ilmu Tauhid Dasar Ahlussunnah wal Jama’ah; Wujud, Sifat Wajib Pertama Bagi Allah SWT” , yang bahwa segala sesuatu yang baharu atau hadits mestilah ada baginya pencipta, yang membuat atau mengadakannya. Akal tidak dapat mencerna sama sekali bila sesuatu yang baharu itu ada atau berwujud ia dengan sendirinya.
Maka jika di katakan Allah Ta’ala itu bersifat baharu, dan makna baharu itu sendiri sebagaimana yang telah di jelaskan di atas adalah sesuatu yang keberadaannya di awali dengan tiada, berarti adanya Allah Ta’ala mestilah ada sesuatu yang lain yang menciptakan-Nya, yang memunculkan-Nya daripada ketiadaan.
Baiklah, lalu kemudian akal akan mencari kebenaran dengan mempertanyakan: siapa yang kemudian menciptakan sang pencipta yang telah menciptakan Allah?, dan bila umpama di jawab, ada Tuhan lain yang menciptakan Tuhan sang pencipta Allah.
Lalu akal akan kembali mempersoalkan: siapa lagi pencipta yang menciptakan sang pencipta yang telah menciptakan Allah ?, hingga seterusnya sampai tak berhujung dan tak ada habisnya.
Konsep argumen yang tak berpenghujung seperti ini dalam ilmu tauhid di istilahkan dengan “tasalsul” (ثَسَلْسُل) yang secara harfiyah berarti “berantai-rantai/barsambung-sambung” tidak berujung.
Kemudian bila di jawab pertanyaan tersebut dengan jawaban “Tuhan lain yang menciptakan Allah tersebut di ciptakan oleh Allah sendiri”, lalu terheran heranlah akal. Bagaimana mungkin Allah di ciptakan oleh Tuhan, lalu Tuhan tersebut di ciptakan oleh Allah?.
Ambillah perumpamaan pada diri kita sendiri. Kita di lahirkan oleh ibu, lalu yang melahirkan ibu kita adalah kita sendiri. Sungguh ungkapan atau opini seperti ini adalah kedunguan yang keji dan sangat parah. Konsep pemikiran yang semacam ini dalam istilah ilmu tauhid di sebut dengan “dur” (دُوْرٌ) yang secara harfiyah berarti “berputar” atau berotasi.
Kedua konsep diatas yaitu “dur” dan juga “tasalsul” adalah bathil, tidak dapat di jadikan sebagai bukti atau dalil oleh akal untuk menetapkan adanya pencipta lain yang menciptakan Allah Ta’ala, oleh karena ini barulah kemudian akal dengan sendirinya akan dapat menerima/menyetujui bahwa Allah Ta’ala itu bersifat dengan sifat qidam tidak huduts/baharu.
Penjelasan konsep akal diatas adalah mengenai zat Allah Ta’ala, dan keputusan akal sudah final yaitu bahwa zat Allah Ta’ala adalah Qadim bukan hadits/baharu. Lalu bagaimana halnya dengan sifat sifat Allah Ta’ala, adakah sifat sifat tersebut qadim ataukah hadits ?
Umpama di katakan, sifat-sifat yang ada pada zat Allah Ta’ala itu baharu. Maka akal akan dengan segera menolak, mengapa demikian ?. karena sesuatu yang tidak dapat di pastikan keberadaan zatnya bila tanpa di dukung dengan sesuatu yang baharu tuk menguatkan/memastikan keberadaan zat itu, maka dapat di pastikan zat tersebut adalah juga baharu atau hadits tidak qadim.
Padahal akal tadi sudah memutuskan sebuah ketetapan final yang bahwa zat Allah Ta’ala adalah qadim. Dengan cara menolak argumen atau konsep adanya sifat huduts pada zat-Nya yang Maha Agung. Oleh karena itu sifat-sifat yang ada pada zat Allah Ta’ala juga wajib qadim/dahulu, mustahil huduts/baharu.
Adapun dalil naqliy (dalil tertulis) tentang qadimnya Allah Ta’ala itu terdapat dalam Al-Quran surat Al-Hadiid ayat 3 :
….هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ
“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir…”
Dan juga terdapat dalam surat Al-An’am ayat 102 :
…. ذَٰلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ, لَاإِلَٰهَ إِلَّا هُوَ, خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ
“demikian itu ialah Allah Tuhan kamu, tidak ada Tuhan selain Dia, Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia….”
Demikian sekelumit pembahasan tentang sifat ke-2 yang wajib serta yang mustahil bagi Allah Ta’ala. InsyaAllah akan kita lanjutkan pada artikel selanjutnya tentang sifat ke-3 yang wajib bagi Allah yakni sifat Baqa dan sifat yang berlawanan dengannya yaitu Fana.
Wallahu A’lam Bisshawaab !