Islam Nusantara dalam Cangkir Kopi Kiai Busaeri Ma’mun

kiai busaeri mamun

Pecihitam.org – Contoh paling moncer simbiosis mutualis antara Islam dan budaya adalah praktik dakwah Sunan Kalijaga. Melalui piranti budaya pop wayang kala itu Sunan Kalijaga sukses menyemayamkan Islam di bumi Nusantara, pulau Jawa khususnya. Islam di tangan kanan, budaya di tangan kiri. Kira-kira begitu adagiumnya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Melalui jalan kultur dan budaya, Islam hingga hari ini masih membumi di tlatah Nusantara ini. Pun wayang sebagai warisan leluruh masih eksis di panggung-panggung seni.

Budaya dimanfaatkan sedemikian ciamik jadi piranti i’la kalimatillah. Ngurip-ngurip Agama Islam. Budaya tidak diperlakukan secara antagonis, tapi direkrut dengan keluwesan bersyari’at bagi persebaran risalah Nubuwat.

Masjid, pakaian, sajadah, menara azan, dan lain-lain merupakan produk budaya. Islam memanfaatkannya, walau jelas beda budaya dalam Islam modern dengan Islam masa Nabi. Tak jadi musykilah.

Pada era teknologi sekarang pun Rohaniwan Islam memanfaatkan produk budaya modern seperti youtube sebagai piranti penunjang dakwah islamiyyah. Teknologi tidak dimusuhi. Tapi didekati dan dijadikan sarana dakwah.

Akulturasi Islam sebagai Agama dengan budaya sebagai produk manusia tak bisa terelakkan. Selagi itu maslahat dan tak bertentangan syari’at.

Corak, khashais, wajah Islam paling lantang menyuarakan Islam yang berbudaya, ramah, moderat, toleran ialah Islam bercorak al-Nahdliyyah. Belakangan wacana pergumulan Islam ala Indonesia cum Walisongo ini disebut Islam Nusantara.

Lahirnya istilah itu bukan hendak menerjang nilai universal Islam sebagai Agama semesta, tapi hendak menunjukan pada dunia bahwa Islam bukan Agama sarang terosisme, Islam bukan Agama yang lekat akan kekerasan. Baik kekerasan fisik maupun sosial-budaya. Seperti warsa-warsa yang lampau gencar di Eropa dan Amerika; Islam dinilai lekat akan bunyi “perang”.

Berbicara soal Islam dan budaya, Pesantren tak boleh terlewat sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara yang kaya akan budaya toleran. Di Pesantren, santri bukan hanya berasal dari satu daerah. Berbagai pengelana ilmu itu berangkat dari berbagai kampung dari Kota atau Kabupaten yang berbeda-beda.

Mereka membawa sistim nilai dan budaya masing-masing. Kecenderungan cara pandang, laku hidup, bahasa, dan lain sebagainya tumpah-ruah melebur di dalam bilik-bilik Pesantren, dalam pergumulan keseharian menjadi Santri. Terjadilah kesalingan ta’aruf dan memahami satu sama lain.

Tentu hal tersebut tak lepas dari peran Kiai sebagai pucuk pamomong santri. Pada titik ini profil dan perangai Kiai sangat menentukan corak keseharian santri. Maka, dalam Pesantren unsur keteladanan menjadi hal penting. Santri dididik bukan cuma menghafal dan memahami berbagai turats, tapi juga belajar praksis. Laku praktik tersebut linear dengan keteladanan sang Kiai.

Di bumi Pesantren berumur lebih dari tiga abad, ada sosok Kiai unik nan nyentrik. Namanya Kiai Busaeri Ma’mun, salah seorang Pengasuh Pesantren dari lebih 40 Kiai di Babakan Ciwaringin Cirebon.

Kiai Busaeri merupakan cucu KH. Muhammad Sanusi Al-Babakani, sosok Kiai legendaris Cirebon masa awal Revolusi Kemerdekaan hingga era 70-an. Abah Buser, panggilan karibnya, tergolong Kiai muda. Tapi orang kerap menilainya sebagai Kiai muda yang berilmu tua.

Selain mengasuh Ponpes Attaqwa peninggalan sesepuhnya, Abah Buser selalu turun ke bawah ke masyarakat. Beliau bukan sosok Kiai Panggung, dakwahnya lebih sering melalui tongkrongan-tongkrongan informal dengan kopi hitam tersaji. Tak pilih jamaah, mulai dari Kiai kampung hingga begundal didekati oleh Abah Buser.

Salah satu praktik dakwah paling menyentuh hati saya adalah ketika Abah Buser mendidik satu keluarga untuk belajar salat. Mulai dari cara berwudhu yang baik dan benar, hingga gerakan dan bacaan salat dari takbir hingga salam. Itu dilakukan beliau kala pengajian di Pesantren rampung. Jadi dilakukan malam hari hingga larut malam.

Beliau sangat suka ngopi. Istilah ngopi di telinga saya lebih merupakan ngaji bersama beliau. Abah Buser adalah adik Kiai saya, Kiai Ali Munir. Walau beda Pesantren, Abah Buser sering ngopi di Kantor Pusat Pesantren di mana saya nyantri. Mungkin, cuma beliau pengasuh Pesantren di Babakan yang membaur dengan santri; ngopi dan merokok berjamaah.

Kelakar, lelucon, cerita-cerita humor amat lekat ketika ngopi bersama Abah Buser. Di balik segala leluconnya banyak ilmu dan hikmah yang saya dan santri lain dapati. Yang tidak ada ketika dalam pengajian formal terjadwal. Tak cuma ilmu, Abah Buser juga seringkali memberi kopi dan rokoknya pada kami yang kebetulan sedang nelangsa sebab uang bestel belum juga tiba.

Ngopi menjadi sarana Abah Buser menanamkan benih ilmu dalam jiwa kami dan masyarakat. Melalui tongkrongan-tongkrongan di kampung, beliau berdakwah. Menyebarkan kebenaran, risalah Islam dengan tanpa marah-marah. Melalui kelakar dan guyon Abah Buser menampilkan wajah Islam yang segar tak mengandung debar.

Tampaknya bukan hanya Kiai Busaeri Ma’mun yang menampilkan wajah Islam yang elok, indah, ramah, dan penuh humoritas. Nyaris semua Kiai NU berperangai demikian. Kaya akan humor dan berwajah Islam yang ramah; Islam Nusantara.

Baca Juga:  Mengenal KH. Makshum Ali, Ulama Islam Nusantara yang Mendunia

Wallahul muwaffiq.

Mutho AW

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *