KH Thaifur Ali Wafa, Mutiara yang Tersimpan dari Tanah Madura

KH Thaifur Ali Wafa, Mutiara yang Tersimpan dari Tanah Madura

PeciHitam.org – Penulisan kitab tafsir di Indonesia sebenarnya telah bergerak sejak lama. Para peneliti sepakat cikal bakal penafsiran al-Quran dimulai pada abad ke-17 ditandai dengan ditemukannya kitab Tarjuman Mustafid karya Abdul Rauf Singkili.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Hingga mencapai abad ke-20 literatur Tafsir al-Quran dengan semakin berkembang dari segi metode, nuansa dan pendekatan penafsirannya. Hal ini kemudian menarik berbagai peneliti untuk menghimpun seluruh tafsir Indonesia dengan pemetaan terhadap sejarah penulisan, karakteristik dan pemetaan periode tafsir.

Ada yang sering luput dari perhatian karena melewatkan satu nama mufasir yaitu KH Thaifur Ali Wafa dengan karya tafsirnya yang diberi nama Firdaus al-Na’im. Kitab Firdaus al-Na’im ini merupakan kitab tafsir karangan ulama asal Ambunten, Sumenep, Madura. Tafsir Firdaus al-Na’im jika ditinjau dalam pemetaan literatur tafsir Indonesia menempati periode abad ke-20 dan belum dipublikasikan.

Menurut Jajang A. Rohmana, kajian al-Quran Indonesia dalam kalangan akademisi lebih banyak terfokus pada kajian al-Quran yang muncul dipermukaan dalam jangkauan luas dan tidak melirik tafsir yang dipublikasikan dalam jumlah relatif kecil dan terbatas.

Nama lengkap KH Thaifur Ali Wafa adalah Thaifur bin Ali Wafa Muharror al-Muduri. Nama Ali Wafa merupakan nama ayahnya, seorang ulama yang terkenal paling berpengaruh di Madura. Menurut Martin Van Bruinessen, KH Ali Wafa merupakan seorang ulama yang memiliki kredibilitas tinggi baik sebagai pribadi maupun dalam Tarekat Naqsabandiyah.

Baca Juga:  Biografi Abu Yusuf al Kindi, Sang Filosof Muslim Arab Pertama

Bahkan ada yang berkata bahwa tidak ada seorang pun yang mampu menggantikan beliau jika dilihat dari segi reputasinya bidang keilmuan agama. Hal inilah yang menjadikan KH Thaifur dikenal alim atau diakhui keluasan ilmu agamanya. Ayahnya, KH Ali Wafa memiliki andil yang besar dalam membentuk pemikirannya.

Thaifur muda pernah menempuh pendidikan di Mekkah selama 7 Tahun. Ia berguru kepada seorang ulama asal Yaman yang bernama Syaikh Ismail. Bagi Thaifur. Selain Ayahnya, Syaikh Ismail al-Makki ini juga banyak mewariskan ilmu kepadanya hingga beliau dikenal kealimannya.

Atas kealiman Kiai Thaifur, ia akhirnya diberi kepercayaan sebagai salah satu mursyid Tarekat Naqshabandiyah Mudzahriyah. Tarekat Naqsyabandiyah sendiri didirikan oleh Muhammad Baha al-Din al-Uwaisi al-Naqsyabandy sekitar abad ke-14.

Beliau menerima ijazah dari seorang ulama asal Malang yang bernama KH. Lathifi Baidowi, yang juga merupakan murid yang menerima ijazah dari ayahnya. Kiai Thaifur mengaku menerima ijazah dari KH. Lathifi saat beliau berusia 33 Tahun.

Baca Juga:  Saad bin Muadz, Sahabat Nabi yang Membuat Arasy Berguncang

Di bawah kepemimpinan Thaifur, secara keseluruhan Tarekat Naqsabandiyah Mudzhariyah memiliki ribuan jamaah menyebar di beberapa kecamatan di Kabupaten Sumenep, sepeti: Ambunten, Gapura, Batang-Batang, dan lain sebagainya. Jamaah Tarekat Kiai Thaifur ini juga tersebar di daerah kepulauan, tak terkecuali kepulauan Sepudi. Bahkan, konon katanya ada juga jamaah tarekatnya yang berasal dari Kalimantan.

Sewaktu masih aktif dalam tarekat, kegiatan ini biasa diselenggarakan setiap Jum’at pagi. Kegiatan ini disebut dengan “Khatmil Khawajakan” atau oleh orang Madura dikenal dengan sebutan “hojhegen”.

Aktifitas Thaifur kini sebagai pemimpin Pondok Pesantren al-Saddad Ambunten, Sumenep dan banyak mengabdikan diri di masyarakat dengan mengisi ceramah di berbagai daerah di Madura.

Kealimannya dalam bidang ilmu agama melahirkan banyak karya. Prodiktivitasnya dalam berkarya tercermin dalam beberapa kitab baik yang berbahasa arab maupun Indonesia, yaitu karya monumental beliau dalam bidang Tafsir yang berjudul kitab Firdaus al-Naim yang terdiri dari 6 Jilid.

Adapun karya-karya lain dalam Bahasa Arab sebagai berikut: Bulgha at-Tullab, Tanwir al-Basha’ir, al-Farqu dzu ar-Rafi’, Haba’ilu al-Syawarid, Misykat al-Anwar, al-Ra’audu an-Nazhir, Kuthufu ad-Daniyah, Sullam al-Qashidin, Miftah al-Ghawamid. Sedangkan buku berbahasa Indonesia, antara lain Menyikap Tirai Kehidupan Nabi dan Tetes-tetes Darah Perempuan.

Demikian biografi singkat KH Thaifur Ali Wafa yang dikenal begitu produktif. Bahkan beberapa menyebutnya sebagai Mutiara yang tersimpan dari tanah Madura, karena saat ini sedikit orang yang mengetahuinya. Mudah-mudahan artikel ini mampu menjadi gambaran bagi para pembaca agar lebih mengenal sosok beliau. Wallahu A’lam.

Mohammad Mufid Muwaffaq