Khauf, Rasa Takut Kepada Allah yang Mendorong Seorang Hamba Berhati-hati

Khauf

Pecihitam.org– Khauf merupakan salah satu sikap yang harus dimiliki seorang hamba yang dengannya, ia merasa khawatir dan hati-hati agar jangan sampai terjerumus pada perbuatan yang mendatangkan murka Allah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Daftar Pembahasan:

Pengertian Khauf

Secara harfiah berarti takut, yakni takut kepada Allah, hati yang risau, misalnya karena khawatir jika suatu saat atau tiba-tiba terjerumus kepada perkara makruh atau yang syubhat apalagi haram, yang karena itu murka dan siksa Allah bakal menimpanya.

Takut merupakan gerak hati yang menangkap Keagungan Tuhan. Kapanpun hati itu bergerak, Tuhan pasti melihatnya. Jika intensitas ibadah seseorang mencapai keutamaan, maka hatinya akan bergetar hebat, kulit yang merinding bahkan tubuhnya terguncang, seperti yang digambarkan dalam firman Allah dalam Surat Al-Hajj

الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَالصَّابِرِيْنَ عَلٰى مَآ اَصَابَهُمْ وَالْمُقِيْمِى الصَّلٰوةِۙ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ

(yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah hati mereka bergetar, orang yang sabar atas apa yang menimpa mereka, dan orang yang melaksanakan salat dan orang yang menginfakkan sebagian rezeki yang Kami karuniakan kepada mereka. (QS. Al-Hajj ayat 35)

Khauf dalam Istilah Tasawuf

Menurut Abû Hafsh, secara umum khauf merupakan cambuk Allah SWT yang dipergunakan untuk meluruskan orang-orang yang lari melalui pintu tobat kepada-Nya.

Bentuk khauf, menurut Abd al-Qâsim alHakîm, ada dua macam, yaitu rahbah dan khasyyah. Orang yang lari dan berlindung kepada Allah dari kendali hawa nafsunya, maka takut yang ia alami disebut rahbah.

Sedangkan orang yang lari kepada Allah karena tarikan ilmunya untuk kemudian melaksanakan kebenaran syariah, maka disebut khasyyah.

Seorang tabiit tabiin, Abdullah bin Mubarak mengingatkan bahwa khauf yang benihnya sudah ada pada setiap hamba, tidak akan tumbuh apalagi bangkit sampai ia tertanam dengan baik di dalam hati melalui tagarrub (mendekatkan diri kepada Allah) secara konsisten, baik samarsamar maupun terang-terangan.

Apabila khauf sudah tertanam dengan baik di dalam hati, maka segala keinginan hawa nafsu dan cinta terhadap dunia akan terbakar dan sirna.

Derajat sang hamba pun akan meningkat ke derajat lebih tinggi. Sebaliknya, bila rasa takut yang tumbuh itu disia-siakan ia akan layu lalu mati.

Karenanya, Abû Sulayman al-Darânî mengingatkan agar hati harus dijaga agar jangan sampai terkalahkan dan dikuasai oleh apapun kecuali rasa khauf.

Bagi setiap mukmin, khauf sangat penting, apalagi bagi mereka yang meniti hidup melalui jalan sufi.

Al-Qur’an memberikan isyarat bahkan perintah tentang keharusan setiap hamba yang beriman untuk takut kepada Allah, sebagaimana disebutkan dalam Surat Ali Imran

اِنَّمَا ذٰلِكُمُ الشَّيْطٰنُ يُخَوِّفُ اَوْلِيَاۤءَهٗۖ فَلَا تَخَافُوْهُمْ وَخَافُوْنِ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ

Sesungguhnya mereka hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan teman-teman setianya, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang beriman. (QS. Ali Imran ayat 175)

Baca Juga:  Cinta Tuhan Kepada Manusia, Bagaimana Sebaliknya?

Juga tentang takut kepada hari
kiamat, sebagaimana dalam Surat Luqman

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمْ وَاخْشَوْا يَوْمًا لَّا يَجْزِيْ وَالِدٌ عَنْ وَّلَدِهٖۖ وَلَا مَوْلُوْدٌ هُوَ جَازٍ عَنْ وَّالِدِهٖ شَيْـًٔاۗ اِنَّ وَعْدَ اللّٰهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيٰوةُ الدُّنْيَاۗ وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللّٰهِ الْغَرُوْرُ

Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutlah pada hari yang (ketika itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya, dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikit pun. Sungguh, janji Allah pasti benar, maka janganlah sekali-kali kamu teperdaya oleh kehidupan dunia, dan jangan sampai kamu teperdaya oleh penipu dalam (menaati) Allah. (QS. Luqman ayat 33)

Bahkan ada di antaranya yang menyertakan ancaman-ancaman yang bisa membuat gentar hamba-hamba yang paling saleh sekalipun, sebagaimana dalam Surat Al-Qiyamah ayat 7 – 12.

