Pecihitam.org – Lanskap Islam kekinian tampak lebih semarak. Sebagai agama mayoritas, Islam menemukan momentum ke-mayoritas-annya pada tahun-tahun belakangan. Simbol-simbol Islam mencolok sekali tampil di permukaan.
Kalimat tahlil disablon di topi, kaos, dan bendera. Cadar, jilbab, gamis, dan jenggot mewarnai perbincangan keislaman. Dari perbincangan itu seolah terjadi saling rebut keabsahan syariat. Mana yang lebih syar’i? Siapa paling islami? Tak jarang pula terlontar tanya “siapa yang benar?”
Islam seolah-olah cuma urusan simbol-simbol nir-esensi. Padahal sangat jelas dan dipahami awam sekalipun, bahwa Allah Swt. tak menilai simbol-simbol atau pakaian. Yang menjadi standar islami tidaknya seseorang di mata Yang Maha Esa adalah kesalehan yang terbit dari hati.
Dengan demikian, jika memang ingin tampak sangat islami sesungguhnya dengan membuang jauh atributsi Islam sebagai simbol belaka. Orang bisa sangat islami, jika hatinya benar-benar dekat dengan Allah Swt. Lantas menampilkan air muka teduh di hadapan sesama.
Meminjam istilah al-Maghfurlah KH. Maemun Zubair, sudah saatnya kita meramaikan ajaran Islam. Meramaikan ajaran Islam tak perlu mengurat-otot lantang bertakbir di mana-mana. Tak perlu repot-repot menebang puluhan bambu untuk mengibarkan bendera hitam ala HTI.
Tak perlu susah payah menyablon kalimat thayyibah di topi dan kaos jika kemudian dibawa-bawa ke tempat kotor – kamar mandi atau toilet. Toh memang ajaran Islam tidak sama arti dengan simbol Islam.
Praktik berlebihan mengkampanyekan Islam dengan simbol-simbol seperti itu jumlahnya sangat sedikit. Umumnya dilakukan oleh sebagian muslim urban perkotaan. Mereka itu sedikit, tapi berisik. Dibanding mereka, sebetulnya muslim pondok pesantren tradisional dan muslim di pelosok kampung jauh lebih banyak.
Muslim golongan pesantren dan perkampungan abai atas simbolisme Islam, tapi ramai dengan “ngurip-ngurip” ajaran Islam.
Mari sedikit mengingat figur kiai kampung kita masing-masing. Kiai kampung berbusana sederhana, pecinya hitam, mengenakan sarung yang kerap mengundang iba. Umumnya berprofesi sebagai petani kecil di kampungnya.
Tapi kegigihannya menghidupkan ajaran Islam patut diacungi jempol. Menuntun anak-anak mengenal Islam. Dimulai dari pengajaran alif-ba-ta, mereka tak berisik bertakbir untuk menunjukkan Islam itu a’la wa la yu’la ‘alaih. Kagungan Allah Swt. dibuktikan dengan memasukkan ayat quran ke hati anak didiknya.
Meneropong kembali ke perkotaan, sebagian kecil pentolan komunitas muslim urban terlihat sangat menampilkan simbol-simbol Islam. Baik berupa busana, maupun simbol secara verbal semacam “takbir!”. Naik podium, mereka lantang berorasi Islam adalah bla bla bla. Umbul-umbul hitam bertebaran di kanan-kiri panggung.
Ikat dan topi bertulis kalimat tahlil turut meriuh-rendah di kepala jamaah. Namun, di dalam semarak-gebyar simbol itu tak jarang terlontar wicara yang kurang sopan. Mencela tokoh Islam berseberangan, mengejek figur publik atau simbol negara. Apa benar inilah Islam?
Amat jauh dari hiruk-pikuk parade Islam panggung perkotaan itu, kiai dan santri pondok pesantren tak jemu dan tak lelah mengkaji kitab kuning. Merapal doa dan wirid di keheningan malam. Menyenyatkan diri dari kebisingan laku manusia perkotaan.
Muslim pesantren meramaikan Islam bukan dengan simbol-simbol semata. Mereka memeriahkan Islam dengan tarekat ta’allum. Tarekat kaji-mengkaji teks-teks Islam ini tercermin dalam bait doa ala pesantren di bawah ini:
niat kula ngilari ilmu/anut dateng perentahe Allah/perentahe utusane Allah/ngicalaken kebodohan/nekaaken kepinteran/ngurip-ngurip agama Islam
saya berniat mencari ilmu/mematuhi perintah Allah/perintah utusan Allah/menghilangkan kebodohan/mendatangkan kepintaran/mengidupkan agama Islam
“Ngurip-ngurip” agama Islam perspektif muslim pesantren ialah dengan terus-menerus menyebarkan Islam melalui jalan ajar-mengajar. Justru dengan cara demikian Islam memperoleh keagungannya.
Dengan tanpa menonjolkan simbol-simbol Islam secara vulgar pun orang tahu bahwa pondok pesantren sangat islami. Dengan tanpa meneriakkan kalimat takbir di tempat umum pun orang mafhum bahwa pesantren betul-betul memuliakan kebesaran Allah Swt.
Semangat keberislaman muslim urban perkotaan memang patut diapresiasi. Tapi apa arti satu spirit jika tanpa dilandasi ilmu agama yang mapan. Apa arti teriakan “takbir” jika dihentakkan untuk de-islami-sasi muslim lain?
Wallahul muwaffiq.