Islam Nusantara: Definisi, Sejarah Singkat dan Karakteristiknya

islam nusantara

Pecihitam.org – Di Indonesia berkembang sebuah istilah yaitu Islam Nusantara. Oleh beberapa kalangan yang tidak suka istilah ini kemudian dianggap bermasalah karena ada dua hal. Pertama, oleh sebagian umat Islam, istilah Islam Nusantara dianggap menyalahi Islam yang satu. Islam dinilai haruslah satu, tidak ada varian-varian diantara Islam itu sendiri. Yang kedua, Islam Nusantara dianggap memicu perpecahan di tengah umat Islam.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sebagian umat Islam keberatan dengan istilah Islam Nusantara, karena mereka menganggap ini adalah paham yang salah. Padahal sebetulnya mereka yang salah paham terhadap Islam Nusantara itu sendiri.

Daftar Pembahasan:

Apa Itu Islam Nusantara?

Islam Nusantara bukanlah model Islam baru tapi merupakan suatu wujud empiris Islam yang dikembangkan di Nusantara setidaknya sejak abad ke-16. Model Islam ini sebagai hasil dari interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, interpretasi, dan vernakularisasi terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam yang universal, sebagaimana yang sesuai dengan realitas sosio-kultural Indonesia.

Istilah Islam Nusantara secara secara resmi diperkenalkan dan digalakkan oleh organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama pada 2015, dan pada bulan Juni di tahun yang sama Presiden Joko Widodo telah secara terbuka memberikan dukungan kepada Islam Nusantara, karena dianggap cocok dengan nilai budaya Indonesia.

Islam Nusantara didefinisikan sebagai penafsiran Islam yang mempertimbangkan budaya dan adat istiadat lokal di Indonesia dalam merumuskan fikihnya. Selain itu juga sebagai bentuk penafsiran alternatif masyarakat Islam global yang selama ini selalu didominasi perspektif Arab dan Timur Tengah.

Sejarah

Penyebaran Islam di Indonesia merupakan proses yang panjang, perlahan, bertahap, dan berlangsung secara damai. Menurut para sejarawan Islam datang secara langsung dari jazirah Arab sebelum abad ke-9 M.

Meski demikian ada pula yang menyebutkan peranan kaum pedagang dan ulama Sufi yang membawa Islam ke Nusantara pada kurun abad ke-12 atau ke-13, baik melalui Gujarat di India atau langsung dari Timur Tengah. Kemudian pada abad ke-16, Islam akhirnya menggantikan dominasi agama Hindu dan Buddha sebagai agama mayoritas di Nusantara.

Islam tradisional yang pertama kali berkembang di Indonesia adalah cabang dari Sunni Ahlussunnah wal Jamaah, yang diajarkan oleh kaum ulama, para kiai di pesantren. Seiring berkembangnya waktu, beberapa aspek dari Islam tradisional kemudian memasukkan berbagai budaya dan adat istiadat setempat.

Baca Juga:  PBNU Tegaskan Paham Islam Nusantara Bukan Agama Baru

Praktik Islam awal di Nusantara sedikit banyak dipengaruhi oleh ajaran Sufisme dan aliran spiritual Jawa yang telah ada sebelumnya. Beberapa tradisi, seperti menghormati kyai/ulama, menghormati tokoh-tokoh Islam seperti Wali Songo, ziarah kubur, tahlilan, dan memperingati maulid nabi, termasuk perayaan sekaten, selalu dijalankan oleh Umat Muslim tradisional Indonesia.

Namun, setelah datangnya Islam aliran Salafi modernis yang disusul datangnya ajaran Wahabi dari Arab cukup memberikan benturan aliran di masyarakat. Golongan Islam puritan skripturalis ini menolak semua bentuk tradisi Islam yang sudah lama berkembang di Indonesa dan mencelanya sebagai perbuatan syirik atau bidah, direndahkan sebagai bentuk sinkretisme yang merusak kesucian Islam.

Kondisi ini telah menimbulkan ketegangan beragama, kebersamaan yang kurang mengenakkan, dan persaingan spiritual antara kelompok satu dengan yang lainnya.

Sedangkan warga Indonesia secara seksama memperhatikan kehancuran Timur Tengah yang tercabik-cabik konflik dan perang berkepanjangan; mulai dari Konflik Israel–Palestina, Kebangkitan dunia Arab, perang di Irak dan Suriah dan lain sebagainya.

Karena disadari bahwa ada aspek keagamaan dalam konflik ini, yaitu munculnya masalah kelompok Islam radikal. Indonesia sendiri aliran radikal ini cukup meresahkan, bahkan juga terjadi serangan teroris yang dilancarkan oleh kelompok jihadi seperti Jamaah Islamiyah yang menyerang Bali tahun 2002.

Doktrin Salafi dan Wahhabi yang disponsori pemerintah Arab Saudi selama ini memang diakui cukup mendominasi diskursus global mengenai Islam. Kekhawatiran ini semakin diperparah dengan munculnya ISIS pada 2013 yang melakukan tindakan kejahatan perang nan keji atas nama Islam.

Di Indonesia, beberapa organisasi berhaluan Islamis seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), juga Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah secara aktif masuk dalam dunia politik Indonesia dalam beberapa waktu terakhir. Hal ini kerap dicurigai dapat melemahkan nilai-nilai Pancasila.

Akibatnya, muncullah desakan dari golongan cendekiawan Muslim moderat yang hendak mengambil jarak dan membedakan diri mereka dari apa yang disebut Islam Arab, dengan mendefinisikan Islam ala Indonesia.

Dibandingkan dengan Muslim Timur Tengah, umat Islam di Indonesia menikmati perdamaian dan keselarasan selama beberapa dekade. Hal ini dipercaya berkat pemahaman Islam di Indonesia yang lebih bersifat toleran, moderat dan inklusif.

Baca Juga:  Meneladani Strategi Dakwah Sunan Gunung Jati

Selaain itu semakin tingginya dukungan dari dunia internasional untuk mendorong Indonesia yang notabene negara berpenduduk Muslim terbesar, agar berkontribusi dalam evolusi dan perkembangan dunia Islam, dengan menawarkan aliran Islam Nusantara sebagai alternatif terhadap gerakan Wahhabisme Saudi. Dari sinilah kemudian Islam Nusantara diidentifikasi, dirumuskan, dipromosikan, dan digalakkan.

Karakteristik

Karakteristik utama dari Islam Nusantara adalah tawasut (moderat), rahmah (pengasih), anti-radikal, inklusif dan toleran. Kemudian hubungannya dengan budaya lokal, lebih menggunakan pendekatan yang simpatik dalam menjalankan syiar Islam, tidak menghancurkan, merusak, atau membasmi budaya asli. Namun, merangkul, menghormati, memelihara, serta melestarikan budaya lokal bahkan sampai dengan ranah fikih.

Islam Nusantara dikembangkan secara lokal melalui institusi pendidikan tradisional pesantren. Pendidikan ini dibangun berdasarkan sopan santun dan tata krama ketimuran seperti hormat kepada kiai atau ulama sebagai guru agama. Para santri memerlukan bimbingan dari guru agama mereka agar tidak tersesat sehingga mengembangkan paham yang salah atau radikal.

Salah satu aspek khas adalah penekanan pada prinsip Rahmatan lil Alamin (rahmat bagi semesta alam) sebagai nilai universal Islam, yang memajukan perdamaian, toleransi, saling hormat-menghormati, serta pandangan yang berbeda-beda dalam hubungannya dengan sesama umat Islam, dan juga hubungan antar pemeluk agama lain.

Benarkah Islam Nusantara Anti Arab?

Menganut Islam, sudah pasti harus berpedoman pada al-Qur’an dan al-Hadits. Kedua sumber Islam ini jelas 100% berbahasa Arab. Tidak mungkin seorang muslim bisa membaca dan memahami al-Quran dan Hadits dengan baik tanpa mahir berbahasa Arab.

Oleh karena itu, jika Anda belajar di Pondok Pesantren lembaga pengusung Islam Nusantara pertama, yang diajarkan adalah bahasa Arab. Mulai dari cara menulis Arab yang benar (Khoth, Imla’), melafalkan al-Quran sesuai dengan tajwid dan makhorijul huruf, hingga belajar gramatika bahasa Arab (nahwu), morfologi Arab (sharaf), semantika Arab (balaghah), leksikologi Arab (mu’jamiyat), bahkan juga sastra Arab (badi’, bayan, ma’ani, qawafi, ‘arudl, dll).

Kitab-kitab kuning berbahasa Arab tentang ilmu-ilmu bahasa Arab ini, jika belajarnya dari dasar, tidak habis dipelajari dalam waktu 5 tahun.

Islam Nusantara tidak anti Arab. Malah, mereka ahli berbahasa Arab, baik dalam tulisan maupun ucapan. Adalah persepsi yang salah bahwa Muslim Nusantara anti Arab dan alergi dengan Arab.

Baca Juga:  Ki Dalang Sunan Kalijaga, Cermin Islam Nusantara

Dalam waktu yang sama, para santri juga belajar ilmu-ilmu keislaman, yang semua sumber belajarnya berbahasa Arab. Bidang kajiannya beragam ada ilmu fiqh (hukum Islam), ilmu ushul fiqh (metodologi hukum Islam), ilmu qawa’id fiqhiyah (prinsip-prinsip yurisprudensi), tafsir al-Qur’an, Hadits dan syarahnya, ‘ulumul Qur’an, ‘ulumul Hadits, tarikh (sejarah), ilmu falak, dll. Sekali lagi, semua sumber ilmu ini juga berbahasa Arab.

Jika anda cermati pula, sebagian besar nama-nama kyai dan santri pengusung Islam Nusantara beserta keluarganya juga menggunakan nama Arab. Tulisan mereka di Pesantren juga menggunakan bahasa Arab atau Arab pegon. Bahkan, nyanyian nasionalisme Indonesia yang sekarang ini marak didengungkan setiap ceremoni juga berbahasa Arab. Yakni, Mars Yalal Wathon.

Dalam implementasi dan amaliah budaya, Islam Nusantara sepenuhnya menggunakan nalar dan praktik kebudayaan lokal. Lebih spesifik kebudayaan Indonesia. Bukan kebudayaan Arab namun mereka tidak Arabis dan bukan penganut Arabisme.

Sampai sini, terang benderang bahwa Islam Nusantara tidaklah anti Arab. Malah, mereka ahli berbahasa Arab, baik dalam tulisan maupun ucapan. Adalah persepsi yang salah bahwa Islam Nusantara anti Arab dan alergi dengan Arab.

Pun fitnah yang keji, sebagaimana pernah terjadi tuuhan bahwa sholat muslim Nusantara menggunakan bahasa non-Arab. Jangankan ibadah sholat yang jelas disyariatkan, doa, sholawatan, bahkan lagu nasionalisme Indonesia juga berbahasa Arab.

Namanya saja Islam Nusantara, maka aqidahnya jelas Islam, berpedoman pada al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Namun dasar kebangsaan kami adalah Pancasila dan UUD 1945. Praktik kebudayaannya adalah kebudayaan yang berlaku dan berkembang di Indonesia.

Wallahua’lam

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik