Imam Ibnu Muflih; Tradisi dalam Masyarakat Bukan Bid’ah, Ini Contoh dan Penjelasannya

Imam Ibnu Muflih; Tradisi dalam Masyarakat Bukan Bid'ah, Ini Contoh dan Penjelasannya

PeciHitam.orgPerdebatan dalil tetang bid’ah  antara golongan ahlussunnah wal jamaah dan salafi wahabi memberikan warna tersendiri dalam membuka kajian akademik yang  luas.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Pun tuduhan salafi wahabi kepada Sunni di Nusantara tidak lebih dari pembesar-besaran masalah pokok dan kesalahan identifikasi problematika.

Nalar dalil utama yang selalu dikampanyekan oleh golongan wahabi salafi adalah ketidak-adaan contoh Nabi SAW. Akan tetapi mengabaikan contoh-contoh hadits taqririyah yang pernah didiamkan oleh Nabi SAW ketika menghadapi sebuah problematika keumatan.

Adalah pembongkaran dan pembangunan Ka’bah salah satu contoh adanya pembiaran muhdats yang dilakukan pada masa Nabi SAW karena sudah menjadi tradisi dan tujuan dakwah.

Ka’bah dan Pembongkaarannya

Pada masa Jahiliyyah bertepatan dengan umur Muhammad bin Abdullah SAW 35 tahun, orang-orang Quraisy membongkar Ka’bah dan merekonstruksi bangunannya.

Pada peristiwa ini, diterangkan dalam kitab khulashatu Nuril Yaqin terjadi perdebatan dikalangan Quraisy tentang sosok pemindah Hajar Aswad.

Pada masa itu, tokoh pemindah Hajar Aswad haruslah tokoh yang paling berpengaruh dan kuat dikalangan Quraisy. Kemudian tampillah Muhammad bin Abdullah SAW yang mendapatkan hak untuk memindahkan Hajar Aswad kembali ke Ka’bah.

Namun beliau tidak mengambil hak tersebut dan membuat kebijaksanaan meletakan Hajar Aswad di sebuah kain.

Baca Juga:  Tradisi Beda Pendapat dan Pesantren

Kemudian menginstruksikan seluruh tokoh dari keturunan Quraisy untuk mengangkat ujung kain secara bersamaan. Dengan kebijaksanaan ini perdebatan dan pertentangan dikalangan Quraisy hilang atas inisiatif Muhammad bin Abdullah SAW.

Kisah pembongkaran Ka’bah pada masa Jahiliyyah juga tidak terlepas dari kisah krisis yang melanda kota Makkah. Bahwa pada masa itu, Ka’bah direkonstruksi tidak sesuai ukurannya ketika dibangun oleh Nabi Ibrahim AS. Haditsnya diterangkan dalam kitab shahih Bukhari;

انَّ الرَّسُولَ صلى الله عليه وسلم تَرَكَ الْكَعْبَةَ وَقَالَ لَوْلَا حِدْثَانُ قَوْمِكِ بالْجَاهِلِيَّةَ لفعلتُ (رواه البخاري)

Artinya; ‘Bahwa Rasulullah SAW membiarkan Ka’bah dan mengatakan, kalau bukan karena kaummu (Aisyah RA) baru meninggalkan masa-masa Jahiliyyah maka niscaya saya merekonstruksi Ka’bah’ (HR. Bukhari)

Pun dalam catatan sejarah diterangkan bahwa Ka’bah ketika dibongkar dan direkonstruksi terjadi pengurangan bangunan pondasi sekira 1-1,5 meter dari bangunan saat dibangun oleh Nabi Ibrahim AS.

Tentang masa rekonstruksi Ka’bah terjadi perbedaan pendapat, ada yang mengatakan ketika Nabi berumur 35 tahun dan ada yang mengatakan sebelum era kelahiran Nabi SAW.

Nalar Bid’ah dan Ka’bah

Merujuk pada dalil hadits riwayat Imam Bukhari di atas, Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi al-Hanbali menerangkan panjang lebar tentang pembolehan tradisi dalam Islam. Ibnu Muflih menerangkan dalam kitab Adabul Syar’iyyah mengutip dari Kitab al-Funun;

وَقَالَ ابْنُ عَقِيلٍ فِي الْفُنُونِ لَا يَنْبَغِي الْخُرُوجُ مِنْ عَادَاتِ النَّاسِ إلَّا فِي الْحَرَامِ

Baca Juga:  Lika-Liku Aliran Fundamentalis yang Hanya Memahami Hadis Nabi Secara Tekstual

Artinya, ‘dikatakan oleh Imam Ibnu Aqil dalam kitab al-Funun, Tidak sepantasnya untuk mengingkari/ keluar dari Tradisi kecuali dalam tradisi yang Haram’

Nalar yang terbangun dari hadits Imam Bukhari dan Pendapat Imam Ibnu Muflih Al-Maqdisi al—Hanbali sangat jelas menunjukan muhdats (Hal Baru) yang didiamkan oleh Nabi SAW.

Bangunan Ka’bah diakui sendiri oleh Rasulullah SAW terjadi perubahan bentuk, dan Rasulullah SAW tidak membongkarnya karena menghormati tradisi orang Qurasiy.

Rasulullah SAW yang mana seorang Nabi dan Rasul-pun menghormati Ka’bah sebagai simbol kiblat Islam, namun membiarkan bangunannya tidak sesuai ketika dibangun Nabi Ibrahim AS.

Oleh karenanya, tuduhan bid’ah, sesat dan syirik tradisi Nusantara seperti Tahlilan, Yasinan, Manaqiban, Mitoni dan lain sebagainya tidak dibenarkan dalam Islam.

Pun Nabi Muhammad SAW sangat menghormati Ka’bah dan tidak ada niatan merekonstruksinya karena menghormati tradisi orang Quraisy. Jika diperbandingkan, lebih penting mana mengurusi Ka’bah yang menjadi kiblat Muslim seluruh dunia dengan menuduh bid’ah, syirik dan sesat Tahlilan, Yasinan, Manaqiban, dan Mitoni di Nusantara?

Baca Juga:  Falsafah Punakawan: Semar, Gareng, Petruk, Bagong Nasehat dari Sunan Kalijaga

Tujuan salafi wahabi mengobok-obok tradisi di Nusantara tidak lain hanyalah menimbulkan permusuhan yang tidak perlu. Berabad lamanya, tradisi Islam berupa Yasinan, Tahlilan, Manaqiban, dan Mitoni serta lainnya mampu menggiring penduduk Nusantara untuk mau masuk Islam.

Kedatangan gerakan pemikiran salafi wahabi ke Nusantara menjadikan dakwah yang terbukti sukses mengislamkan banyak orang hanya menambah carut marut.

Kuat argumen yang menunjukan bahwa tradisi di Nusantara seperti Tahlilan, Manaqiban, Yasinan dan lainnya adalah boleh dalam Islam bahkan Mustahabun (dianjurkan).

Tuduhan syirik, sesat dan bid’ah tidka lebih dari kebencian salafi wahabi terhadap Islamnya Nusantara. Ash-Shawabu Minallah

Mohammad Mufid Muwaffaq