Kesultanan Kadariah Pontianak, Karajaan Islam Melayu di Borneo Barat

Kesultanan Kadariah Pontianak, KerajaanIslam Melayu di Borneo Barat

Pecihitam.org – Kesultanan Kadariah Pontianak merupakan salah satu kerajaan Islam di Nusantara bercorak kesultanan Melayu yang didirikan pada tahun 1771 oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie di daerah muara simpang tiga Sungai Kapuas kecil dan Sungai Landak yang termasuk kawasan yang diserahkan Sultan Banten kepada VOC Belanda.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Kesultanan Kadariah Pontianak didirikan oleh seorang putra ulama keturunan Arab Hadramaut dari Kerajaan Mempawah pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 yang bertepatan dengan 14 Rajab 1185 H yang ditandai dengan membuka hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal.

Pada tahun 1777 M /1192 H, Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan Pontianak. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Jami’ (kini bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariyah yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak, Kalimantan Barat.

Kawasan yang dulunya kawasan istana ini, oleh orang Pontianak sekarang dikenal dengan Kampung Dalam. Saking bersejarahnya tempat ini, sehingga ada ungkapan “walaupun seseorang berkeliling di seluruh wilayah Kota Pontianak, tapi kalau belum pernah sampai ke Kampung Dalam (Masjid Jami’ dan Istana atau Keraton), Ia belum sampai ke Pontianak”.

Pada tahun 1808, Sultan Syarif Abdurrahman wafat. Dia dimakamkan di Batu Layang, Pontianak. Selanjutnya, Syarif Kasim Alkadrie (1808-1819) naik tahta menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya.

Baca Juga:  Gus Yusuf Chudlori: Sikap Toleransi dan Kisah Masjid vs Gamelan

Di bawah kekuasaan Sultan Syarif Kasim, Kesultanan Pontianak semakin mempererat kerjasama dengan Kerajaan Belanda dan kemudian Kerajaan Inggris sejak tahun 1811.

Setelah Sultan Syarif Kasim wafat pada 25 Februari 1819, Syarif Usman Alkadrie (1819-1855) naik tahta sebagai Sultan Pontianak. Pada masa kekuasaan Sultan Syarif Usman, banyak kebijakan bermanfaat yang dikeluarkan olehnya, termasuk dengan meneruskan proyek pembangunan Masjid Jami’ pada 1821 dan perluasan Istana Kadriyah pada tahun 1855.

Pada April 1855, Sultan Syarif Usman meletakkan jabatannya sebagai sultan dan kemudian wafat pada 1860. Anak tertua Sultan Syarif Usman, Syarif Hamid Alkadrie (1855-1872), kemudian dinobatkan sebagai Sultan Pontianak pada 12 April 1855.

Dan ketika Sultan Syarif Hamid wafat pada 1872, putra tertuanya, Syarif Yusuf Alkadrie (1872-1895) naik tahta setelah beberapa bulan ayahandanya wafat. Sultan Syarif Yusuf dikenal sebagai satu-satunya sultan yang paling sedikit mencampuri urusan pemerintahan. Dia lebih aktif dalam bidang keagamaan, sekaligus merangkap sebagai penyebar agama Islam.

Pemerintahan Sultan Syarif Yusuf berakhir pada 15 Maret 1895. Dia digantikan oleh putranya, Syarif Muhammad Alkadrie (1895-1944) yang dinobatkan sebagai Sultan Pontianak pada 6 Agustus 1895.

Pada masa ini, hubungan kerjasama Kesultanan Pontianak dengan Belanda semakin erat dan kuat. Masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad merupakan masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah Kesultanan Pontianak. Ia sangat berperan dalam mendorong terjadinya pembaruan dan moderenisasi di Pontianak.

Baca Juga:  Makna Kupat dan Tradisi Kupatan di Indonesia; Benarkah Bid'ah?

Dalam bidang sosial dan kebudayaan, dia adalah sultan Melayu di Kalimantan Barat yang pertama kali berpakaian kebesaran Eropa di samping pakaian Melayu, Teluk Belanga, sebagai pakaian resmi. Dia juga orang yang menyokong majunya bidang pendidikan serta kesehatan.

Selain itu, ia juga mendorong masuknya modal swasta Eropa dan Cina, serta mendukung bangsa Melayu dan Cina mengembangkan perkebunan karet, kelapa, dan kopra serta industri minyak kelapa di Pontianak.

Sementara dalam aspek politik, Sultan memfasilitasi berdiri dan berkembangnya organisasi-organisasi politik, baik yang dilakukan oleh kerabat kesultanan maupun tokoh-tokoh masyarakat.

Setelah peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, atas prakarsa Sultan Hamid II yang menjadi sultan waktu itu, Kesultanan Pontianak dan kesultanan-kesultanan Melayu di Kalimantan Barat bergabung dengan Republik Indonesia Serikat.

Pada masa itu Sultan Hamid II menjabat sebagai Presiden Negara Kalimantan Barat (Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat) pada 1947-1950. Sultan Hamid II adalah perancang Lambang Negara Indonesia.

Setelah Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret1978, terjadi kekosongan jabatan sultan di keluarga Kesultanan Paontianak. Kekosongan jabatan itu bahkan berlangsung selama 25 tahun.

Namun pada 15 Januari 2004, pihak bangsawan Istana Kadriyah mengangkat Syarif Abubakar Alkadrie sebagai Sultan Pontianak ke.VIII. Jauh sebelumnya, tepatnya pada 29 Januari 2001 seorang bangsawan senior, Syarifah Khadijah Alkadrie binti Sultan Syarif Muhammad Alkadrie bin Sultan Syarif Yusuf Alkadrie bun Sultan Hamid.I, bin Sultan Osman bin Sultan Abdurrahman Alkadrie, pendiri kesultanan Kadriah, mengukuhkan Kerabat Muda Istana Kadriah Kesultanan Pontianak.

Baca Juga:  Meluruskan Tuduhan Wahabi Mengenai Ibadah Tanpa Contoh Nabi, Gini Aja Ndak Paham!

Kerabat Muda ini bertujuan menjaga segala tradisi dan nilai budaya Melayu Pontianak, termasuk menghidupkan dan melestarikannya.

Demikian sekilas tentang sejarah Kesultanan Kadariah Pontianak, sebuah kerajaan Melayu yang ada di pulau Borneo. Berdirinya kerajaan ini tidak bisa dilepaskan dari penyebaran agama Islam.

Karena Habib Husain yang merupakan orang tua dari Syarif Abdurrahman Alkadrie merupakan seorang penyebar agama Islam yang juga dikenal sebagai waliyullah. Makamnya yang terletak di Mempawah hingga kini tak pernah sepi dari peziarah.

Faisol Abdurrahman