Kisah Gus Dur Menyelamatkan Rumah Besar Indonesia

gus dur

Pecihitam.org – Sekitar tahun 1998 akhir KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) datang di Wonosobo. Saat itu sedang ramainya era reformasi, yaitu beberapa bulan setelah Pak Harto jatuh. Kejadian ini terjadi beberapa bulan sebelum beliau (Gus Dur) menjadi presiden yaitu orang nomor satu di Negeri ini. Waktu itu beliau masih memegang jabatan Ketua PBNU.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Bertempat di Gedung PCNU Wonosobo, Gus Dur mengadakan pertemuan dengan pengurus NU dari Wonosobo, Banjarnegara, Pubalingga, Kebumen, Temanggung dan Magelang. Sudah barang tentu semua kyai ingin tahu apa pendapat Gus Dur tentang situasi politik yang sedang terjadi.

“Pripun Gus situasi politik terbaru?” tanya seorang kiai.
“Orde Baru tumbang, namun Negeri ini mengalami sakit keras.” kata Gus Dur.
“Kok bisa Gus?”
“Ya bisa, wong yang menumbangkan Orde Baru pakainya emosi dan ambisi tanpa perencanaan yang jelas. Setelah tumbang mereka bingung mau apa, sehingga arah reformasi gak tau kemana. Bahkan Negeri ini di ambang kehancuran, di ambang perang saudara. Arah politik sedang menggiring Negeri ini ke pinggir jurang kehancuran dan separatisme. Lihat saja, baru sekian bulan Orde Reformasi berjalan, kita sudah kehilangan propinsi ke-27 kita, yaitu Timor Timur.” kata Gus Dur.

Kyai karismatik tersebut sebagaimana biasanya, kalau belum mulai bicara. Kita semua akan merasa kasihan dengan sikap Gus Dur yang datar dan seperti capek sekali dan seperti aras-arasen (malas) bicara. Namun jika sudah mulai, sangat luar biasa dan ruangan seakan sepi seperti kuburan, tak ada bunyi apapun selain suara Gus Dur.

Seorang kyai penasaran dengan calon presiden devinitif pengganti Pak Habibi yang hanya menjabat sementara sampai sidang MPR. Kyai itu bertanya: “Gus, terus siapa yang paling pas jadi Presiden nanti?”
“Ya saya, hehehe…” kata Gus Dur datar.
Semua hadirin kaget dan mengira Gus Dur bercanda seperti biasanya yang memang suka bercanda.
“Yang bisa jadi presiden di masa seperti ini ya hanya saya kalau Indonesia gak pingin hancur. Dan saya sudah dikabari kalau-kalau saya mau jadi presidan walau sebentar hehehe…” kata Gus Dur mantab.
“Siapa yang ngabari dan yang nyuruh Gus?” tanya seorang kyai lagi.
“Gak perlu tahu. Orang NU itu tugasnya Cuma yakin saja bahwa nanti presidennya pasti dari NU,” kata Gus Dur masih dengan nada datar seperti bercanda.

Semua yang hadir di ruangan merasa bingung antara yakin dan tidak yakin, apalagi kondisi fisik Gus Dur yang demikian. Belum lagi lagi masih ada orang lain yang secara fisik lebih sehat dan sangat ambisisus jadi presiden, yaitu Amin Rais dan Megawati. Tapi tetap saja tidak ada yang berani mengejar pertanyaan tentang presiden RI lagi pada Gus Dur.

Selanjutnya Gus Dur menyambung: “Indonesia dalam masa menuju kehancuran. Separatisme itu sangat membahayakan. Yang bahaya bukan separatismenya, tapi pihak yang memback up di belakangnya. Negara-negara Barat mau negeri ini hancur menjadi Indonesia Serikat. Maka mereka melatih para pemberontak, memberi biaya untuk kemudian meminta merdeka, seperti Timor Timur yang dipromotori Australia.”

Sejenak sang Kyai tertegun. Dan sambil membenarkan letak kacamatanya beliau melanjutkan: “Tidak ada orang kita yang sadar bahaya ini. Mereka hanya pada ingin menguasai Negeri ini saja tanpa perduli apakah Negeri ini cerai-berai atau tidak. Maka saya harus jadi presiden, agar bisa memutus mata rantai konspirasi pecah-belah Indonesia. Saya tahu betul mata rantai konspirasi itu. RMS dibantu berapa Negara, Irian Barat siapa yang back up, GAM siapa yang ngojok-ojoki, dan saya dengar beberapa provinsi sudah siap mengajukan memorandum. Ini sangat berbahaya.”

Baca Juga:  Sahabat Nabi Yang Murtad Versi Hadits Riwayat Bukhari Dan Muslim

Kemudiaan beliau menarik nafas panjang seraya melanjutkan: “Saya mau jadi presiden. Tetapi peran saya bukan sebagai pemadam api. Saya akan jadi pencegah kebakaran dan bukan pemadam kebakaran. Kalau saya jadi pemadam setelah api membakar Negeri ini, maka pasti sudah banyak korban. Akan makin sulit. Tapi kalau jadi pencegah kebakaran, hampir pasti gak akan ada orang yang menghargainya. Maka, mungkin kalaupun jadi presiden saya gak akan lama, karena mereka akan salah memahami langkah saya.”

Seakan mengetahui raut wajah bingung para kyai yang menyimak, Gus Dur kembali menjelaskan pemikirannya. “Tak kasih gambaran jelasnya begini, ,” kata Gus Dur memperjelas setelah melihat semua hadirin tidak paham dan masih bingung dengan tamsil Gus Dur.

“Begini, suara langit mengatakan bahwa sebuah rumah akan terbakar. Pilihannya ada dua. Pertama, jika mau jadi pahlawan maka biarkan rumah itu terbakar dulu lalu datang membawa pemadam. Maka semua orang akan menganggap kita pahlawan. Tapi sayang sudah terlanjur gosong dan mungkin banyak yang mati, juga rumahnya sudah jadi jelek. Tapi kita jadi pahlawan penyelamat yang dielu-elukan.”

Kemudian lanjutnya: “Kedua, preventif. Suara langit sama, rumah itu mau terbakar. Penyebabnya tentu saja api. Ndilalah jam sekian akan ada orang naruh jerigen bensin di sebuah tempat. Ndilalah angin membawa sampah dan daun kering ke tempat itu. Dan ndilallah lagi pada jam tertentu akan ada orang lewat situ. Ndilalah rokoknya dia habis pas dekat rumah itu. Ndilalah tangan kanannya yang lega. Terus membuang puntung rokok ke arah kanan dimana ada tumpukan sampah kering.”

Lalu beliau sedikit memajukan duduknya, sambil menukas: “Kalau ceritanya dirangkai jadi begini; ada orang lewat dekat rumah, lalu membuang puntung rokok, puntung rokok kena angin sehingga menyalakan sampah kering, api tadi kemudian membesar lalu menyambar jerigen bensin yang baru saja ditaruh di situ dan terbakarlah rumah itu.”

“Suara langit ini hampir bisa dibilang pasti, namun semua ada sebab-musabab. Kalau sebab di cegah maka musabab tidak akan terjadi. Jika ada orang melihat rumah terbakar lalu ambil ember dan air, kemudian disiram hingga api tidak meluas maka dia akan jadi pahlawan. Tapi kalau seorang yang waskito, yang tahu akan sebab-musabab, dia akan menghadang orang yang mau menaruh jerigen bensin, atau menghadang orang yang merokok agar tidak lewat situ, atau gak buang puntung rokok di situ sehingga sababun (penyebab) kebakaran tidak terjadi.”

Sejenak semua jamaah mangguk-mangguk. Kemudian Gus Dur melanjutkan: “Tapi nanti yang terjadi adalah, orang yang membawa jerigen akan marah ketika kita cegah dia naruh jerigen bensin di situ: “Apa urusan kamu, ini rumahku, bebas dong aku naruh di mana?” Pasti itu yang akan dikatakan orang itu.”

