Kisah Gus Dur Sebagai Anak Kawasan Elit Menteng

gus dur anak menteng

Pecihitam.org – Menteng merupakan salah satu kawasan elit yang ada di Jakarta Pusat. Namanya melegenda sejak zaman awal berdirinya republik hingga sampai saat ini. Bahkan ada adagium yang mengatakan bahwa “barang siapa yang lahir atau tinggal di kawasan Menteng, maka ia adalah bagian dari orang penting di republik ini.”

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dalam sejarah berdirinya republik Indonesia, di kawasan menteng ini tinggal banyak tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia. Konon, Bung Hatta dan banyak pejuang lain tinggal di kawasan ini. Salah satu yang tinggal di sana adalah KH Wahid Hasyim, ayah dari Presiden ke-4 Indonesia, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Kisah ini bermula ketika Jepang menjajah Indonesia pada tahun 1942. Semasa awal kedatangan Jepang, mereka menahan KH. Hasyim Asy’ari karena dituduh melawan kekuasaan mereka. Kemudian, setelah terjadi protes besar dari kalangan santri di Jawa Timur, Hadratussyaikh KH Hasyim Asyari kemudian dibebaskan.

Nah, untuk menebus perlaukan Jepang terhadap tokoh besar tersebut, Jepang mendirikan Shumubu, sebuah kantor urusan keagamaan. Ketika Shumubu didirikan, KH. Hasyim Asy’ari diminta untuk menjadi kepalanya.

Tawaran ini membuat Kiai Hasyim sempat dilema, sebab jika beliau menerima, maka ia akan dianggap sebagai kolaborator Jepang. Dan jika menolak, beliau akan dicap oleh Jepang sebagai pembangkang.

Baca Juga:  Pria Berjenggot, Celana Cingkrang dan Jidat Hitam yang Menggertak Rasulullah

Dalam menghadapi situasi yang pelik itu, akhirnya Hadratussyaikh menemukan solusi. Kiai Hasyim menerima jabatan tersebut, namun tugas itu dikuasakan atau diwakilkan kepada putera tertuanya, yakni Kiai Wahid Hasyim.

Akhirnya Kiai Wahid Hasyim harus tinggal di Jakarta untuk melaksanakan tugas sebagai kepala lembaga Shumubu. Nah, pada masa beliau ditugaskan itulah kemudian tinggal di kawasan Menteng Jakarta Pusat. Di sana beliau ditemani oleh anak sulungnya, Gus Dur. Sedangkan istrinya, Ibu Nyai Solichah tetap tinggal di Jombang karena sedang hamil.

Di masa ayahnya melaksanakan tugas sebagai kepala Shumubu inilah Gus Dur menjadi anak Menteng yang terkenal elit itu. Greg Barton dalam Biografi Gus Dur (2016) mengisahkan bahwa Gus Dur di sana bertemu dengan banyak tokoh kemerdekaan Indonesia.

Diceritakan bahwa ketika Gus Dur dan ayahnya menunaikan ibadah salat berjamaah di Masjid Matraman yang letaknya tidak begitu jauh dari kediamannya, secara rutin dapat berjumpa dengan tokoh seperti Bung Karno dan Bung Hatta.

Perjumpaan rutin tersebut lantas membuat Gus Dur menjadi terbiasa berinteraksi dengan tokoh-tokoh besar zaman itu. Mengingat, Kiai Wahid Hasyim juga merupakan bagian dari tokoh-tokoh penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Baca Juga:  Kritik Gus Dur untuk Novelis V. S. Naipul tentang Islam yang Marah

Dalam berbagai momen persiapan kemerdekaan Indonesia, Kiai Wahid Hasyim merupakan salah satu wakil Islam yang sangat disegani diantara tokoh-tokoh kemerdekaan lainnya.

Kisah Gus Dur yang sangat menakjubkan sebagai anak Menteng adalah pertemuannya dengan tamu ayahnya yang bernama Paman Hussain. Gus Dur sering membukakan pintu untuk Paman Hussain yang sering datang ke rumahnya sekitar pukul delapan malam untuk menemui ayahnya.

Baru belakangan Gus Dur tahu bahwa Paman Husain yang bersahabat dengan ayahnya tersebut adalah Tan Malaka, seorang pejuang kemerdekaan dari golongan kiri. Sosok Tan Malaka terkenal sebagai pejuang dari golongan kiri yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk kemerdekaan Indonesia. Bahkan konon, karena keseriusan perjuangannya, beliau sampai tidak menikah.

Tan Malaka mengalami banyak perlakuan pembuangan dan pemenjaraan dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Tan Malaka selama hidupnya dikejar-kejar oleh penjajah hingga harus hidup dalam pelarian di luar negeri: Singapura, Hongkong, Kanton (Tiongkok), Jepang hingga Uni Soviet. Meski dari jauh, Tan Malaka tetap melawan pemerintah jajahan.

Baca Juga:  Gus Dur dan Warisan Pribumisasi Islam

Pertemuan Gus Dur dengan sosok Tan Malaka itu agaknya cukup mempengaruhi pandangan Gus Dur terhadap pemikiran-pemikiran kiri. Di masa remajanya, Gus Dur menjadi terbiasa dengan bacaan dari berbagai sudut pandang, termasuk dari kalangan komunis.

Semasa bersekolah di SMEP Yogyakartaa, Gus Dur terbiasa membaca buku-buku kiri seperti Das Kapital karya dari Karl Marx ataupun buku Whats To Be Done, karya Lenin, seorang pemikir Marxis Uni Soviet paling terkemuka.

Demikianlah berbagai pengalaman Gus Dur tinggal di kawasan elit Menteng. Di sana Gus Dur bertemu dengan tokoh-tokoh kemerdekaan seperti Bung Karno, Bung Hatta, hingga Tan Malaka, tokoh komunis yang sangat disegani di Indonesia. Wallahua’lam.