KH Wahid Hasyim: Tokoh NU Sang Perekat Bangsa

kh wahid hasyim

Kita ini sebagai suatu bangsa, walaupun agama apa juga, kita tetap sebagai suatu bangsa, walaupun ada perbedaan anggapan atau kepercayaan serta paham atau cara pandang hidup, tetapi sebagai bangsa kita hendaknya tidak boleh dipisah-pisahkan oleh macam-macam perbedaan paham, perbedaan cara memandang, dan perbedaan kepercayaan.”

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Pecihitam.org – Kalimat di atas adalah tulisan KH Wahid Hasyim dalam karyanya “Islam antara Materialisme dan Mistik”.

Kiai Wahid merupakan tokoh penting Nahdlatul Ulama (NU), juga Pahlawan Nasional. Petikan kalimat di atas mencerminkan jiwa nasionalisme Kiai Wahid. Perbedaan-perbedaan yang ada dalam perikehidupan berbangsa hendaknya tidak jadi alasan untuk tidak menjunjung persatuan. Nasionalisme mengikat kita untuk tidak cerai-berai.

Kesetiaan Kiai Wahid pada nasionalisme dan persatuan Indonesia tergambar dari sikapnya ketika malam setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 terdapat gugatan dari penduduk Indonesia Timur non muslim terhadap Piagam Jakarta.

Mereka menggertak bakal memisahkan diri dari Indonesia jika tujuh kata dalam butir pertama Piagam Jakarta itu tak dihapus. Butir pertama Piagam Jakarta itu berbunyi:

“Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”

KH Wahid Hasyim sebetulnya tergolong tokoh perwakilan Islam dalam BPUPKI perumus Piagam Jakarta. Namun, sebagaimana watak kolektif Nahdlatul Ulama yang moderat, Kiai Wahid dengan arif dan bijaksana memberikan solusi yang diterima semua kalangan.

Baca Juga:  KPNU Kota Makassar Gelar Halaqah Aswaja di Masjid Agung 45

Beliau berusul agar frasa itu diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Usulan itu diterima dan menjadi sila pertama Pancasila kita hingga hari ini. Satu dasar negara yang mengikat segenap bangsa Indonesia agar tak terpecah-belah.

Dicoretnya tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” atas usulan putra Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari itu ternyata mirip dengan apa yang dilakukan kanjeng Nabi Muhammad SAW ketika melakukan Perjanjian Hudaibiyah.

Salah satu sebab perjanjian antara kaum muslimin dengan kaum Quraisy Makkah itu agar umat Islam yang berhaji tak diganggu kaum Quraisy. Dibuatlah satu negoisasi.

Namun, Suhail bin Amr sebagai wakil Quraisy meminta agar tujuh kata dalam perjanjian dihapus. Tujuh kata itu adalah “bi ismi Allah al-rahman al-rahim rasul Allah”. Demi keamanan muslimin Madinah kala itu, kanjeng Nabi memenuhi permintaan Suhail. Dihapuskanlah tujuh kata itu.

Terlepas antara Perjanjian Hudaibiyah dan Piagam Jakarta memiliki pertautan atau tidak, apa yang dilakukan oleh kanjeng Nabi SAW dan Kiai Wahid merupakan cermin kebijaksanaan sosok pemimpin.

Baca Juga:  Gus Mus, Ulama Pertama Raih Penghargaan Yap Thiam Hien

Jika kanjeng Nabi tak menghapus tujuh kata itu, muslimin Madinah tentu bakal diganggu kaum Quraisy Makkah. Begitu pula, jika Kiai Wahid tidak mengusulkan untuk mencoret tujuh kata itu, boleh jadi sparatisme terjadi di mana-mana. Keutuhan bangsa menjadi muskil adanya.

Peran KH Wahid Hasyim dalam melerai sengketa yang berpotensi mengancam keutuhan bangsa, patut direnungi. Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai sila pertama terbukti ampuh menyatukan kita dengan Agama yang berbeda-beda.

Pancasila, mencermati sila pertamanya, sesungguhnya sudah sangat Agamis, bahkan Islami. Oleh sebab itu, Pancasila sangat teologis. Indonesia memang bukan negara Agama tertentu, tapi Indonesia adalah negara yang bertuhan.

Para tokoh NU selalu, selalu, dan selalu menegaskan bahwa Pancasila sangat Islami dan final. Tak bisa diganggu gugat. Indonesia, seturut Wakil Presiden kita Prof. KH. Ma’ruf Amin adalah darul mitsaq, Negara Kesepakatan. Siapa yang menyepakati? Adalah para moyang bangsa yang telah berjuang. Perjuangan yang bukan hanya mengorbankan materi, tapi juga darah dan air mata.

Baca Juga:  NU Kecam Keras Rencana Aneksasi Israel di Tepi Barat Palestina

Moyang bangsa membangun rumah besar Indonesia ini bukan sebagai Negara Agama tertentu. Sebab itu berpotensi mendiskriminasi pemeluk Agama lain. Namun, memang demokrasi kita tengah diuji. Belakangan bercokol segelintir kelompok yang menentang kemuliaan Pancasila, demokrasi kita.

Seakan turut berjuang memerdekakan bangsa ini, mereka dengan pedenya menganggap demokrasi dan Pancasila sebagai sistim politik kafir. Dan, lagi-lagi, khilafah solusinya.

Perlu diketahui oleh Umat Islam bahwa Nahdlatul Ulama itu telah ada dan turut berjuang berdarah-darah melawan penjajah era kolonial. Melalui KH Wahid Hasyim, NU berandil merumuskan dasar negara ini. Anda-anda, dengan ideologi transnasionalnya kok pede sekali hendak mencabik-cabik hasil jahitan moyang bangsa Indonesia ini?

Yuk ngopi dulu bareng NU, ya!

Mutho AW

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *