Pecihitam.org – Dewasa ini tidak sedikit orang yang mengaku-ngaku atau menyebut dirinya sebagai ulama. Hal ini dikarenakan ia merasa punya ilmu meskipun sebetulnya tidak berkompeten sama sekali. Padahal tidak semua orrang yang memiliki ilmu itu bisa disebut ulama. Mengapa demikian?
Daftar Pembahasan:
Pengertian Ulama
Secara bahasa, kata ulama merupakan jama’ dari ‘alim, artinya orang yang berilmu, yang terambil dari akar kata yang berarti “mengetahui secara jelas”.
Sedangkan menurut Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, secara terminologi, ulama bukan hanya mereka yang mendalami ilmu agama saja melainkan siapapun yang memiliki ilmu di bidangnya. Dengan demikian, siapapun yang memiliki pengetahuan dan dalam disiplin apapun pengetahuan tersebut, maka ia dapat disebut “alim”.
Pengetahuan yang dimiliki inilah kemudian menghasilkan “khasyat”. Menurut Imam Ar-Raghib al-Ashfihani, “Khasyat” adalah suatu rasa takut yang disertai penghormatan yang lahir akibat pengetahuan tentang objek.
Sedangkan menurut Hasan al-Bashri, sebagaimana dikutip oleh Syekh Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya, menjelaskan apabila orang yang berilmu (‘alim) yaitu orang yang takut kepada Allah yang Maha Pengasih, dan menyukai apa yang disukai oleh Allah dan menghindari apa yang dimurkai Allah.
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menjelaskan dalam sabdanya bahwa ulama adalah pewaris para Nabi (al-‘ulama waratsatul anbiya). Para nabi tidak mewariskan harta, hanya ilmu.
Di dalam masyarakat, juga ada beberapa istilah yang berkembang sesuai dengan konteks lokal untuk menyebut ulama. Di Jawa, disebut kiai. Di Sunda, disebut Ajengan. Di Nusa Tenggara Barat disebut dengan istilah Tuan Guru, di Aceh disebut dengan Tengku, di Bugis disebut dengan istilah Gurutta, dan sebagainya.
Dahulu ketika Walisongo masih hidup, para ulama disebut Sunan/Susuhunan. Generasi berikutnya ada yang menggunakan nama “Ki Ageng” dan “Ki Gede”. Generasi setelahnya akhirnya hanya menggunakan nama “kiai” yang sebelumnya hanya dipakai menyebut nama benda-benda yang dihormati.
Ada juga beberapa istilah yang seringkali saling bertabrakan di masyarakat. Yaitu, muballigh, da’i, dan ulama.
- Pertama, muballigh adalah penyampai. Prosesnya disebut tabligh. Mubaligh hanya menyampaikan pesan, dia tidak terikat dengan syarat yang ribet. Karena hanya menyampaikan saja, maka tidak dibutuhkan kualifikasi individu.
- Kedua, da’i yang berarti pengajak atau dakwah. Di sini mulai dibutuhkan kualifikasi individu, sebab dia bukan hanya pengampai pesan, melainkan pengajak/ penyeru. Jika muballigh hanya menyampaikan kewajiban shalat, maka da’i sudah masuk dalam ranah mengajak orang shalat.
- Ketiga seorang “alim ulama”. Dia bukan hanya menyeru dan mengajak, melainkan juga melaksanakan apa yang telah dia sampaikan dan dia serukan.
Kategori yangf ketiga lebih bercorak seorang “alim” di bidang keilmuan agama yang menggunakan tiga level pendekatan: dengan hikmah, dengan mauidzoh hasanah (ujaran yang baik), dan debat/perbantahan yang ekselen (ahsan), sebagaimana diterangkan dalam Surat An Nahl ayat 125.
Ciri-ciri Ulama
Meski dalam pengertian diatas siapapun yang memiliki pengetahuan dalam disiplin apapun pengetahuan tersebut bisa disebut “alim”. Hanya saja, perlu ditambahkan lagi pengertiannya. Berdasarkan QS. Fathir 28, tidak semua yang memiliki ilmu bisa disebut ulama. Sebab, ciri utama seorang ulama adalah khasyatillah, takut dengan Allah.
Menurut KH. A. Mustofa Bisri, di antara ciri ulama adalah “Alladzina yandzuruna ila al-ummah bi’ainirrahmah” yaitu mereka yang melihat umat dengan pandangan kasih sayang. Jiwa pendidik mereka kuat, sebab melihat umat sebagai anak-anaknya yang harus mereka bimbing. Mereka tunjukkan ke jalan yang diridhai Allah (sabili rabbika) bukan dengan pandangan seorang penghukum yang melihat umatnya sebagai calon terdakwa. Mereka yang bukan melihat umatnya sebagai calon penduduk neraka, melainkan melihatnya sebagai kandidat penduduk surga.Karena itu, dalam pendidikan keummatan mereka bisa menempatkan diri kapan menggunakan pendekatan targhib (motivasi) maupun tarhib (intimidasi) yang berkaitan dengan ajaran Islam.”
Dalam Nashaih al-‘Ibad, Syekh Nawawi al-Bantani menjelaskan di antara kriteria mereka yang merugi adalah, “Man istakhoffa bil-ulama’i khasira addin”, barangsiapa yang merendahkan ulama maka dia akan merugi dalam urusan agama. Sebab, jika air tidak mengalir ke tempat yang lebih tinggi, maka demikian pula dengan ilmu. Ia tidak akan pernah masuk ke hati dan pikiran orang-orang yang tinggi hati.
Mengutip perkataan Imam Ibnu Asakir “Luhumul Ulama’ Masmuumah”, daging ulama itu beracun. Yang menghirupnya akan jatuh sakit, yang mencicipinya akan mampus. Artinya, sudah banyak kejadian yang membuktikan apabila ulama itu “malati” (bahasa Jawa: kualat, membawa sial bagi mereka yang memfitnahnya). Biasanya, ketika seseorang memfitnah ulama, Allah membuka aib maupun menimpakan musibah kepada pemfitnahnya.
Mautul Alim, Mautul Alam
Dikatakan bahwa wafatnya seorang ulama adalah bencana bagi semesta alam. Ketika seorang ulama wafat, maka keilmuan, kekayaan pengetahuan, dan karakteristiknya ikut terbawa. Sebab, masing-masing memiliki ciri khas yang berbeda.
Maka, di antara tanda akhir zaman adalah Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Demikian pentingnya kedudukan ulama, ada sebuah maqalah yang mengatakan jika selama 40 hari seseorang tidak duduk dan belajar bersama ulama, maka hatinya akan mengeras.
Abdullah Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu pernah berkata bahwa kematian ulama adalah lubang dalam Islam yang tidak bisa ditambal. Maka, carilah ilmu sebelum ilmu itu dicabut oleh Allah dengan mewafatkan para ulama. Menurut Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karramallahu wajhah, wafatnya seorang ulama ibarat tangan yang terpotong. Tidak akan bisa tumbuh lagi.
Wallahua’lam Bisshawab