“Lalu misalkan memilih menghadang orang yang mau buang puntung rokok agar gak usah lewat situ, Kita bilang: “Mas, tolong jangan lewat sini dan jangan merokok. Karena nanti anda akan menjadi penyebab kebakaran rumah ini.” Apa katanya: “Dasar orang gak waras, apa hubungannya aku merokok dengan rumah terbakar? Lagian mana rumah terbakar?! Ada-ada saja orang gila ini. Minggir! saya mau lewat.”

Baca Juga:  Inilah Beberapa Variasi Kisah Nabi Sulaiman yang Banyak Beredar, Termasuk Kisahnya dalam Borobudur

Kini makin jelas arah pembicaraannya dan semua yang hadir makin khusyuk menyimak. “Nah, inilah peran yang Nu harus ambil sekarang ini. Suara langit sudah jelas, Negeri ini atau rumah ini akan terbakar dan harus dicegah penyebabnya. Akan tetapi resikonya kita tidak akan populer, namun rumah itu selamat. Tak ada selain NU yang berpikir ke sana. Mereka lebih memilih: “Biar saja rumah terbakar asal aku jadi penguasanya, biar rumah besar itu tinggal sedikit asal nanti aku jadi pahlawan maka masyarakat akan memilihku jadi presiden.”

“Poro Kyai ingkang kinormatan.” (Para Kyai yang saya hormati)’ kata Gus Dur kemudian. “Kita yang akan jadi presiden, itu kata suara langit. Kita gak usah mikir bagaimana caranya. Percaya saja, titik. Dan tugas kita adalah mencegah orang buang puntung rokok dan mencegah orang yang kan menaruh bensin. Padahal itu banyak sekali dan ada di banyak negara. Serta pekerjaan tersebut secara dzahir sangat tidak popular, seperti ndingini kerso (seperti merubah takdir). Tapi harus kita ambil. Waktu yang singkat dalam masa itu nanti, kita gak akan ngurusi dalam Negeri.”

“Kita harus memutus mata rantai pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka di Swiss, kita harus temui Hasan Tiro. Tak cukup Hasan Tiro, presiden dan pimpinan-pimpinan negara yang simpati padanya harus didekati. Butuh waktu lama,” lanjut Gus Dur.

“Belum lagi separatis RMS (Republik Maluku Sarani) yang bermarkas di Belanda, harus ada loby ke negara itu agar tak mendukung RMS. Dan negara lainnya yang ada kepentingan di Maluku,” kata Gus Dur menegaskan.

“Juga separatis Irian Barat Papua Merdeka, yang saya tahu itu binaan Amerika. Saya itu tahu anggota senat yang menjadi penyokong Papua Merdeka, dan merekalah yang membiayai gerakan separatis itu. Untuk diketahui saja, yang menyerang warga Amerika serta Australi di sana, ya desain mereka sendiri.”

Kemudian beliau menarik nafas berat, sebelum melanjutkan perkataannya. “Ini yang paling sulit, karena pusatnya di Israel. Maka, selain Amerika saya harus masuk Israel juga. Padahal waktu saya sangat singkat. Maka saya mohon para kyai dan santri nanti banyak istighatsah agar tugas kita ini bisa tercapai. Jangan tangisi apapun yang akan terjadi nantinya, karena kita memilih jadi pencegah yang tidak populer. Yang di dalam Negeri akan diantemi (dihajar) sana-sini.”

Segergah Gus Dur berdiri, lalu menegaskan perkataan terakhir beliau: “NKRI bagi NU adalah Harga Mati!”

“Saya harus pamit karena saya ditunggu pertemuan dengan para pendeta di Jakarta, untuk membicarakan masa depan negara ini. Wasalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…” tutup Gus Dur.

Tanpa memperpanjang dialog, Gus Dur langsung pamit. Semua bubar dengan benak yang campur-aduk, antara percaya dan tidak percaya dengan visi Gus Dur. Antara realitas dan idealitas, bahwa Gus Dur dengan sangat tegas di hadapan banyak kyai bahwa dialah yang akan jadi presiden. Terngiang-ngiang di telinga semuanya dengan seribu tanda tanya.

Karena menghitung peta politik, rasanya tidak mungkin. Yang paling kuat kala itu adalah PDIP dengan calonnya Megawati, putri presiden pertama RI yang menemukan momentnya. Kedua, masih ada Partai Golkar yang juga Akbar Tanjung siap jadi presiden. Di partai Islam modern ada Amien Rais yang juga ambisi jadi presiden, dan dia pun dianggap sebagian orang pelopor Reformasi.

Baca Juga:  Pembunuh Ali Bin Abi Tholib Ternyata Seorang Hafidzh Qur'an

Maka kami hanya berpikir bahwa, rasional gak rasional, percaya gak percaya, ya percaya saja apa yang disampaikan Gus Dur tadi. Juga tentang tamsil rumah tebakar tadi. Sebagian besar hadirin agak bingung walau mantuk-mantuk karena gak melihat apa korelasinya NU dengan jaringan luar negeri.

Sekitar 3 bulan kemudian, Subhanallah… ternyata Gus Dur benar-benar jadi Presiden. Dan beliau juga benar-benar bersafari ke luar negeri seakan maniak plesiran. Semua negara yang disebutkan di PCNU Wonosobo itu benar-benar dikunjungi. Dan reaksi dalam negeri juga persis dugaan Gus Dur saat itu, yakni Gus Dur dianggap foya-foya, menghamburkan duit negara untuk plesiran. Karena dalam jangka waktu sekian bulan hingga 170 kali lawatan ke luar negeri. Luar biasa dengan fisik yang (maaf) begitu, demi untuk sebuah keutuhan NKRI.

Pernah suatu ketika Gus Dur lawatan ke Paris (kalau kami tahu maksudnya kenapa ke Paris). Dalam negeri, para politikus dan pengamat politik mengatakan kalau Gus Dur memanfaatkan aji mumpung. Mumpung jadi presiden pelesiran menikmati tempat-tempat indah dunia dengan fasilitas negara.

Apa jawab Gus Dur: “Biar saja, wong namanya wong ora mudeng atau ora seneng. ( Biar saja, namanya orang gak paham dan orang gak seneng). Bagaimana bisa dibilang plesiran wong di Paris dan di Jakarta sama saja, gelap gak lihat apa-apa, koq dibilang plesiran. Biar saja, gitu aja koq repot!”

Masih sangat teringat bahwa pengamat politik yang paling miring mengomentrai lawatan Gus Dur sampai masa Gus Dur lengser adalah Alfian Andi Malarangeng, mantan Menpora. Tentu warga NU gak akan lupa sakit hatinya mendengar ulasan dia. Dan sekarang terimalah balasan dari Tuhan.

Satu-satunya pengamat politik yang fair melihat sikap Gus Dur, ini sekaligus sebagai apresiasi kami warga NU, adalah Hermawan Sulistyo, atau sering dipanggil Mas Kiki.

Kembali ke topik. Ternyata yang paling mengenal sepak terjang Gus Dur adalah justru orang dari luar Islam sendiri. Kristen, Tionghoa, Hindu, Budha dll. Mereka tahu apa yang akan dilakukan Gus Dur untuk Negeri ini. Sehingga Negeri ini tetap utuh, minus Timor Timor karena jasanya Gus Dur. Beliau tanpa memikirkan kesehatan diri, tanpa memikirkan popularitas, berkejaran dengan sang waktu untuk mencegah kebakaran rumah besar Indonesia.

Dengan resiko dimusuhi banyak orang di dalam negeri, dihujat oleh separatis Islam dan golongan Islam lainnya, Gus Dur tidak perduli demi tetap utuhnya NKRI. Diturunkan dari kursi presiden juga gak masalah bagi beliau walau dengan tuduhan yang dibuat-buat.

Silakan dikroscek lagi data ini. Lihat kembali keadaan beberapa tahun silam kala era reformasi baru berjalan.Bahkan beliau pun sama sekali gak butuh gelar “Pahlawan”

Khususon ila Almagfurlah KH Abdurrahman Wahid,… Al Fatihah

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *