Pecihitam.org- Sebagaimana telah maklum bahwa di dalam beberapa kita Fiqh Syafi’iyah telah disebutkan beberapa rukun shalat, termasuk di antaranya adalah berdiri sebagai rukun shalat bagi yang mampu.
Berdiri bagi yang mampu merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan ketika seseorang melaksanakan ibadah shalat. Artinya bagi seseorang yang mampu berdiri, tapi ia shalat dengan posisi duduk misalnya, shalatnya dihukumi tidak sah.
Berdiri bagi yang mampu ditetapkan oleh para Fuqaha’ sebagai bagian dari rukun shalat berdasarkan pada sabda Rasulullah SAW kepada salah seorang sahabat bernama Imran bin Hushain yang menderita wasir (ambeyen), sebagaimana dikutip oleh Syaikh Taqiyyuddin Al-Hishny dalam Kifayatul Akhyar halaman 103.
صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ، فإن لم تستطع فمستلقيا. لا يكلف الله نفسا الا وسعها
“Lakukanlah shalat dengan berdiri. Bila kau tak mampu, maka dengan duduk. Bila kau tak mampu juga, maka dengan tidur miring. Bila tidak mampu, maka dengan tidur telentang. Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai kesanggupannya”. (HR. Tirmidzi).
Dengan hadits ini, kemudian para ulama beristinbath dan menarik kesimpulan bahwa berdiri dalam shalat adalah suatu keharusan.
Bolehnya shalat dengan posisi duduk, tidu miring atau telentang hanya alternatif atau berlaku bila tidak memungkinkan atau tidak mampu shalat dengan posisi berdiri.
Lalu bagaimana penjelasan tentang ketentuan berdiri sebagai rukun shalat?
Masih menurut Syaikh Taqiyyuddin Al-Hishny dalam Kifayatul Akhyar. Beliau menggambarkan bahwa seseorang dianggap berdiri apabila ia berdiri secara tegak.
Bila tanpa sebab tubuhnya membungkuk atau miring di mana sekiranya telapak tangannya dapat menyentuh lutut, layaknya posisi orang rukuk, maka ia tidak dianggap berdiri sehingga shalatnya batal karena rukun berdiri tidak terpenuhi di dalam sebagian shalatnya.
Sedangkan bila orang tersebut mampu berdiri di sebagian shalatnya dan tak mampu berdiri pada sebagian yang lain, maka ia shalat dengan berdiri semampunya dan selebihnya dilakukan dengan duduk (Bisa dilihat dalam Kifayatul Akhyar Juz I halaman 103).
Lebih lanjut Habib Ali bin Hasan Baharun dalam As-Syams Al-Munirah Juz I halaman 182 menyebutkan delapan kondisi yang membolehkan seseorang shalat dengan posisi tidak berdiri.
- Seseorang yang tidak memungkinkan untuk sembuh dari sakitnya kecuali jika ia diam dengan m posisi duduk atau tidur telentang. Dalam kondisi demikian, maka ia shalat dengan duduk atau telentang.
- Seseorang yang sekiranya berdiri akan mengalami daimul hadas (hadas terus menerus, semisal buang angin atau beser) dan bisa menahan hadas ketika duduk misalnya. Maka ia boleh shalat dengan posisi duduk.
- Seseorang yang takut jatuh atau tumbang ketika shalat dengan posisi berdiri.
- Seseorang jika shalat berjamaah tidak kuat dengan posisi berdiri, sedangkan jika shalat sendiri ia mampu berdiri. Maka ia boleh shalat berjamaah dengan posisi duduk, walaupun shalat sendiri dengan posisi berdiri baginya lebih afdhal.
- Seseorang ketika dalam suasana perang, sekiranya ia shalat dalam posisi berdiri, takut terlihat oleh musuh. Maka orang seperti ini boleh shalat dengan posisi duduk.
- Dalam keadaan hujan, seseorang yang shalat di tempat yang sempit sehingga tak memungkinkan shalat dengan posisi berdiri. Maka ia boleh shalat dengan posisi duduk, walaupun shalat dengan menunggu hujan reda baginya lebih utama.
- Seseorang yang sekiranya shalat dengan posisi berdiri tidak bisa terhindar dari melakukan tiga gerakan berturut-turut yang bisa membatalkan shalat. Maka ia wajib shalat dalam keadaan duduk, sebagaimana pendapat Ibnu Makhramah. Tetapi berdasarkan fatwa Ibnu Hajar al-Haitami, orang seperti ini tetap wajib berdiri.
- Seseorang yang jika shalat dengan posisi duduk, ia akan menghadap kiblat, tapi jika berdiri menjadi tidak menghadap kiblat. Orang seperti ini, harus shalat dengan posisi duduk.
Selain hal-hal di atas, perlu dipertegas bahwa kewajiban berdiri ketika shalat hanya berlaku dalam shalat fardlu, tidak dalam shalat sunah.
Kalau shalat sunah seseorang secara mutlak diperbolehkan melakukannya dengan duduk ataupun tidur miring meskipun tidak ada halangan untuk berdiri. Akan tetapi tentu nilai pahalanya berbeda, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW.
إِنْ صَلِّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ. وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِالْقَائِمِ. وَمَنْ صَلِّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِالْقَاعِدِ
“Apabila seseorang (dalam shalat sunnah) shalat dengan posisi berdiri, yang demikian itu lebih baik. Barangsiapa mengerjakan shalat dengan posisi duduk, maka baginya separuh pahala orang yang shalat dengan posisi berdiri. Barangsiapa mengerjakan shalat dengan posisi tidur, maka baginya separuh pahala orang yang shalat sambil dengan posisi duduk”. (HR. Bukhari)
Adapun ketentuan bagi orang yang shalat sunah dengan posisi tidur, ketika ruku‘ dan sujud ia wajib melakukan kedua rukun tersebut secara sempurna, yakni ia mesti bangun duduk untuk kemudian melakukan ruku‘ dan sujud.
يجب على كل من المضطجع والمستلقي أن يقعد للركوع والسجود
Wajib bagi orang yang shalat dengan posisi tidur miring atau telentang untuk duduk ketika hendak melakukan rukuk dan sujud… (Fathul ‘Allam, karya Sayyid Muhammad Abdullah al-Jardani).
Demikian tulisan kami kali ini yang membahas tentang ketentuan berdiri sebagai rukun shalat ketiga. Wallahu a’lam bisshawab.