Imam Syafi’i; Sejarah Lengkap Perjalanan Intelektual Pendiri Madzhab Syafi’i

imam syafi'i

Pecihitam.org – Nama lengkap Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i al-Muththalibi al-Qurasyi. Nama Syafi’i diambilkan dari nama kakeknya, Syafi’i dan Qusayy bin Kilab adalah juga kakek Nabi Muhammad SAW. Pada Abdul Manaf nasab Asy-Syafii bertemu dengan Nabi Muhammad SAW.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Imam Syafi’i lahir di Palestine tahun 150 H, di sebuah perkampung orang-orang Yaman. Beliau wafat pada usia 55 tahun (tahun 205 H), yaitu hari kamis malam jum’at setelah shalat maghrib, pada bulan Rajab, bersamaan dengan tanggal 28 juni 819 H di Mesir.

Dari segi urutan masa, Imam Syafi’i merupakan Imam ketiga dari empat orang Imam yang masyhur. Tetapi keluasan dan jauhnya jangkauan pemikirannya dalam menghadapi berbagai masalah yang berkaitan dengan ilmu dan hukum fiqih menempatkannya menjadi pemersatu semua imam.

Daftar Pembahasan:

Kelahiran Imam Syafi’i

Idris bin Abbas menyertai istrinya dalam sebuah perjalanan yang cukup jauh, yaitu menuju kampung Gaza Palestina di mana saat itu umat Islam sedang berperang membela negerinya di kota Asqalan. Pada saat itu Fatimah al-Azdiyyah sedang mengandung, Idris bin Abbas gembira dengan hal ini, lalu ia berkata,

“Jika engkau melahirkan seorang putra, maka akan kunamakan Muhammad, dan akan aku panggil dengan nama salah seorang kakeknya yaitu Syafi’i bin Asy-Syaib.”

Akhirnya Fatimah melahirkan di Gaza dan terbuktilah apa yang dicita-citakan ayahnya. Anak itu dinamakan Muhammad, dan dipanggil dengan nama “Asy-Syafi’i”.

Imam Syafii menjadi yatim, ayahnya meninggal saat ia masih sangat kecil kemudian ibunya membawanya ke Mekkah. Di Mekkah Imam Syafi’i dan ibunya hidup dalam keadaan miskin dan kekurangan. Namun si anak mempunyai cita-cita tinggi untuk menuntut ilmu, dan si ibu juga bercita-cita agar anaknya menjadi orang yang berpengetahuan, terutama pengetahuan agama islam. Oleh karena itu si ibu berjanji akan berusaha sekuat tenaga untuk membiayai anaknya selama menuntut ilmu.

Nasab Imam Syafi’i

Idris, ayah Imam Syafii merupakan keturunan dari Al-Muthalib, jadi dia termasuk ke dalam Bani Muthalib. Nasabnya adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdulmanaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah SAW di Abdul Manaf.

Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdul Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy- Syafii adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad SAW. Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim kakek nabi Muhammad SAW bernama Syifa dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid.

Sehingga melahirkan anak bernama As-Sa’ib ayahnya Syafii. Kepada Syafii bin As-Sa’ib ra inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafii Al-Muthallib. Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam.

Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim, adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani Mutthalib, maka Rasulullah bersabda:

“Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal dari satu nasab. Sambil beliau menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangannya. ”

Masa Belajar Imam Syafii

Dalam banyak literatur biografi Imam Syafii tertulis, beliau adalah seorang yang tekun dalam menuntut ilmu, dengan ketekunannya itulah dalam usia yang sangat muda yaitu 9 tahun ia sudah mampu menghafal al-Qur’an, di samping itu ia juga hafal sejumlah hadits.

Diriwayatkan bahwa karena kemiskinannya, Imam Syafi’i hampir tidak dapat menyiapkan seluruh peralatan belajar yang diperlukan, sehingga beliau terpaksa mencari-cari kertas yang tidak terpakai atau telah dibuang, tetapi masih dapat digunakan untuk menulis.

Setelah selesai mempelajari Al-qur’an dan hadits, Imam Syafi’i melengkapi ilmunya dengan mendalami bahasa dan sastra Arab. Untuk itu ia pergi ke pedesaan dan bergabung dengan Bani Huzail, suku bangsa Arab yang paling fasih bahasanya.

Dari suku inilah, Imam Syafi’i mempelajari bahasa dan syair-syair Arab sehingga ia benar-benar menguasainya dengan baik. Pada awalnya Syafi’i lebih cenderung pada syair, sastra dan belajar bahasa Arab sehari-hari.

Tapi dengan demikian justru Allah menyiapkannya untuk menekuni fiqih dan ilmu pengetahuan. Disini ditemukan beberapa riwayat yang membicarakan tentang beberapa sebab yang menjadikan Syafi’i seperti itu.

Suatu hari dimasa mudanya ketika ia berada di atas kendaraan. Dibelakangnya terdapat sekretaris Abdullah az-Zubairi. Imam Syafi’i lalu membuat perumpamaan dengan sebuah syair.

Maka sang sekretaris itu memukulkan cambuknya layaknya seorang pemberi nasehat dan berkata, “orang seperti anda mencampakkann kepribadiannya seperti ini? , bagaimana perhatian Anda terhadap fiqih ?”, Hal ini mempengaruhi dirinya dan membangkitkan semangatnya untuk bergegas belajar kepada Muslim bin Khalid az-Zanji, Mufti Mekkah.

Baca Juga:  Mengenal Imam Asy-Syaukani, Ulama Sunni dengan Produktifitas Tinggi

Sesampainya di Mekkah ketika Imam Syafii ditanya Muslim bin Khalid az-Zanji, “ Darimana Anda?” Syafi’i menjawab, “ Saya dari Mekkah.” Muslim berkata, “ Dimana rumahmu?”., “Di Syaib Al-Khaif.” “ jawab Syafi’i.

Dari suku mana Anda?”. “ Dari Abu Manaf.” Jawab Syafi’i. Kemudian Muslim berkata, “ Hebat! Sungguh Allah telah memuliakan Anda di dunia dan Akhirat. Sebaiknya kepandaianmu anda curahkan kepada ilmu fiqih. Itu lebih baik bagimu.”

Mush’ab bin Abdullah bin Az-Zubair pernah bertemu dengan Syafi’i ketika sedang giat-giatnya mempelajari syair dan nahwu. Mush’ab berkata kepadanya, “ Sampai kapan ini? Jika Anda mau mendalami hadits dan fiqih niscaya akan lebih baik bagimu.

Kemudian Mush’ab dan Syafi’i menghadap Malik bin Anas dan menitipkan Syafi’i kepadanya. Sehingga tidak sedikit pun ilmu yang ia tinggalkan dari Malik bin Anas dan tidak sedikitpun ilmu yang ia lepaskan dari para syaikh di Madinah.

Sesungguhnya Allah telah mempersiapkan Syafi’i menjadi seseorang yang mengenalkan nilai-nilai fiqih dan itu lebih penting daripada bahasa dan sastra. Syafi’i menuntut ilmu di Makkah dan mahir disana.

Ketika Muslim bin Khalid az-Zanji memberikan peluang untuk berfatwa, Syafi’i merasa belum puas atas jerih payahnya selama ini. Ia terus menuntut ilmu hingga akhirnya pindah ke Madinah dan bertemu dengan Imam Malik.

Sebelumnya ia telah mempersiapkan diri membaca kitab Al-Muwaththa’ (karya Imam Malik) yang sebagian besar telah dihafalnya. Ketika Imam Malik bertemu dengan Syafi’i,Imam Malik berkata, “ Sesungguhnya Allah SWT telah menaruh cahaya dalam hatimu, maka jangan padamkan dengan perbuatan maksiat.” Mulailah Syafi’i belajar dari Imam Malik dan senantiasa bersamanya hingga Imam Malik wafat pada tahun 179 H.

Wafatnya Imam Malik berpengaruh besar terhadap kehidupan Imam Syafi’i. Semula ia tidak pernah memikirkan keperluan-keperluan penghidupannya, tetapi setelah kematian gurunya, hal itu menjadi beban pikiran yang tidak dapat diatasinya.

Imam Syafii belajar fiqih pada Muslim bin Khalid dan mempelajari hadits pada Sofyan bin Unaiyah guru hadits di Mekkah dan pada Malik bin Anas di Madinah. Pada masa itu pemerintahan berada di tangan Harun ar-Rasyid dan pertarungan sedang menghebat antara keluarga Abbas dan keluarga Ali. Pada waktu itu pula Imam Syafi’i dituduh memihak kepada keluarga Ali, dan ketika pemuka-pemuka syi’ah di giring bersama-sama.

Tapi karena rahmat Allah beliau tidak menjadi korban pada waktu itu. Kemudian atas bantuan al-Fadlel ibn Rabie, yang pada waktu itu menjabat sebagai perdana menteri ar-Rasyid, ternyata bahwa beliau besih dari tuduhan itu.

Dalam suasana inilah Imam Syafi’i bergaul dengan Muhammad Hasan dan memperhatikan kitab-kitab ulama’ Irak. Setelah itu Imam Syafi’i kembali ke Hijaz dan menetap di Mekkah.

Pada tahun 195 H Imam Syafi’i kembali ke Irak sesudah Khalifah Harun Al-Rasyid meninggal dunia dan Abdullah ibn al-Amin menjadi khalifah. Pada mulanya beliau pengikut Maliki, akan tetapi setelah beliau banyak melawat ke berbagai kota dan memperoleh pengalaman baru, beliau mempunyai aliran tersendiri yaitu mazhab “ qadimnya ” sewaktu beliau di Irak, dan mazhab “ jadidnya “ sewaktu beliau sudah di Mesir.

Kepandaian Imam Syafi’i

Kepandaian Imam Syafii dapat kita ketahui melalui beberapa riwayat dan buku biografi Imam Syafii yang secara ringkas sebagai berikut:

  • Beliau adalah seorang ahli dalam bahasa arab, kesusastraan, syair dan sajak. Tentang syairnya ( ketika baliau masih remaja yaitu pada usia 15 tahun ) sudah diakui oleh para ulama’ ahli syair. Kepandaian dalam mengarang dan menyusun kata yang indah dan menarik serta nilai isinya yang tinggi, menggugah hati para ahli kesusastraan bahasa Arab, sehingga tidak sedikit ahli syair pada waktu itu yang belajar kepada beliau.
  • Kepandaian Imam Syafi’i dalam bidang fiqih terbukti dengan kenyataan ketika beliau berusia 15 tahun, sudah termasuk seorang alim ahli fiqih di Mekkah, dan sudah diikutsertakan dalam majelis fatwa dan lebih tegas lagi beliau disuruh menduduki kursi mufti.
  • Dalam bidang hadits dan ilmu tafsir diketahui ketika beliau masih belajar kepada Imam Sofyan bin Uyainah di kota Makkah. Pada waktu itu beliau boleh dikatakan sebagai seorang ahli tentang tafsir. Sebagai bukti, apabila Imam Sofyan bin Uyainah pada waktu mengajar tafsir al-Qur’an menerima pertanyaan-pertanyaan tentang tafsir agak sulit, guru besar itu segera berpaling dan melihat kepada Imam Syafi’i dulu, kemudian berkata kepada orang yang bertanya:” Hendaklah engkau bertanya kepada pemuda ini”. Sambil menunjuk tempat duduk Imam Syafi’i.

Guru-guru Imam Syafi’i

Imam Syafi’i sejak masih kecil adalah seorang yang memang mempunyai sifat “pecinta ilmu pengetahuan”. Maka sebab itu bagaimanapun keadaannya, tidak segan dan tidak jenuh dalam menuntut ilmu pengetahuan kepada orang-orang yang dipandangnya mempunyai pengetahuan dan keahlian tentang ilmu.

Baca Juga:  Biografi Syaikh Syihabuddin ar Ramli Pengarang Nihayatu al Muhtaj

Diantara Guru-Guru utama yang membina kepada Imam Syafi’i antara lain

Ketika berada di Makkah :

  1. Muslim bin Kholid (guru bidang fiqih)
  2. Sufyan bin Uyainah (guru bidang hadis dan tafsir)
  3. Ismail bin Qashthanthin (guru bidang Al-Qur’an)
  4. Ibrahim bin Sa’id e. Sa’id bin Al-Kudah
  5. Daud bin Abdurrahman Al-Attar
  6. Abdul Hamid bin Abdul Aziz bin Abi Daud

Ketika berada di Madinah :

  1. Malik bin Anas R.A
  2. Ibrahim bin Saad Al-Ansari
  3. Abdul Aziz bin Muhammad Al-Darawardi
  4. Ibrahim bin Yahya Al-Asami
  5. Muhammad Said bin Abi Fudaik
  6. Abdullah bin Nafi Al-Shani

Ketika berada di Irak :

  1. Abu Yusuf
  2. Muhammad bin Al-Hasan
  3. Waki’ bin Jarrah
  4. Abu usamah
  5. Hammad bin Usammah
  6. Ismail bin Ulaiyah
  7. Abdul Wahab bin Ulaiyah

Ketika berada di Yaman :

  1. Yahya bin Hasan
  2. Muththarif bin mizan
  3. Hisyam bin Yusuf
  4. Umar bin Abi Maslamah Al-Auza’I dll.

Murid-murid Imam Syafi’i

Berikut adalah nama-nama murid Imam Syafi’i:

  1. Abu Bakar Al-Humaidi
  2. Ibrahim bin Muhammad Al-Abbas
  3. Abu Bakar Muhammad bin Idris
  4. Musa bin Abi Al-Jarud
  5. Murid-muridnya yang keluaran Bagdad, adalah :
  6. Al-hasan Al-Sabah Al-Za’farani
  7. Al-Husain bin Ali Al-Karabisi
  8. Abu Thur Al-Kulbi
  9. Ahmad bin Muhammad Al-Asy’ari

Murid-muridnya yang keluaran Irak:

  1. Ahmad bin Hanbal ( Imam Hambali)
  2. Dawud bin Al-Zahiri
  3. Abu Tsaur Al-Bagdadi
  4. Abu ja’far At-Thabari

Murid-muridnya yang keluaran Mesir:

  1. Abu Ya’kub Yusub Ibnu Yahya Al-Buwaithi
  2. Al-Rabi’in bin Sulaiman Al-Muradi
  3. Abdullah bin Zuber Al-Humaidi
  4. Abu Ibrahim Ismail bin Yahya Al-Muzany
  5. Al-Rabi’in bin Sulaiman Al-Jizi
  6. Harmalah bin Yahya At-Tujubi
  7. Yunus bin Abdil A’la
  8. Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakim
  9. Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Hakam
  10. Abu Bakar Al-Humaidi
  11. Abdul Aziz bin Umar
  12. Abu Utsman Muhammad bin Syafi’i
  13. Abu Hanifah Al-Asnawi

Para murid Imam Syafi’i dari kalangan perempuan tercatat antara lain saudara perempuan Al-Muzani. Mereka adalah para cendikiawan besar dalam bidang pemikiran Islam dengan sejumlah besar bukunya, baik dalam fiqih maupun lainnya.

Di antara para muridnya yang termasyhur sekali adalah Ahmad bin Hanbal, ia pernah ditanya tentang Imam Syafi’i, dan ia berkata,

“Allah Ta’ala telah memberi kesenangan dan kemudahan kepada kami melalui Imam Syafi’i. Kami telah mempelajari pendapat para kaum dan kami telah menyalin kitab-kitab mereka, tetapi apabila Imam Syafi’i datang kami belajar kepadanya, kami dapati bahwa Imam Syafi’i lebih alim dari orang-orang lain. Kami senantiasa mengikuti Imam Syafi’i malam dan siang. Apa yang kami dapati darinya adalah kebaikan, mudah-mudahan Allah melimpahkan rahmat-Nya atas beliau.”

Madzhab Fiqih Imam Syafi’i

Jika kita lihat dalam sejarah peradaban Islam yang muncul sejak masa Khilafah Islam ‘Abbasiyah (750M-1258M/132H-656H) sampai runtuhnya Khilafah Turki Utsmaniyah bahkan sampai sekarang ini masyarakat Muslim dunia mayoritas memakai rujukan Fiqih Madzhab Imam Syafi’i, seperti: Indonesia jumlah penduduk ± 270 Juta jiwa, mayoritas Muslimnya bermadzab Imam Syafi’i.

Madzhab Syafi’i berkembang di 22 negara-negara Arab (kawasan Teluk Asia, dan Afrika). Begitu juga tidak sedikit menyebar dikawasan Eropa, benua Amerika, negara-negara pecahan Rusia, Rusia, dll.

Universitas Islam tertua di dunia Al Azhar As-Syarief Kairo Mesir sampai sekarang ini mahasiswanya yang didominasi pelajar-pelajar seluruh dunia mayoritas dari segi Fiqih mereka bermadzhab Imam Syafi’i.

Syeikh (Masyaikh) tertinggi Al Azhar adalah didominasi oleh Imam bermadzhab Imam Syafi’I dari sejak runtuhnya Khilafah Fathimiyah (Syi’ah Ismailiyah) di Mesir oleh Shalahuddin Alayyubi (1171M-1250M/567H-648H).

Shalahuddin Alayyubi (Daulah Ayyubiyah) menjadikan madzhab Syafi’i sebagai madzhab resmi negara ketika beliau berkuasa. Untuk mengenal dasar kelebihan madzhab Imam Syafi’i dapat di baca dalam kitab berbahasa Arab yang disusun oleh As-Syeikh Muhammad Nuruddin Marbu Al-Banjari Al-Makki (Ulama asal Indonesia) dengan judul “Asma’ Al Kutub Al Fiqhiyah Lisadatina Al-Aimmah As-Syafi’iyah.”

Terdapat lebih dari 750 ulama-ulama besar bermadzhab Syafi’i yang pemikiran dan karya-karyanya sampai saat ini sudah lebih dari 500 tahun lamanya menjadi rujukan umat Islam dunia. Diantaranya:

  1. Imam Hujjatul Islam Abu Hamid Al Ghazali atau Imam Gozali
  2. Imam Jalaluddin As-Suyuthi
  3. Imam Jalaluddin Al Mahalli
  4. Imam Ar-Rafi’i
  5. Imam Nawawi.
  6. Pencetus Ilmu kalam Ahlussunnah Waljama’ah ‘Asya’irah yaitu Imam Abu Hasan Al’Asyari
  7. Ahli Hadis yang sangat terkenal Imam At-Turmudzi, dll.

Kitab Karya Imam Syafi’i

Dasar mazhab Imam Syafi’I adalah: Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau mewariskan kepada generasi berikutnya sebagaimana yang diwariskan oleh para nabi, yakni ilmu yang bermanfaat. Ilmunya banyak diriwayatkan oleh para murid- muridnya dan tersimpan rapi dalam berbagai disiplin ilmu.

Bahkan beliau pelopor dalam menulis di bidang ilmu Ushul Fiqih, dengan karyanya yang monumental Kitab ar-Risalah. Dan dalam bidang fiqih, beliau menulis kitab Al-Umm yang dikenal oleh banyak alim ulama.

Baca Juga:  Biografi Abu Nasir Muhammad al Farabi Sang Tokoh Filosof Islam

Kitab-kitab karangan Imam Syafi’i di bidang fiqih terdiri dari dua kategori:

Pertama, kitab yang memuat qaul qadim. Untuk kitab ini yang mendokumentasikan tidak banyak. Menurut penelitian yang dilakukan oleh al-Kurdi, hanya ada satu buah kitab saja yang terkenal dengan judul “ al-Hujjah”.

Kedua, kitab yang memuat qaul jadid. Adapun untuk qaul jadid Imam Syafi’i banyak diabadikan pada empat karya besarnya : al-Umm, al-Buwaiti, al-Imla’, dan Mukhtashar al Muzani. Empat kitab ini merupakan kitab induk yang memuat Nas dan kaidah-kaidah pokok Imam Syafi’i yang disajikan sebagai pedoman di dalam memahami, mengkaji, dan mengembangkan mazhab.

Berangkat dari kecintaan dan pemahaman yang mendalam dari mazhab Syafi’i untuk ikut mengabdi dan melestarikan mazhab ini, kemudian mulailah digali manhaj ( metode ) pengolahan mazhab yang praktis agar mudah dikomunikasi oleh kalangan luas.

Imam Al-Haramain al Juwaini termasuk diantara ulama’ yang mengawali langkah ini dengan meresume dan mengomentari kitab-kitab induk Asy-Syafi’i. Beliau memberi kesimpulankesimpulan pokok dan gambaran lebih konkrit terhadap nas-nas Asy-Syafi’i.

Karya besar ini diberi judul “Nihayah Al Mathlab Fi Dirayah Al Mazhab ” Kemudian gagasan ini dilanjutkan oleh murid beliau Al-Ghazali dengan buah karya nya: Al-Basit, Al-Wasit, Al-Wajiz, dan lain-lain. Kemudian disusul oleh Ar-Rafi’i dengan karyanya : Al-Kabir, Al-Muharrar.

Hal ini berlanjut menjadi kecenderungan untuk masa berikutnya. Pada gilirannya beratus-ratus kitab Mukhtasar ( resume ), Syarah ( komentar), Hasyiyah ( analisa dalam bentuk catatan pinggir ) muncul dalam beragam bentuk dan gaya penyampaian yang berbeda.

Kehadiran kitab-kitab itu di tengah-tengah para pengikut Imam Syafi’i mendapatkan sambutan yang menggembirakan, karena dirasakan lebih mudah dipahami dan selalu berkembang mengikuti masalah-masalah aktual.

Akhir Hayat Imam Besar

Diceritakan pada akhir hayatnya, suatu hari Imam Syafi’i terkena penyakit wasir yang cukup parah. Hingga terkadang jika ia naik kendaraan darahnya mengalir mengenai celananya bahkan mengenai pelana dan kaus kakinya.

Wasir ini benar-benar menyiksanya selama hampir empat tahun. Beliau menahan sakit demi ijtihadnya yang baru di Mesir, menghasilkan empat ribu lembar. Selain itu ia terus mengajar, meneliti dialog serta mengkaji baik siang maupun malam.

Pada suatu ketika muridnya Al-Muzani masuk menghadap dan berkata, “Bagamana kondisi Anda wahai guru?” Sambil berdizkir kepada Allah, Imam Syafi’i menjawab, “Aku telah siap meninggalkan dunia, meninggalkan para saudara dan teman, mulai meneguk minuman kematian. Sungguh, Demi Allah, aku tak tahu apakah jiwaku akan berjalan menuju surga sehingga perlu aku ucapkan selamat, atau sedang menuju neraka sehingga aku harus berkabung”.

Setelah itu, Imam S melihat di sekelilingnya seraya berkata kepada mereka, “Jika aku meninggal, pergilah kalian kepada wali (penguasa), dan mintalah kepadanya agar mau memandikanku.”

Lalu sepupunya berkata, “Kami akan turun sebentar untuk shalat.” Imam Syafi’i menjawab, “Pergilah dan setelah itu duduklah disini menunggu keluarnya ruhku.”

Setelah sepupu dan murid-muridnya shalat, sang Imam bertanya, “Apakah engkau sudah shalat?” Mereka menjawab. “Sudah”. Lalu beliau minta segelas air, pada saat itu sedang musim dingin, mereka berkata, “Biar kami campur dengan air hangat”.

Beliau berkata, “Jangan, sebaiknya dengan air safarjal”. Setelah itu beliau wafat. Imam Syafi’i wafat pada malam Jum’at menjelang subuh pada hari terakhir bulan Rajab tahun 204 Hijriyyah atau tahun 809 Miladiyyah pada usia 52 tahun.

Tidak lama setelah kabar kematiannya tersebar di Mesir, kesedihan dan duka melanda seluruh warga. Sejumlah ulama pergi menemui wali Mesir yaitu Muhammad bin as-Suri bin al-Hakam, memintanya datang ke rumah duka untuk memandikan jenazah sang Imam sesuai dengan wasiatnya.

Ia berkata kepada mereka, “Apakah beliau meninggalkan hutang?”, “Benar!” jawab mereka serempak. Lalu wali Mesir memerintahkan untuk melunasi hutang-hutang Imam Safi’i seluruhnya. Setelah itu wali Mesir memandikan jasad sang Imam.

Jenazah kemudian dibawa, sampai ke tanah anak-anak Ibnu Abdi al-Hakam, disanalah jenazah Imam Syafi’I dimakamkan, yang kemudian terkenal dengan Turbah Asy-Syafi’i sampai hari ini. Dan kemudian di sanalah berdiri sebuah masjid yang diberi nama Masjid Asy-Syafi’i.

Wallahu’alam Bisshawab.

*Diolah dari berbagai sumber

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik