Inilah 3 Pilar Khittah Islam Nusantara yang Perlu Anda Tahu

3 Pilar Khittah Islam Nusantara yang Perlu Anda Tahu

Pecihitam.org – Akhir-akhir ini Islam Nusantara menjadi wacana Publik. Tak hanya di Kalangan warga Nahdlatul Ulama (Nahdliyyin), tetapi seluruh masyarakat Indonesia ikut memperbincangkannya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Seolah-olah ada anggapan bahwa Islam Nusantara adalah hal baru. Hal ini wajar karena Nahdlatul Ulama (NU) adalah ormas terbesar bangsa ini. Jika terjadi perubahan di dalam organisasi ini, pengaruhnya segera dirasakan oleh seluruh Negeri. Karena itu, bentuk apresiasi publik seperti ini sangatlah positif, baik bagi NU maupun bagi Negeri ini.

Baca juga: Kaedah Nahwu Islam Nusantara ala Santri Pondok Pesantren As’adiyah Wajo

Sebagaimana Tema Muktamar NU 2015 di Jombang yang digelar beberapa waktu lalu, Istilah ini memang baru dideklaraasikan. Namun, sebagai pemikiran, gerakan dan tindakan, Islam Nusantara bukanlah hal baru bagi kita.

Islam Nusantara adalah Islam Ahlussunnah wal Jamaah An Nahdliyyah. Mengapa di sini ada perlu penyifatan An Nahdliyyah? Jawabannya adalah karena banyak kalangan lain di Luar NU yang juga mengklaim sebagai pengikut Ahlusunnah wal Jamaah (aswaja) tetapi memiliki cara Pikir, gerakan, dan amalan yang berbeda dengan NU.

Negara Islam di Irak da Suriah (NIIS) pun mengaku sebagai pengikut Ahlusunnah wal Jamaah, tetapi sepak terjang mereka selama ini sangat ditentang NU. Karena itu, Islam Nusantara adalah cara dan sekaligus identitas Aswaja yang dipahami dan dipraktikkan para Mu’assis dan Ulama NU.

Islam Nusantara adalah cara Proaktif warga NU dalam mengidentifikasi kekhususan-kekhususan yang ada pada diri mereka guna mengiktibarkan karakteristik-karakteristik ke-NU-an. Karakteristik-karakteristik ini bersifat peneguhan identitas yang distingtif, tetapi demokratis, toleran dan moderat.

Tiga Pilar Islam Nusantara

Pada dasarnya ada tiga pilar atau rukun penting dalam Islam Nusantara. Pertama, pemikiran (fikrah); kedua, gerakan (harakah); dan ketiga, tindakan nyata (amaliyah).

Pemikiran (Fikrah)

Pilar pertama ini meliputi cara berpikir yang moderat (tawassuth). Artinya, Islam Nusantara berada dalam posisi yang tidak tekstualis, tetapi juga tidak liberal.

Baca Juga:  Islam Nusantara; Konsep Pengamalan Beragama Untuk Indonesia dan Dunia

Tekstualis yang dimaksud adalah berpikir secara kaku pada nash (al-jumuud al-manquulaat) sebagaimana yang terjadi pada kaum Salafi Wahabi di dalam memahami text-text Al-Qur’an.

Salah satu pernyataan Imam Al-Qarafi, ulama usul fikih menyatakan, jika “al-jumuud ‘alaa al-manquulaat abadan dalaal fi al-din wa jahl bi maqasidihi”, pembacaan yang statis (tanpa Tafsir) penafsiran pada hal-hal yang dalil-dalil yang selamanya adalah kesesatan di dalam Agama dan kebodohan tentang maksud-maksud agama.

Liberal dimaksud adalah cara berpikir yang bebas tanpa mengindahkan metodologi yang disepakati di kalangan ulama yang dijadikan pegangan berpikir di kalangan NU.

Gerakan (Harakah)

Pilar kedua adalah gerakan. Artinya, semangat yang mengendalikan Islam Nusantara itu ditujukan pada perbaikan-perbaikan. Tugasnya adalah melakukan perbaikan-perbaikan (reformasi) untuk Jam’iyyah dan Jama’ah yang tak hanya didasarkan pada tradisi, tetapi juga inovasi. Reformasi Islam Nusantara adalah reformasi menuju tahapan yang lebih baik dan secara terus menerus.

Jadi, Posisi Islam Nusantara bukan hanya mengambil hal yang baik saja (al akhdh bl jadid al-ashlah). karena istilah mengambil itu pasif, tetapi juga melakukan inovasi , mencipta yang terbaik. Prosesnya terus menerus. Inovasi pun tak cukup, juga harus dibarengi dengan sikap dan kritis.

