Inilah Dasar-Dasar Kaidah Ushul Fiqh yang Setiap Orang Harus Paham

Inilah Dasar-Dasar Kaidah Ushul Fiqh yang Setiap Orang Harus Paham

PeciHitam.org Fikih dalam Islam mengandung dimensi Hukum yang berkaitan dengan Ibadah. Seringkali fiqih disamakan dengan Hukum itu sendiri, walaupun masing-masing memiliki perbedaan. Kedekatan dan pembahasan Fiqih yang berkaitan dengan hukum-hukum ibadah dan keseharian semakin mendekatkan anggapan ini.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Bahasan dalam fikih memang tidak pernah terlepas dengan hukum yang selalu mengikuti setiap kaidahnya. Baik bahasan tentang shalat, wudhu, bersuci, zakat, haji, puasa dan lain-lain akan mempunyai dimensi hukum.

Pendapat Ulama, menyamakan Fikih dengan Syariat, yang menjadi 3 pilar Ilmu Islam disamping Akidah (teologi) dan Tassawuf (Akhlak). Oleh karenanya mempelajari syariat tidak akan bisa melepaskan diri dari mempelajari Fikih.

Antara fikih dan syariat juga memiliki perbedaan, karena syariat tidak akan pernah berubah, akan tetapi fikih bisa berubah setiap saat. Sederhananya, fikih merupakan Ilmu yang mengupas tentang syariat. Dan fikih berjalan dengan nalar-nalarnya yang disebut kaidah Ushul Fiqh.

Daftar Pembahasan:

Apa Itu Ushul Fiqh?

Kata Ushul berasal dari bahasa Arab yang bermakna dasar, pondasi dan landasan, yakni Al-Ashlu. Kata ini bisa juga diartikan sebagai dalil untuk membenarkan sesuatu. Sedangkan fikih bisa dimaknai sebagai pemahaman kepada hukum dan syariat Islam.

Jika digabungkan, kata Ushul dan fikih akan menjadi dasar untuk memahami syariat dan hukum Islam. Imam Ibnu Hajib al-Maliki mendefinisikan Ushul Fikih sebagai;

العِلْمُ بالْقَوَاعِدِ الَّتِي يَتَوَصَّلُ بِهَا اِلَى اِسْتِنْبَاطِ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيِّةِ الفَرْعِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التًّفْصِيْلِيَّةِ

Artinya; “Mengetahui kaidah-kadiah yang membawa kepada pengambilan hukum syar’i bercabang dari dalil-dali terperinci”

Pengertian Ushul Fikih di atas mengindikasikan bahwa Ilmu ini bertugas sebagai alat/ pisau analisis untuk memahami kaidah pengambilan hukum dari dalil tertentu. Nalar fikih dalam Islam adalah logika hukum yang menjadi dasar dalam pengambilan simpulan hukum tertentu.

Sasaran atau bahasan Ushul Fikih adalah membahas dan membuat kaidah bersifat umum, bukan membahas rincian hukum. Tugas hukum yang rinci adalah tugas Ilmu fikih, sedangkan Ushul Fikih bertugas sebagai sarana penyedia kaidah yang dijadikan rujukan untuk menganalisis hukum yang  akan diambil.

Baca Juga:  Wajib Kamu Tahu! Inilah Waktu Yang Makruh Untuk Shalat

Ilustrasi untuk menggambarkan Ushul Fikih sebagaimana penarikan kaidah dasar Ushul Fiqh dalam surat al-Isra’ ayat 78;

أَقِمِ الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا (٧٨

Artinya; “dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)” (Qs. Al-Israa’: 78)

Ayat di atas adalah perintah tentang shalat yang wajib dikerjakan oleh kaum Muslim. Redaksi ayat yang  digunakan pada awal ayat tersebut adalah fi’il Amr atau ‘Kata Perintah’ (أَقِمِ الصَّلاةَ). Kandungan Hukum dari ayat  ini menunjukan ‘Kewajiban Shalat’, dan kaidah Ushul Fiqh dari ayat ini adalah;

اَلْأَصْلُ فِيْ اْلأَمْرِ لِلْوُجُوْبِ

“Perintah pada dasarnya berarti wajib”

Kaidah Ushul Fiqh akan berlaku umum kepada setiap dalil yang menggunakan Fi’il Amr (Kata Perintah) maka akan dipahami sebagai ‘Kewajiban Syar’i dalam Islam’. Penggunaan Kata Perintah dalam shalat dalam pandangan ahli Ushul Fikih menunjukan bahwa shalat adalah Kewajiban.

Sebagaimana sebuah kewajiban, jika meninggalkan Shalat maka akan memperoleh dosa, dan jika dikerjakan akan mendapatkan pahala. Bahasan tentang Hukum Shalat adalah Wajib merupakan Hasil dari Hukum Fikih, sedangkan menarik sebuah pola dari surat di atas merupakan kaidah Ushul fikih.

Ushul Fiqh dalam Islam

Kaidah Ushul fiqh mendasarkan dalil-dalil dari al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Satu dalil Al-Qur’an dan Hadits bisa mengandung banyak kaidah ushul fiqh turunan. Kaidah Ushul fiqh turunan ini menjadi dalil umum atas fenomena yang terjadi di masyarakat modern.

