Ini Perbedaan Konsepsi Politik yang Terdapat Dalam Sejarah Syiah Dan Sunni

Ini Perbedaan Konsepsi Politik yang Terdapat Dalam Sejarah Syiah Dan Sunni

Pecihitam.org- Pembahasan sejarah syiah dan sunni tak bisa luput dengan perbedaan konsepsi politik diantara keduanya. Dalam analisis sejarah ini terdapat tiga pendapat terkait lahirnya Syiah yang menurut penulis patut diketahui.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Pertama, bahwa istilah Syiah sudah dilekatkan oleh Rasulullah saw kepada Ali bin Abi Thalib ra dan pengikutnya. Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Tafsir Al-Durr al-Mantsur meriwayatkan dari Ibnu ‘Asakir kemudian dari Jabir bin Abdullah bahwa Kami sedang bersama Nabi Muhammad saw. Tidak lama kemudian Ali datang.

Lalu Nabi Muhammad saw bersabda, “Demi yang jiwaku berada digenggaman-Nya, sesungguhnya ini (Ali) dan Syiahnya benar-benar orang yang menang di hari kiamat.”

Juga masih dari as-Suyuthi bahwa Ibn Abbas berkata, “Ketika turun ayat, Sesungguhnya orangorang yang beriman dan beramal saleh, mereka itulah sebaik-baik manusia; Rasulullah saw berkata kepada Ali: mereka adalah engkau dan Syiahmu.”

Kedua, Syiah dilekatkan pada orang-orang Islam yang tidak membaiat Abu Bakar ketika peristiwa Saqifah karena meyakini Ali sebagai washi. Dari peristiwa Saqifah diketahui tidak semua umat Islam setuju dengan terpilihnya Abu Bakar sebagai pemimpin.

Selesai penguburan nabi, Fathimah tidak memberikan baiat kepada Abu Bakar selama enam bulan. Termasuk suaminya, Ali, beserta cucu Rasulullah SAW. Setelah wafat Fathimah, baru Ali memberikan baiat kepada Abu Bakar.

Ketiga, Syiah dilekatkan pada umat Islam yang setia bersama Ali setelah peristiwa tahkim (perundingan) yang mengakhiri Perang Shiffin. Dalam perang antara pasukan Muawiyah bin Abu Sufyan melawan pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib, karena terdesak pihak Muawiyah mengajukan perundingan dengan mengacungkan mushaf al-Quran di atas tombak. Atas desakan, Ali meminta Malik Asytar selaku komandan agar menghentikan serangan.

Masing-masing pihak sepakat untuk mengirimkan perwakilan dalam menyelesaikan peperangan. Ali memilih Malik Asytar, tetapi sebagian orang yang berasal dari Arab badawi menolak dan menyarankan Abu Musa AlAsyari sebagai wakilnya.

Baca Juga:  Inilah Sejarah Kelam Wahabi Hingga Berdirinya Kerajaan Arab Saudi

Sedangkan Muawiyah mengutus Amr bin Ash sebagai wakilnya. Keduanya melakukan perundingan di Daumah Al-Jandal, Azruh, dengan waktu sekitar enam bulan (Shafar-Ramadhan 37 H.).

Keduanya sepakat untuk menurunkan jabatan kedua pemimpin kemudian memilih khalifah baru melalui musyawarah. Abu Musa menjadi orang pertama yang naik ke mimbar dan menurunkan Ali dari tampuk khalifah. Kemudian Amr bin Ash dengan tanpa diduga langsung mengukuhkan Muawiyah sebagai khalifah tanpa menurunkannya terlebih dahulu.

Peristiwa itu membuat kecewa sebagian pengikut Khalifah Ali bin Abi Thalib. Mereka meminta Khalifah Ali untuk membatalkannya. Saran mereka ditolaknya karena peristiwa sudah terjadi. Akibat tidak ditanggapi, mereka memisahkan diri dan membentuk kelompok sendiri yang disebut Khawarij. Sedangkan orang-orang Islam yang masih setia dengan Ali disebut Syiah Ali.

Konsepsi Politik Syiah, Menurut Jalaluddin Rakhmat, Syiah dalam strukur politik didasarkan pada ayat Al-Quran bahwa wilayah (kekuasaan) adalah hak Allah, hak Rasulullah saw, dan hak orang-orang beriman. Hal ini tertuang dalam Al-Quran:

“Sesungguhnya, penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)” (QS al-Ma’idah [5]: 55).

Jadi, kepemimpinan Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman sebenarnya satu garis dan bersambung, yaitu mulai dari Allah sampai kepada Rasulullah kemudian orang-orang beriman dari keturunan Rasulullah saw (para Imam dari Ahlulbait).

Kaum Syiah meyakini konsepsi politik berasal bagian dari ushuluddin, khususnya rukun imamah. Para ulama Syiah berdasarkan ajaran Islam memahami bahwa Allah selaku pemegang otoritas tertinggi dalam agama Islam memilih utusanNya yang terpilih, Nabi Muhammad saw, untuk membawa risalah Islam dan menyebarkannya ke seluruh umat manusia sampai menjelang Kiamat.

Peran Nabi Muhammad saw di dunia adalah pembawa syariat dan pembimbing umat manusia. Seiring dengan wafatnya Nabi Muhammad saw maka agama Islam menjadi penutup hingga Kiamat.

Baca Juga:  Sejarah Perang Salib dan Pentingnya Peranan Panglima Salahudin Al-Ayyubi

Meski pembawa ajaran agama Islam tidak ada, tetapi risalah Ilahi berupa ajaran agama Islam tidak berakhir karena penyebaran dan bimbingan dalam agama dilanjutkan para Imam pilihan Rasulullah saw dari Ahlulbait.

Asal Usul Sunni, Agak sulit melacak asal usul Sunni atau Ahlussunnah. Nurcholish Madjid menduga Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas merupakan perintis gerakan kesatuan umat Islam dalam satu jamaah (Ahlu Sunnah wal Jamaah). Kedua orang ini dikenal sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW yang senantiasa memelihara sunah-sunah Rasulullah saw.

Dalam sejarah, istilah Ahlussunnah baru muncul pada masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah di bawah pimpinan Abu Jafar Al-Mansur (754-755 M.) dan Harun Al-Rasyid (785-809 M.) saat munculnya Abu Hasan Al-Asyari (873-935 M.) yang beraliran Asyariyah dan Abu Mansur Muhammad (w. 944 M.) beraliran Maturidiyah. Al-Asyari dan Abu Mansur mengaku dirinya Ahlussunnah.

Dalam perkembangannya, mazhab Ahlussunnah ini terbagi menjadi dua golongan:

Pertama, salafiyah yang diwakili Ahmad bin Hanbal, Abu Al-Hasan Al-Asy‘ari (w. 330 H.), Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (w. 751 H.), dan Muhammad bin Abdul Wahab (w. 1787 M.).

Kedua, khalaf yang diwakili oleh Al-Baqilani (w. 403 H.) dan Al-Juwaini (w. 478 H.).

Jika yang pertama menolak rasionalisme dan cenderung tekstual; sedangkan yang kedua menerima ta`wil dan toleran terhadap sufi serta tidak alergi dengan filsafat.

Konsepsi Politik Sunni, Sejarawan Dudung Abdurahman berpendapat bahwa konsepsi politik Ahlussunnah dihubungkan dengan orang-orang Islam yang menerima kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan dan serangkaian khalifah sesudahnya.

Sedangkan yang menerima keputusan bersama di antara umat Islam (dengan syarat orang Islam) disebut politik Khawarij. Pendapat yang mungkin tepat disebut konsepsi politik Sunni adalah kekuasaan setelah Rasulullah saw. Ada lima bentuk kepemimpinan saat itu, yaitu :

  • Baiat yang dilakukan di Saqifah dalam pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah pertama pascawafat Rasulullah saw.
  • Ta’yin (penunjukan) dilakukan oleh Abu Bakar kepada Umar bin Khaththab sebagai khalifah kedua melalui surat wasiat yang ditulis oleh Utsman bin Affan.
  • Ahl al-hall wa al-‘aqd (dewan formatur) dalam memilih Utsman sebagai khalifah ketiga.
  • Aklamasi (pemilihan langsung) oleh umat Islam secara terbuka dalam pemilihan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat.
  • Tahkim atau syura yang dilakukan dalam pemilihan Muawiyah bin Abu Sufyan. Meski dalam hal ini, pihak Muawiyah melakukan tindakan amoral dan membuat umat Islam terpecah dalam firqah.
Baca Juga:  Gerakan Kaum Sufi dalam Melawan Penjajah Kolonial

Dalam sejarah diketahui bahwa pemikiran politik Sunni berupa teori dari ulama baru muncul akhir periode klasik. Salah satunya dari Abu Hamid Al-Ghazali (wafat 1111 M.) bahwa umat Islam wajib mengangkat seorang kepala negara untuk melindungi kepentingan umat dan membantu dalam urusan dunia dan akhirat.

Umat Islam di mana pun berada wajib taat kepada pemimpin negara dan melaksanakan semua perintahnya. Kepala negara atau raja yang diangkat harus didasarkan pada: akil baligh, sehat jiwa dan jasmani, merdeka, laki-laki, keturunan Quraisy, memiliki kekuasaan yang nyata, memiliki hidayah, memilki ilmu pengetahuan, dan bersikap wara.

Mochamad Ari Irawan