Tindakan (Amaliyah)

Pilar ketiga adalah Amaliyah. Islam Nusantara sebagai identitas Aswaja NU menekankan bahwa segala hal yang dilakukan Nahdliyyin harus lahir dari dasar pemikiran yag berlandaskan pada ikih dan usul fikih; disiplin yang menjadi dasar kita untuk menyambungkan amaliyah yang diperintah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

Dengan cara demikian, amaliyah Islam Nusantara itu sangat menghormati pada Tradisi-tradisi serta budaya yang telah berlangsung sejak lama di tengah masyarakat. Tradisi atau budaya yang di dalam usul Fikih disebut sebagai ‘Urf’ atau ‘adat’ tidak begitu saja diberangus, tetapi dirawat sepanjang tidak menyimpang dari Nilai-nilai ajaran Islam. Praktik keagamaan demikian Inilah pada dasarnya yang dilakukan Wali Songo dan kemudian diwariskan para pendiri NU kepada kita semua.

Baca Juga:  Tradisi Rasulan, Cara Para Petani Mensyukuri Hasil Bumi yang Melimpah

Ciri Islam Nusantara

Reformasi (Ishlahiyyah), artinya pemikiran, gerakan, dan amalan yang dilakukan para Nahdliyyin selalu berorientasi pada perbaikan. Pada aspek pemikiran, misalnya selalu ada perkembangan di sana (tatwirul fikrah) dan karena itu pemikiran Islam Nusantara adalah pemikiran yang ditujukan untuk perbaikan terus. Cara berpikirnya adalah tidak statis dan juga tidak keleat batas.

Tawazuniyyah, yang berarti seimbang di segala bidang. Jika sebuah gerakan diimplementasikan, maka aspek keseimbangan juga harus dijadikan pertimbangan. Tawazuniyyah ini menimang dengan keadila

Tatawwu’iyyah, yang berarti sukarela (volunterisme). Satu hal yang harus dipegang dalam kesukarelaan ini adalah dalam menjalankan pemikiran, gerakan, dan amalan, nahdliyyin tidak boleh memaksakan pada pihak lain. Artinya, orang NU harus memperhatikan hak-hak orang di luar NU. Secara internal, warga NU juga tak boleh bersikap fatalistik (jabbariyyah) harus senantiasa berusaha dan berinovasi menegakkan tiga pilar Islam Nusantara tadi. Dengan kata lain, tidak ada pemaksaan, tetapi bukan tidak berbuat apa-apa

Akhlaqiyyah, yaitu segala bentuk pemikiran, gerakan, dan amalan warga Islam Nusantara dilaksanakan dengan santun. Santun di sini berlaku sesuai dengan etika kemasyarakatan dan kenegaraan serta keagamaan.

Tasamuh, yang berarti sikap Toleran. respek kepada pihak lain. Sikap toleran ini tidak pasif, tetapi kritis dan inovatif. Dalam bahasa keseharian warga NU adalah sepakat untuk tidak sepakat.

Secara konseptual, kelima penanda Islam Nusantara tersebut mudah diucapkan tetapi tidak mudah direalisasikan. Sulit di sini berbeda dengan tidak bisa melaksanakan. Misalnya, sikap dalam menyikapi dua arus formalisme keagamaan dan substansialisasi keagamaan berada di tengah. Kedua arus boleh diperjuangkan selama tidak menimbulkan konflik. Prinspi yang harus dipegang dalam hal ini adalah kesepakatan (konsensus), demokratis, dan konstitusional.

Hal penting lain yang ingin penulis sampaikan adalah persoalan Ijtihad. Apakah model Ijtihad Islam Nusantara? Ijtihadnya adalah ijtihad yang selama ini dipraktikan oleh NU. Prinsipnya, Islam tak hanya terdiri pada aspek yang bersifat tekstual, tetapi juga aspek yang bersifat Ijtihadiyah. Ketika kita menghadapi masalah yang tidak ada dalam teks, maka kita menganggap masalah selesai, artinya tidak dicarikan jawaban.

Baca Juga:  Suluk Linglung dan Konsep Ketuhanan Sunan Kalijaga Bagian 1

Islam Nusantara tidak berhenti di sini, tetapi melihat dan mengkajinya lebih dulu lewat mekanisme-mekanisme pengambilan hukum yang disepakati di kalangan Nahdliyyin. Hasil dari mekanisme metodologi Hukum ini harus dibaca lagi dari perspektif Al-Qur’an dan Sunnah. Mekanisme metodologi hukum yang biasa dipakai nahdliyyin di sini misalnya adalah ma_aalahah(kebaikan)

Ilustrasinya, jika sebuah amalan tak ada rujukan di tekstualnya tetapi ia membawa kebaikan di tengah masyarakat, hal itu justru harus dilestarikan: “idzaa wujida nasss fathamma masslahah, idza wujid al-maslahah fathamma shar’ al-laah” (jika ditemukan text, maka di sana ada kebaikan, dan jika ditemukan kebaikan maka di sana adalah Hukum Allah”. Ini uraian singkat dan pokoknya saja, pembahasan lebih lanjut akan dilakukan di ruang yang lebih luas.

Baca juga: Ahlussunnah wal Jama’ah Asya’irah Yang Mendominasi Islamisasi Nusantara

Pada akhir tulisan ini, saya ingin mengatakan Islam Nusantara harus lebih digali lagi sebagai perilaku bangsa agar tidak ada lagi hal-hal yang tidak kita inginkan justru terjadi.

*artikel ini sebelumnya tayang di Harian Kompas edisi, 29 Agustus 2015

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *