Ketika Gus Dur Menolak Eksklusivisme Hukum Islam

gus dur menolak eksklusivisme hukum islam

Pecihitam.org – Bagi Nahdlatul Ulama (NU), khususnya tokoh panutan NU generasi ketiga semisal Gus Dur, Indonesia sudah sangat islami. Pancasila sebagai dasar negara dilihat dari sudut manapun bernapas Islam. Bahkan, Pancasila ialah manifestasi dari maqashidusy syari’ah Islam itu sendiri.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

“Sebenarnya sudah tidak ada masalah antara Islam dan Pancasila. Karena, Pancasila juga bersumber dari Islam,” urai Gus Dur dalam Merumuskan Hubungan Ideologi Nasional dan Agama.

Indonesia akan eksklusif jika menjadi sebuah negara agama tertentu. Potensi diskriminasi satu agama yang berlainan dengan agama negara akan menjadi pelik. Sedangkan semangat kebinekaan adalah “menjadi setara”, bukan saling berebut superioriti, terutama kesetaraan di mata hukum.

Beberapa alasan NU menolak eksklusivisme dan formalisme hukum Islam (baca; negara Islam), menurut Mahfud MD dalam Gus Dur; Islam, Politik, dan Kebangsaan, sebab Indonesia sebagai negara hukum memiliki empat kaidah penuntun hukum yang khas.

Pertama, hukum harus menjamin keutuhan bangsa dan negara, baik ideologi maupun teritorial. Tidak boleh ada produk hukum yang dapat menimbulkan disintegrasi, misalnya pemberlakuan hukum agama yang memberikan kesan diskriminatif terhadap agama lain.

Kedua, hukum harus dibuat secara demokratis dan nomokratis. Meski suatu rancangan hukum didukung mayoritas dalam proses demokrasi, ia tidak boleh dijadikan hukum jika tidak memenuhi syarat nomokrasi, yaitu filosofi dan asas hukum yang sesuai dengan Pancasila.

Baca Juga:  4 Wilayah Vital yang Harus Dioptimalkan Santri untuk Masa Depan Dunia

Ketiga, hukum harus berdasar toleransi beragama yang berkeadaban. Negara tidak dapat memberlakukan hukum agama tertentu, tetapi negara wajib memfasilitasi dan memberikan perlindungan hukum terhadap warga negara yang akan melaksanakan ajaran agama atas kesadaran mereka sendiri.

Keempat, hukum harus mendorong pembangunan keadilan sosial.

Keempat kaidah penuntun hukum di atas menguatkan Pancasila sebagai dasar negara menjadi pijakan keber-Indonesia-an segenap warganya dengan latar agama apapun. Semua warga negara adalah sama di mata hukum. Negara wajib menjamin kelangsungan ibadah seluruh pemeluk agama tanpa membedakan yang satu dengan yang lain.

Oleh karenanya cukup keliru jika Islam dan Pancasila dipertentangkan. Lebih jauh mempertentangkan Islam dan Negara.

Sedikit mengintip moda kampanye pada pemilihan presiden kemarin, kita bisa melacak betapa kerap sebagian elit politik mempertentangkan Islam dan Negara (pemerintah). Jargon politik seperti “umat Islam ditindas” idealnya tidak dipilih sebagai diksi politis. Secara ontologis, ia seolah mengkonfrontasikan Islam dengan Negara yang sah.

Bukan hanya picik, strategi kampanye semacam itu tidak menemukan ruas ilmiahnya. Elit politik yang berkampanye membawa jargon Islam vis a vis Negara, hanya mempertontonkan cacat logikanya sendiri.

Seperti apa yang Gus Dur terakan dalam artikelnya Islam, Negara, dan Pancasila:

Salahlah jika Islam dan Pancasila dipertentangkan, karena perannya justru saling mengisi, mendukung, dan menutup. Keabadian Islam mendapatkan jalur konkretisasi melalui Pancasila, sedangkan kehadiran Pancasila itu sendiri bersumber juga pada ajaran agama.

Komitmen Gus Dur menerima Pancasila sebagai bentuk final dasar negara tak melulu ia tuliskan dalam berbagai artikelnya. Juga tidak hanya diorasikan dalam pidato-pidatonya. Lebih tegas dari itu, komitmen Gus Dur atas Pancasila tercermin dari sikapnya yang kokoh dan konsisten.

Baca Juga:  Gus Dur Tak Perlu Dibela

Pada satu peringatan haul kewafatan Gus Dur, Mahfud MD berkisah tentang bagaimana kegigihan prisip Gus Dur atas Pancasila.

Pada masa akhir-akhir Gus Dur hendak dilengserkan secara politis, pada awal Juni 2001, kata pak Mahfud, ia diminta beberapa “tokoh militan” Islam untuk mempertemukan mereka dengan Presiden Gus Dur.

Saat itu Gus Dur mengancam akan membubarkan MPR/DPR dengan dekrit karena kedua lembaga itu telah melanggar konstitusi. Sedangkan partai-partai politik melalui MPR, mengancam akan melengserkan Presiden Gus Dur karena dinilai melanggar TAP MPR.

Sebagai menteri pertahanan, pak Mahfud dianggap sangat dekat dan bisa berperan meminta presiden menerima tokoh-tokoh Islam itu.

Saat pak Mahfud bertanya ihwal apa yang akan mereka sampaikan kepada presiden, ia kaget dan agak merinding sebab mereka menjawab akan membela dan mempertahankan Gus Dur sebagai presiden, asal ia mau mengeluarkan dekrit tentang pemberlakuan Syari’at Islam di Indonesia.

Baca Juga:  [Video] Gusdur: Tidak Wajib Mendirikan Negara Islam di Indonesia

Tokoh-tokoh Islam itu ingin menggunakan kuasa presiden yang ketika itu sedang terjepit dalam posisi musykil untuk menjadikan Indonesai sebagai negara Islam.

Menurut mereka, jika Gus Dur mendekritkan berlakunya syari’at, maka berjuta-juta orang Islam akan datang ke Jakarta untuk membela Gus Dur, termasuk menghadapi tentara dan polisi jika mereka enggan melaksanakan dekrit kepala negara itu. Gus Dur tak perlu mengeluarkan dekrit pembubaran MPR dan DPR, tetapi langsung saja mendekritkan berlakunya Syari’at Islam.

Apa tanggapan Gus Dur?

“Saya tidak akan pernah mendekritkan Syari’at Islam karena hal itu bertentangan dengan apa yang saya perjuangkan selama puluhan tahun, yakni mempertahankan Indonesia dengan dasar Pancasila, bukan negara agama.”

Gus Dur membuktikan bahwa komitmennya atas Pancasila lebih dari apapun, walau harus dipaksa kehilangan jabatan sebagai kepala negara.

Wallahul muwaffiq.

Mutho AW

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *