Pecihitam.org Selain fenomena hijrah, akhir-akhir ini sering kita jumpai berbagai atribut bertuliskan kalimat tauhid yang seakan mengidentitaskan keagamaan seperti bendera, topi, kaos, spanduk, ikat kepala, bahkan ada pula yang di cincin dll. Atribut-atribut ini banyak dijual bebas baik offline maupun online. Alih-alih dengan jargon mengagungkan kalimat tauhid, terkadang malah membuat keagungan kalimat tauhid tersebut ternodai. Lihat saja sering kita jumpai saat terjadi aksi masa yang membawa bendera bertuliskan kalimat tersebut terinjak-injak dan bahkan ditempatkan pada tempat yang bukan semestinya.
Berbanding terbalik dengan hal diatas, kita jarang sekali malah hampir tidak melihat lambang atau kalimat tauhid terpampang pada acara-acara dipesantren. Seperli di diacara haul, haflah akhirussanah, istigoshah, maulid dan lainnya.
Mengapa? Bukankah kalimat tauhid itu kalimat yang agung? Apa kalangan kaum sarungan kurang ghirah keislamannya? Apa mereka tidak bangga dengan ketauhidannya? Atau mereka ternyata tidak senang dengan kalimat tauhid?
Tidak juga, faktanya justru para Kyai dan santri lah yang lebih akrab dengan kalimat ini dari pada kita atau orang-orang yang gemar memamerkan simbol bendera atau ikat kepala berlafaldkan kalimat tauhid. Selain dikumandangkan lima kali sehari kala adzan, kalimat tauhid selalu diwiridkan dan diletakkan kedalam sanubari mereka secara berjamaah setiap selesai sholat.
Sering kali setelah sholat mereka melafaldkan: Afdhaludz-dzikri fa’lam annahu; laa ilaaha illallaah secara bersama-sama diwiridkan oleh imam dan makmum. Demikian lima kali sehari, belum lagi jika ada yang mengamalkan wirid tahlil dan sholawat tambahan lainnya.
Jika demikian, mengapa jarang sekali terlihat symbol atau lambang kalimat tauhid dilingkungan pesantren?
Ikhtiyath atau sifat kehati-hatian adalah tradisi moral kalangan santri dalam berfiqih. Dalam fiqih para santri sangat berhati-hati pada segala hal. Apalagi jika kaitannya dengan kalimat tauhid, oleh kalangan santri tidak boleh sembrono meletakkan kalimat agung tersebut pada sembarang tempat. Ada yang mengatakan bagi santri, kalimat tauhid adalah jimat dunia akhirat yang sangat luhur. Ia tidak boleh tercecer, tergeletak, terbuang, terinjak atau bertempat di lokasi kotor apalagi najis.
Itulah mengapa hampir tidak pernah kita temui symbol-simbol bertuliskan kalimat tauhid terpampang bebas di kalangan para santri. Karena khawatirnya jika kalimat tersebut dicetak pada pakaian seperti kaos, baju, topi, atau yg lainnya, dikuatirkan bisa bercampur najis ketika dicuci. Jika dicetak di spanduk-spanduk atau bendera dikuatirkan akan tercampakkan sewaktu-waktu.
Jika dicetak di stiker-stiker bisa saja terjatuh atau terbengkalai begitu saja. Kalau dicantumkan di lambang pesantren, akan menyulitkan saat membuat undangan, kartu ID, baju almamater, dan lainnya karena jika kalimat ini berada di tempat-tempat tersebut sangat rawan terabaikan dan bisa saja kurang terjaga kesuciannya. Bagi kalangan pesantren, kalimat tauhid hanya boleh dicantumkan di tempat-tempat spesial yang sekiranya bisa terjaga kehormatannya.
Ikhtiyat Kyai Zainal Abidin Krapyak Jogja
Almarhum simbah Kyai Zainal Abidin Krapyak Jogja termasuk sosok yang sangat ketat dalam hal ikhtiyath perkara tauhid. Kalimat tauhid, bagi Mbah Zainal, sama sucinya dengan mushaf Quran. Bahkan menurut penuturan santrinya, dingklik (kursi kayu kecil) yang biasa digunakan untuk membaca Quran pun beliau muliakan. Pernah suatu kali hendak salat jamaah Isya di bulan Ramadan, ada satu dingklik yang tergeletak di belakang santrinya. Ketika beliau lewat, dingklik itu beliau pindah ke samping agar tidak dibelakangi.
Bahkan tulisan ‘almunawwir’ pun sangat beliau muliakan, sebagaimana dikisahkan oleh santri bernama Kang Tahrir, santri ndalem Mbah Zainal. Memang lazim di Krapyak, para santri membuat stiker kecil bertulis ‘almunawwir community’. Fungsi stiker ini untuk menandai kendaraan santri sehingga mudah dikenali. Biasanya dipasang di spidometer, plat nomor, atau body sepeda motor.
Kang Tahrir menuturkan, Mbah Zainal tidak berkenan jika melihat ada nama ‘almunawwir’ kok dipasang di slebor, lebih rendah dari lutut, atau tempat-tempat lain yang kurang pantas. Biar bagaimanapun, ‘almunawwir’ adalah nama pesantren sekaligus nama pendirinya yang merupakan ulama besar ahli Quran Nusantara, simbah Kyai Muhammad Munawwir bin Abdullah Rosyad.
Sebegitu hati-hatinya sikap beliau terhadap nama ‘almunawwir’. Lebih-lebih terhadap ayat-ayat Quran, hadits Nabi, dan kalimat tauhid. Begitulah Ikhtiyat Mbah Kyai Zainal Abidin, ayat-ayat Al Quran dan kalimat tauhid tidaklah berkibar di bendera atau ikat kepala, melainkan sudah terpatri kuat di dalam sanubari beliau.
Agungnya Kalimat Tauhid
Di sampaikan oleh Gus Baha (KH. Baha’uddin Nursalim) dalam pengajian beliau:
Menurut Ibnul Qayyim Al Jauziyah dalam kitab Zaadul Ma’ad kitab kesayangan Sayyid Abdullah Al-Hadad, kalimat tauhid itu sangat luar biasa, kalimat yang super. Allah membuat surga dan neraka itu demi kalimat ini. Siapa yang menerima kalimat ini makan masuk surga dan barang siapa menolak kalimat ini maka ia akan masuk neraka.
Seperti yang kita ketahui, neraka itu bila sebuah batu di lempar ke dalamnya, untuk sampai kedasar menunggu sampai 70 tahun. Bayangkan 70 tahun, seperti apa kedalamannya? Dan itu di peruntukkan bagi manusia yang menolak kalimat La ilaha ilallah.
Agar manusia menerima konsep kalimat tauhid ini, maka di ciptakanlah langit dan bumi dan karena manusia itu butuh pelatih maka diutuslah para Rosul untuk melatih kalimat La ilaha ilallah.
Bila ada orang yang kafir selama 70 tahun kemudian ia melafadzkan lafadz La Ilaha Illallah, maka kekafirannya selama 70 tahun di hapus oleh kalimat tersebut. Saking pentingnya, Gus Baha berpesan pada santri-santri Aswaja harus yakin bahwa kalimat ini adalah كلمة دخل الكافر اسلام (kalimat yang mampu membuat orang kafir selama hidupnya terhapus menjadi muslim). Namun sekarang banyak gerakan atas nama yang sama, malah mempergunakan sebaliknya, menganggap orang islam menjadi kafir.
Imam Abul Hasan As-Syadzilli menafsirkan:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
Imam Abul Hasan As-Syadzilli menerangkan agar kamu camkan kalimat tersebut dalam hatimu untuk dirimu sendiri baru kemudian kamu istighfari (mohonkan ampunan) kepada keluarga atau orang yang kamu tuju. Jadi sahnya mengistighfarkan orang lain itu hanya dengan satu syarat yakni dia ahli kalimat La Ilaha Illallah.
Itulah mengapa dikarenakan begitu hebat dan agungnya kalimat tauhid, kalangan pesantren sangat berhati-hati dalam memperlakukannya. Maka dari itu nasehat bagi rekan-rekan yang gemar menunjukkan identitas keislaman dengan memasang kalimat tauhid pada benda-benda tertentu agar wajib menjaga supaya kalimat tersebut tetap terjaga dengan baik dan tidak diletakkan pada sembarang tempat. Jika di kawatirkan tidak bisa menjaga maka lebih baik untuk tidak memasangnya. Wallahu’alam Bisshawab.