Memang, bagi seorang hamba yang saleh, terjerumus ke dalam perkara yang makruh dan syubhat, apalagi haram, dianggap sebagai hal yang sangat membahayakan dirinya.

Perkara-perkara semacam itu menyebabkan munculnya jurang pemisah antara dirinya dengan Tuhan, Zat yang sangat dicintai dan mencintainya.

Di samping itu juga akan menyebabkan Tuhan, yang sangat dicintainya itu akan meninggalkannya dan tidak lagi mencintainya.

Dengan kata lain, hubungan saling mencintai antara dirinya dengan Tuhan
yang sudah dirintis dan dibina sekian lama dan dengan susah payah akan terhenti.

Kalau ini terjadi pada diri seorang hamba, betul-betul merupakan suatu bencana yang sangat fatal.

Tingkatkan Khauf

Mengenai tingkatan Khauf, Abû Nasr al-Sarraj, menjelaskan, bahwa ada tiga macam (tingkatan) khauf.

Tingkatan Pertama

Tingkatan ini merupakan khauf tingkat tinggi yang dimiliki oleh orang-orang yang mulia yaitu khauf yang menyertai keimanan. Artinya khawf yang timbul semata-mata karena kualitas keimanan.

Orang pada tingkatan khauf ini berada pada tingkat khawf yang paling tinggi, sehingga ia tidak takut kepada siapapun kecuali Allah dan tidak khawatir akan terjadi apapun kecuali jika imannya kepada Allah tiba-tiba lepas dari dirinya.

Inilah yang dimaksud Ibn al-Jalla dengan definisi yang ia buat, “Orang yang takut kepada Allah adalah orang yang tidak takut kepada siapapun
kecuali kepada Allah.”

Kepada merekalah melekatnya khawf yang derajatnya paling tinggi dan teramat mulia. Untuk menggambarkan
betapa mulianya, Sahl ibn Abd Allâh menyatakan, apabila khawyf semacam ini diambil seberat biji atom saja, lalu (manfaatnya) dibagikan, maka seluruh penduduk bumi akan merasa bahagia.

Ketika ditanya, “Lalu sebesar apa khauf yang ada pada hamba semacam itu?” Sahl menjawab, “Kira-kira, sebesar gunung.”

Tingkatan Kedua

Tingkatan kauf ini adalah khauf orang-orang kelas menengah yang takut jika hubungannya dengan Yang Maha Kasih terputus dan kejernihan ma’rifahnya tercemar.

Mereka takut kalau tidak bisa lagi berserah diri sepenuhnya demi cinta kepada-Nya, sehingga tidak bisa lagi menyaksikan dan merasakan kenikmatan cinta-Nya.

Baca Juga:  Gagasan tentang Pluralisme Menurut Para Sufi, Filsuf dan Faqih

Tingkatan Ketiga

Khauf tingkatan ketiga adakah khawf-nya orang awam yang takut akan murka dan siksa-Nya sehingga sekaligus juga tidak bisa mengharapkan surga-Nya.

Rasa takut mereka dicerminkan pada kegelisahan dan kegoncangan hati terutama saat mereka mengetahui betapa Maha Kuasanya Zat yang disembahnya itu.

Menurut Abu Sa’id Al-Kharraz, inilah jenis khawfyang sebagian besar dapat kita jumpai.

Ungkapkannya, “Sesungguhnya sebagian besar orang yang takut adalah karena merasa kasihan kepada dirinya, sehingga mereka berusaha berbuat baik dan menuruti perintah-Nya demi menyelamatkan diri mereka dari ancaman siksa Azza wa Jalla.”

Kemudian, lebih lanjut, tentang perbedaan tingkat khauf ini, Abû Bakr al-Wasitî menyatakan bahwa para tokoh besar kalangan muttaqin (orang-orang yang takwa) merasa takut jika mereka terputus hubungan dengan Allah, sedangkan orang-orang awam merasa takut akan siksa Allah (dan mengharap surga).

Artinya rasa takut kelompok pertama lebih pasti dan murni, sedangkan yang terakhir masih didorong oleh kepentingan yang walau mungkin saja hanya sedikit, masih ada kaitan dengan nafsu.

Maka selama dalam jiwa masih ada sisa-sisa kepentingan nafsu berarti hamba tersebut belum sampai pada tingkatan muhsin (orang yang berbuat baik), meskipun dia sudah menyatakan diri menyerah dan tunduk sepenuhnya kepada Allah.

Sedangkan menurut Abu Nasr al-Sarrâj, yang dimaksud dengan kepentingan-kepentingan nafsu adalah usaha untuk mengatur, mengaku, dan melihat ketaatan yang dilakukannya dengan pamrih tertentu (termasuk ingin terhindar dari siksa neraka atau memperoleh pahala surga).

Khauf dan Raja’

Bagi seorang hamba yang menapaki jalan spiritual (sufi), rasa takut (khauf) harus disertai dengan raja’ (berharap penuh kepada Allah).

Raja’ juga penting karena siapapun di dunia ini tak mungkin ada yang hidup tanpa harapan. Karena itu, khawf dan raja’ harus selalu bergandengan dan satu sama lain harus terkait dan berjalan secara serasi dan seimbang sehingga menjadi dua serangkai yang menyatu dan tidak terpisah.

Dengan khauf dan raja’, sang hamba tidak semata-mata takut akan murka dan siksa Allah, melainkan pada saat yang sama ia juga harus menyertakan pengharapan yang penuh akan karunia-Nya.

Menurut Sahl, sebagaimana dikisahkan Abu Bakr Muhammad Al-Kalâbâdzi, khauf adalah unsur jantan, sedangkan raja’ adalah unsur betina yang dalam menumbuhkan realitas keimanan yang sedalam-dalamnya.

Keduanya harus melekat sekaligus secara bersama, serasi dan seimbang pada diri seorang hamba yang saleh.

Bagi hamba yang akan meniti jalan sufi,
khauf dan raja’ bagaikan sepasang sayap amal kiri dan kanan yang selalu bekerjasama secara serempak, serasi, dan harmonis.

Dengan kedua sayap itu, seorang hamba yang sedang berusaha mendekatkan dirinya (taqarrub) kepada Allah dapat mendaki dan terbang menuju ketinggian derajat spiritual yang terpuji, yang tanpa itu mustahil ia dapat melakukan taqarrub.

Baca Juga:  Hakikat Manusia Menurut Ajaran Tasawuf Imam Al-Ghazali

Jika khawf dan raja’ diumpamakan sebagai dua sayap burung, seperti yang dikemukakan Abû Ali al-Rudzabri, maka apabila dua sayap itu sama, serasi dan seimbang, maka burung itu akan terbang sempurna.

Sebaliknya, bila salah satu sayap itu tidak ada, maka terbangnya tidak akan baik dan sempurna. Kalau burung itu memaksakan diri untuk terbang, ia bisa celaka bahkan jatuh mati.

Khauf dan Mahabbah

Agak berbeda dengan uraian di atas, yakni hubungan khawf dan raja’. Abû Nasr al-Sarraj tampaknya lebih senang
menyandingkan khawf ini dengan mahabbah.

Sebab, menurut al-Sarraj, adalah karena qurbah (kedekatan kepada Allah), apabila sudah tercapai, akan mengakibatkan tumbuhnya dua kondisi spiritual, yakni khawf dan mahabbah.

Menurut al-Sarrâj, di antara hamba yang meniti jalan sufi, saat melihat kedekatan dirinya dengan Allah sudah sedemikian rupa, khawf itulah yang menguasai diri dan hatinya, namun ada juga di antara mereka, yang setelah melakukan tashdiq (pembenaran) akan hakikat Ilahiah, diri dan hatinya dikuasai mahabbah yang mendalam.

Kondisi tersebut terjadi setelah Tuhan membukakan kepada hamba-Nya berbagai rahasia dan keghaiban Ilahi.

Jika seorang hamba, dalam kedekatan dengan Tuhannya itu, hatinya menyaksikan Kebesaran, Keagungan dan kekuasaan-Nya, maka yang tumbuh dalam hatinya adalah rasa takut, malu dan gemetar.

Tetapi sebaliknya, apabila dalam kedekatan itu yang ia saksikan adalah Kelembutan Dzat Tuhan, Keqadiman Kasih Sayang, Kebaikan dan Karunia serta Kecintaan yang selalu Ia berikan, maka yang merasuk dalam hati sang hamba adalah rasa rindu, gelisah, cinta yang membara dan bosan hidup.

Apapun adanya, semua ini terjadi begitu rupa semata-mata karena qudrat dan iradat Allah yang memang memberikan karunia demikian ke dalam hati hamba yang bersangkutan.

Kesimpulan

Begitulah khauf, perasaan takut kepada Allah yang harus dimiliki oleh seorang hamba agar di dalam menjalani hidup ini hati-hati dan tidak terjerumus ke dalam hal yang mendatangkan murkanya.

Namun perasaan takut ini ini menjadi tidak seimbang jika tidak disertai dengan pengharapan (raja’) —atau mahabbah (cinta) menurut pandangan para ahli sufi yang lain. Jika keduanya ada dan berjalan seimbang, maka seorang hamba akan terbang pada derajat yang tinggi. Wallahu a’lam bisshawab.

Faisol Abdurrahman