Menurut Imam Amidi dalam kitab Al-Ihkam mengatakan bahwa tidak bisa seorang manusia mengetahui Hukum Allah SWT kecuali dengan Ilmu Ushul (fikih) ini. Oleh karenanya jika seorang awam tidak mengetahui sebuah hukum Islam, kiranya harus bertanya kepada yang mengetahuinya;

وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ (٧

Baca Juga:  Bagaimana Cara Wudhu Bagi Orang yang Tangannya Putus?

Artinya; “Kami tiada mengutus Rasul Rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui” (Qs. Al-Anbiyaa’: 7)

Dalil ini menunjukan kedudukan Ulama dan Ahli Kaidah Ushul Fiqh sebagai pemegang supremasi hukum Islam. Karena membahas Kaidah Ushul Fiqh jika tidak kepada ahlinya akan menjadikan salah simpulan dan kesesatan Umat.

Kaidah ushul fiqh dalam Islam memegang peranan sebagai penting sebagai standar untuk menentukan hukum-hukum yang terpolar dari dasar utama Islam. Realitas masyarakat menjadikan hukum berkembang sesuai dengan perkembangan manusianya.

Kaidah ushul fikih membekali para Ilmuan untuk menimbang hukum yang terjadi dimasyarakat untuk dicarikan padanan dan kaidah dasar hukumnya.

Kaidah Ushul Fiqh

Hadits Nabi Muhammad SAW menyebutkan tentang pentingnya Niat dalam kehidupan Muslim. Hadits tersebut adalah;

“انما الاعمال بالنيات وانما لكل امرئ ما نوى

Artinya; “Segala sesuatu tergantung pada niatnya, dan apa yang didapatkan (seseorang) ialah apa yang telah diniatkan.” (HR. Bukhari)

Dalil tentang niat di atas banyak memuat dimensi Ushul (dasar Hukum) yang bisa dikembangkan sebagai kaidah Ushul fiqh yakni sebagai berikut;

Kaidah Pertama

الامور بمقاصدها

Yang bermakna “Segala sesuatu tergantung pada tujuannya”.

Jika salah tujuannya maka bisa dipastikan akan disalahkan semua prosesnya dan hasilnya. Ilustrasinya adalah kewajiban Niat dalam setiap Ibadah agar semua diniatkan dan disandarkan kepada Allah SWT.

Ibadah seperti Puasa, Shalat, Haji, Wudhu, Shadaqah, Mandi dan lain sebagainya diwajibkan Niat untuk mengawalinya. Walaupun dalam dalil Quran dan Hadits tidak disebutkan secara literal adanya niat diawalnya. Akan tetapi Ulama Fikih sepakat bahwa Niat adalah Syarat Utama sahnya Shalat dan Ibadah lainnya.

Kaidah Kedua

‘ما يشترط فيه التعين فالخطأ فيه مبطل’

Yang bermakna ‘Sesuatu yang memerlukan penjelasan, maka kesalahan dalam memberikan penjelasan menyebabkan batal’.

Baca Juga:  Penjelasannya Fiqih Tentang Kebolehan Air Laut Untuk Wudhu

Sebuah Ibadah yang memerlukan adanya keterangan khusus harus disertakan penjelasannya. Jika tidak maka Ibadah akan menjadi Umum dan tidak diketahui penjelasannya.

Ilustrasinya adalah ketika Muslim berniat untuk shalat, harus dijelaskan dengan benar dalam niatnya. Orang tidak akan sah Niat Shalat Ashar untuk shalat Dzuhur, walaupun didirikan pada waktu shalat dzuhur. Sebagaimana Niat untuk Puasa Wajib menggunakan niat dengan Puasa Sunnah.

Kaidah Ketiga

‘ما يشترط التعرض له خملة ولا يشترط تعيينه تفصيلا اذا عينه واخطأ ضرَّ’

Yang bermakna ‘Sesuatu yang memerlukan penjelasan secara global dan tidak memerlukan penjelasan secara rinci, maka ketika kesalahan dalam penjelasan secara rinci membahayakan’.

Jika cukup dengan penjelasan Niat yang Umum tidak diperlukan adanya takhsis (pengkhususan) dalam niat. Ilustrasinya  adalah Ahmad berniat shalat Maghrib dengan Imam Bakri (biasa menjadi Imam di Masjid).

Akan tetapi karena suatu Hal bukan Bakri yang menjadi Imam, akan tetapi Shomad. Maka Sholatnya Ahmad yang  berimam kepada Bakri tidak sah, karena mengkhususkan diri bermakmum kepada Bakri.

Kaidah keempat

‘ما لا يشترط التعرض له خملة ولا تفصيلا اذا عينه واخطأ لم يضر’

Yang bermakna ‘Sesuatu yang tidak disyaratkan penjelasannya secara global maupun terperinci ketika dita’yin (diperjelas) dan salah maka statusnya tidaklah membahayakan’.

Contohnya adalah ketika Ahmad shalat dan menentukan dalam Niatnya bahwa ia shalat di Masjid, padahal sebenarnya Ia shalat di Mushalla. Sholat Ahmad dengan Niat demikian tidak membatalkan shalat.

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan